Selasa, 17 Mei 2016

Gas Biogenik Sang Penyelamat

Gas Biogenik Sang Penyelamat

Andang Bachtiar ;   Anggota Dewan Energi Nasional;
Ketua Komite Eksplorasi Nasional
                                                         KOMPAS, 17 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Harga minyak mentah dunia yang melorot tajam hingga di bawah 30 dollar AS/barrel, telah menimbulkan keresahan kalangan industri hulu migas Indonesia. Padahal, sebagai net importir minyak seharusnya kita lebih diuntungkan oleh situasi itu.

Beberapa lapangan minyak di daerah ”remote” dengan produksi ratusan barrel per hari telah berhenti beroperasi sejak pertengahan tahun lalu. Situasi tersebut membuat kita leluasa memangkas subsidi BBM 2015 dan mengalihkannya kepada kegiatan pembangunan lain.

Di saat yang sama, sebenarnya harga gas alam turut terjun bebas. Selain harga gas alam cair (liquefied natural gas, LNG) internasional sering dilekatkan dengan harga minyak—ketika harga minyak turun harga gas juga turun—dinamika geopolitik dunia juga membuat harga gas internasional semakin murah, bahkan menyentuh 2-3 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Bandingkan dengan biaya operasi produksi gas di Indonesia antara 4-5 dollar AS per MMBTU. Agar bisnis tetap jalan, harga gas di Indonesia harus pada kisaran 6-8 dollar AS per MMBTU, jauh di atas harga gas internasional.

Geopolitik dan gas murah

Dinamika geopolitik dunia membuat negara-negara produsen gas berlomba-lomba membanjiri pasaran dengan gas murah. Salah satu pemicu teknis rendahnya harga gas adalah efisiensi eksplorasi dan produksi negara-negara raksasa penghasil gas: Amerika dengan terobosan teknologi shale gas-nya, Rusia dengan ekspansi pipa gas ke Eropa, maupun Qatar dengan cadangan terbukti di North Field yang mencapai 900 TCFG.

Kongres Amerika Serikat pada pertengahan Desember 2015 mencabut larangan ekspor migas yang telah berlaku 40 tahun karena kebutuhan industri dalam negeri di AS sudah tercukupi berkat shale oil dan shale gas booming.

Lapangan gas raksasa Gorgon Project, Western Australia, yang lokasinya cukup dekat dengan Indonesia, juga sudah siap berproduksi dalam waktu dekat. Papua Niugini—negara tetangga kita—juga berlomba memonetisasi temuan-temuan lapangan gas raksasanya di area jalur pegunungan tengah. Bahkan, mereka tak segan menarik perusahaan swasta nasional Indonesia, Medco Energi, berpartisipasi dalam pengoperasian kontrak blok gas di area tersebut.

Dinamika dan perkembangan di atas pasti akan berimbas ke industri hulu gas Indonesia akibat persaingan harga yang ketat.

Melimpahnya produksi gas dunia semakin berdampak bagi kelangsungan industri migas kita yang dapat memicu krisis, belum lagi tawaran harga murah dari negara-negara nonpenghasil.

Imbas itu sudah sangat terasa, misalnya, pada BP Berau Limited yang hingga kini masih mencari pembeli produksi LNG dari Train-3 Kilang Tangguh lantaran belum terkontrak seluruhnya. Tahun 2015 sebanyak 46 kargo terpaksa dijual dengan harga spot rendah dan pada 2016 ada 78kargo belum tentu terserap.

Padahal, faktanya industri dalam negeri sangat membutuhkan pasokan gas. Namun, harga gas dalam negeri yang mahal membuat industri berpikir ulang membeli gas-gas domestik ini.

Pada seminar percepatan infrastruktur gas di Kepulauan Riau akhir 2015, BUMD Migas di Batam melaporkan bahwa Singapura sudah siap memasok gas ke Batam dengan harga murah, 4 dollar AS per MMBTU, sementara harga gas pipa dalam negeri 6-9 dollar AS per MMBTU. Sungguh suatu ironi karenanegara mungil yang tak memiliki satu pun sumur minyak dan gas, berani memasok gas murah, sementara mayoritas gas di Kepulauan Riau justru diekspor langsung ke Singapura.

Mengapa Singapura dapat menjual gas murah? Karena Singapura memiliki proses bisnis yang efisien dan infrastruktur gas yang mumpuni. Mereka juga menerapkan prinsip agregasi—subsidi silang—dalam bisnis menengah-hilir gasnya. Sedangkan Indonesia, meskipun mempunyai sumber daya gas yang melimpah, tidak didukung tersedianya infrastruktur dan proses bisnis yang praktis dan efisien. Bahkan masih banyak pedagang yang memanfaatkan penjualan gas untuk keuntungan sepihak sehingga harga di konsumen amat tinggi.

Jepang juga akan melakukan hal serupa. Berdasarkan informasi Atase Perindustrian Indonesia di Tokyo, salah satu perusahaan gas Jepang bersiap menjual gas ke Indonesia untuk pembangkit listrik. Perusahaan tersebut kini sedang berupaya berinvestasi di kawasan industri di Pulau Jawa dengan target utama Bekasi dan seterusnya Jawa Timur, terutama yang banyak perusahaan Jepang-nya.

Gas yang akan didatangkan dari Jepang tersebut merupakan kelebihan dari pasokan gas yang mereka beli, yang sebagian juga mereka dapatkan dari Indonesia. Jikahal itu benar, semakin tampak betapa tidak efisiennya industri hulu-hilir gas kita.

Langkah antisipasi

Lalu langkah apa yang harus diambil pemerintah? Setidaknya ada dua solusi jangka pendek yang dapat diusulkan. Pertama, mengubah terma fiskal dari kontraktor kontrak kerja sama, di mana bagian pemerintah bisa dikurangi dari 70:30 atau 60:40 menjadi 60:40 atau 51:49. Dengan demikian,harga gas di kepala sumur lebih murah. Dalam hal ini industri gas hulu masih akan terus berjalan karena mereka dapat menutupi biaya operasi sekaligus mendapatkan keuntungan. Pada saat yang sama pendapatan pemerintah langsung dari gas akan ”terjadi” atau ”terealisasikan” dibandingkan tidak mengambil langkah apa pun, sehingga potensi produksi juga tidak laku terjual karena harga yang tinggi yang tidak bersaing.

Argumen yang mengatakan bahwa kita merugi karena seharusnya kita mendapatkan split bagi hasil lebih besar merupakan argumen yang agak keliru, karena jika porsi bagi hasil tetap seperti sekarang ini, pendapatan dari gas tidak akan ada karena gas kita tidak laku bahkan tidak bisa diproduksi. Kecuali memang sengaja dibiarkan saja harga gas di kepala sumur tetap tinggi dan tidak bersaing sehingga produksi berhenti karena tidak kuat membiayai operasi. Kemudian cadangan yang ada disimpan. Kelak jika harga gas dunia kembali naik produksi diaktifkan lagi, atau malahan gas disimpan terus sebagai cadangan penyangga nasional atau cadangan strategis.

Namun, implikasi legal dan finansial dari skenario berhenti produksi terkait kontraktor migas yang mengoperasikan blok migas harus dipertimbangkan, terutama dalam menghadapi tuntutan hukum, ganti rugi atau bahkan pembelian entitlement cadangan gas dengan uang negara sebagai hak kontraktor.

Potensi gas biogenik

Solusi kedua adalah keharusan segera memanfaatkan potensi gas biogenik yang sangat melimpah di Indonesia. Tiga puluh persen dari cadangan gas dunia adalah gas biogenik dan baru 4 trillion cubic feet (TCF) gas biogenik yang ditemukan dan sebagian diproduksi di Indonesia. Dalam hal ini baru 3,8 persen dari total 104 TCF gas cadangan Indonesia yang ditemukan sebagai biogenik. Masih puluhan TCF gas lagi yang seharusnya bisa ditemukan di Indonesia jika menggunakan analogi persentase statistik gas biogenik. Selain itu, gas biogenik termasuk kategori gas dangkal (1 kilometer kedalaman) sehingga biaya pengeboran pun lebih murah dibandingkan gas-gas termogenik yang kedalamannya bisa 3-4 km, mayoritas penghasil gas Indonesia.

Karbon organik

Gas alam berasal dari karbon organik yang bertransformasi menjadi hidrokarbon secara termogenik dan biogenik. Gas termogenik dihasilkan dari pematangan karbon organik dalam waktu jutaan tahun di dalam bumi yang panas (di atas 80 derajat celsius) menjadi kerogen kemudian menjadi minyak dan gas. Gas biogenik dihasilkan dari reaksi fermentasi bakteri yang mengonsumsi karbon organik.

Ada tiga jenis kategori gas biogenik. Yang pertama adalah gas biogenik permukaan yang sering disebut gas rawa karena banyak dijumpai di rawa-rawa, atau disebut juga gas sampah: seperti pelepasan gas sampah di Leuwigajah, Bandung, pada 2005 yang mengakibatkan longsoran dan 157 korban jiwa. Gas biogenik permukaan ini tidak ekonomis untuk diusahakan dalam skala industri migas hulu.

Kedua adalah gas biogenik di bawah permukaan bumi, tetapi letaknya sangat dangkal (kedalaman 0-500 meter), tersebar dalam kantong-kantong batuan reservoir tak terkonsolidasi dari endapan sungai, pantai, dan delta modern. Volume jumlah dan penyebaran yang terbatas juga biasanya tidak ekonomis untuk diusahakan dalam skala industri.

Jenis gas biogenik ketiga adalah yang terdapat di bawah permukaan dangkal (+/-1 km), terperangkap di dalam batuan reservoir terkonsolidasi berumur Tersier sampai Pleistosen Kuarter dalam jumlah yang cukup besar sehingga ekonomis diproduksi dalam skala industri.

Saat ini pemerintah lewat Komite Eksplorasi Nasional sedang berkonsentrasi mengidentifikasi lokasi-lokasi keterdapatan gas biogenik jenis ketiga tersebut pada 10 cekungan migas: Pantai barat Sumatera, Aceh, Sumatera Utara, Riau dan sekitarnya, Sumatera Selatan, Jawa Barat bagian Utara, Jawa Timur, laut utara Bali; Kutai, Kalimantan Timur; Tarakan, Kalimantan Utara, Enrekang–Bone, dan Papua.

Duapuluh tenaga ahli geologi dan geofisika lulusan magister dalam dan luar negeri sedang direkrut untuk itu. Dalam 3-4 bulan ke depan mereka akan menginterpretasikan ulang data yang sudah dimiliki pemerintah yang mungkin terlewatkan identifikasi potensi gas biogenik dangkalnya. Diharapkan, di kuartal ke-4 tahun 2016 anak-anak muda tenaga ahli sukarela itu sudah bisa menunjukkan di mana saja potensi gas biogenik Indonesia dan berapa jumlahnya untuk bisa dieksplorasi dan dieksploitasi dalam waktu yang tidak terlalu lama (2-3 tahun kedepan). Dengan demikian, ini dapat menjadi satu solusi dalam rangka menyelamatkan industri hulu gas Indonesia, di tengah kompetisi harga gas yang sangat ketat. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar