Akhir Gejala El Nino 2015/2016
Paulus Agus Winarso ;
Pengajar pada STMKG Jakarta
|
KOMPAS, 10 Mei 2016
Gejala alam El Nino
kelihatannya mulai dipahami sebagian masyarakat, terutama dampaknya pada
cuaca dan iklim di Indonesia. Gejala alam yang mula-mula diperkenalkan para
nelayan di pantai barat Amerika, menjadi terkenal tahun 1982/1983 saat
terjadi cuaca ekstrem di Nusantara. Saat itu terjadi kondisi kurang hujan
untuk hampir sebagian kawasan wilayah Indonesia kecuali kawasan Indonesia bagian
barat sebelah barat.
Dampak El Nino amat
mengganggu sektor perekonomian. Ketahanan pangan porak-poranda pada 1991 dan
kebakaran hutan dan lahan merajalela. Padahal, pada periode sebelum 1990
kondisi cuaca dan iklim kondusif dan mendukung berbagai kegiatan bercocok
tanam, berladang, dan minim dengan kebakaran hutan dan lahan.
Hasil pengamatan
terbatas penulis sekitar tahun 2000 juga menunjukkan bahwa musim kemarau
cenderung lebih panjang dan musim hujan lebih pendek. Kondisi kering yang
cukup panjang akan memudahkan kebakaran lahan dan hutan. Sebaliknya musim
hujan yang pendek menghadirkan hujan lebat yang berdampak banjir dan longsor.
Inilah yang berlangsung sejak akhir 2015 hingga memasuki April 2016.
Kondisi awal 2016
Sepanjang awal tahun
hingga memasuki kuartal II-2016, kondisi awan dan hujan tersebar sporadis ke
seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini berbeda dengan berbagai prakiraan yang
muncul pada akhir 2015. Saat itu disebutkan dampak gejala alam 2015 masih
akan berlangsung hingga 2016 seiring kegiatan gejala alam El Nino yang akan
sirna di pertengahan dan akhir 2016. Prakiraan-prakiraan itu umumnya mengacu
pada informasi prakiraan kegiatan El Nino dari lembaga internasional di
bidang cuaca dan iklim global dalam koordinasi Organisasi Meteorologi Dunia,
WMO. Bahkan disebutkan, dampak El Nino masih muncul awal 2016 di sebagian
wilayah Indonesia, artinya terjadi kondisi kering di wilayah Indonesia.
Namun, kenyataannya
kondisi itu berubah awal Februari 2016 saat sebagian kawasan Pulau
Sumatera—khususnya Pulau Bangka—dilanda hujan lebat yang berdampak banjir
bandang dan tanah longsor. Bahkan di Pangkal Pinang tercatat curah hujan yang
ekstrem lebih dari 200 milimeter dalam sehari.
Muncullah informasi
lain tentang kemungkinan hadirnya gejala alam La Nina atau lawan dari El
Nino. Karena itu, pertanyaannya, bagaimana mungkin kita menyebut semua ini
gejala alam El Nino bila syarat rerata kegiatannya berdurasi minimal 9 bulan.
Kenyataannya, periode El Nino 2015/2016 adalah mulai Mei 2015-Januari 2016
atau sekitar 8 bulan, kemudian berubah cepat menjadi gejala alam La Nina. In
ibaratnya perubahan periode suhu hangat kawasan dengan luasan ribuan
kilometer persegi hanya dalam hitungan hari atau minggu.
Kondisi inilah yang
seyogianya kita cermati. Kesimpulannya, gejala alam El Nino 2015/2016
merupakan kondisi yang berbeda dengan kejadian El Nino sebelumnya. Sesuai
informasi dari Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat bahwa mulai
2011 hingga beberapa puluh tahun kemudian, dengan periode dingin atmosfer
muka laut, hadirnya gejala alam El Nino 2015/2016 akan berbeda dengan dampak
keragaman cuaca dan iklim yang ditimbulkan. Walaupun secara garis besar
dampak keragaman cuaca dan iklim pada kawasan/wilayah umumnya identik, tetapi
akan ada pengaruh dari aktivitas bintik hitam Matahari.
Yang jelas informasi
dari berbagai pusat informasi cuaca dan iklim dunia saat ini mengatakan masih
giat gejala alam El Nino 2015/2016, hasil dari pengamatan suhu muka
lautglobal kawasan ekuator Samudra Pasifik. Masih ada simpangan suhu muka
laut di atas 2 derajat yang artinya gejala alam El Nino belum meluruh.
Informasi lanjut
menunjukkan pula bahwa kondisi suhu hangat ini sepertinya terus bergerak
turun atau mendekati nilai rerata bulanan sejak awal Februari 2016 hingga
awal Maret 2016. Bahkan kondisi suhu hangat laut global dengan simpangan 1
derajat celsius, meluas di perairan selatan wilayah Indonesia. Suhu muka laut
hangat menggiatkan terjadinya hujan sedang hingga lebat di kawasan selatan
ekuator wilayah Indonesia, termasuk Jabodetabek yang mendapat curah hujan
lebih dari seminggu sejak 23 Februari hingga awal Maret 2016.
Curah hujan sama
Dari pengalaman
penulis yang pernah mengkaji dampak gejala musim hujan wilayah Indonesia bersamaan
dengan kegiatan El Nino sepanjang 1960-2000, periode musim hujan menyusut,
tetapi jumlah curah hujan sama.
Namun, ada satu satu
kasus yang berbeda, yaitu saat gejala alam El Nino terkuat dalam sejarah
terjadi 1997/1998. Saat itu jumlah curah hujan di bawah rerata satu musim.
Kini yang terjadi
adalah periode dingin, terlihat dari rendahnya suhu udara di kawasan belahan
utara. Tingginya tekanan udara tersebut mendorong udara dingin yang
mengakibatkan peristiwa lataan/adveksi udara dengan pembentukan awan dan
hujan mulai akhir Januari 2016 hingga awal Februari 2016.
Terjadilah hujan yang
giat di kawasan Sumatera dan Kalimantan. Sejak akhir Februari 2016 hingga
awal April 2016, hujan juga turun lebih dari satu minggu di kawasan pantura
Jawa termasuk Jabodetabek. Bila dijumlahkan kuantitas curah hujan di akhir
Maret-April2016, sepertinya ada pergeseran puncak musim hujan kawasan
Jabodetabek 1-3 dasarian.
Bagaimana prospek
keragaman cuaca dan iklim mendatang? Sepertinya peluruhan kondisi gejala alam
El Nino akan berubah menuju kondisi gejala alam La Nina dengan berlanjutnya
dingin suhu muka laut kawasan ekuator Samudra Pasifik. Artinya akan ada
banyak hari dengan hujan dan banyak hari tanpa hujan yang terjadi silih
berganti sesuai kondisi suhu muka laut yang menyediakan uap air dan kondisi dinamis
lainnya, seperti tekanan udara yang rendah, angin berkumpul, atau peristiwa
lataan/adveksi udara dingin.
Paling tidak kejelian
dalam menyimak kondisi peredaran udara skala lokal, regional, dan global
menjadi kunci dalam menyikapi situasi keragaman cuaca dan iklim. Saat ini
yang terjadi adalah pergolakan seiring peluruhan gejala alam El Nino menuju
kondisi normal dan menuju kondisi gejala alam La Nina. Dengan demikian, perlu
diketahui bahwa ada kecenderungan awal musim kemarau akan mundur.
Dengan demikian, musim
hujan 2015/2016 untuk kawasan Pulau Jawa masih berlangsung hingga akhir April
2016. Namun, karena berselang-seling kondisi basah dengan cuaca panas,
masyarakat sebaiknya waspada karena akan berdampak pada giatnya nyamuk vektor
demam berdarah maupun penyakit-penyakit lain. Semua itu perlu mitigasi agar
tidak merugikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar