Jumat, 01 April 2016

Pilkada DKI dan Politik Ekologi

Pilkada DKI dan Politik Ekologi

Firdaus Cahyadi ;  Direktur Eksekutif OneWorld-Indonesia
                                                        KOMPAS, 01 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Meskipun Pilkada DKI Jakarta 2017 masih jauh, tetapi suhu politik di Ibu Kota mulai memanas. Para bakal calon gubernur DKI Jakarta mulai mengeluarkan jurus untuk merebut kursi DKI 1.

Bahkan, ada kubu yang tak segan menggunakan isu etnis dan agama untuk memenangi kursi gubernur DKI Jakarta. Pilkada DKI direduksi menjadi sekadar politik identitas suku, etnis, dan agama tertentu.

Padahal, persoalan di Jakarta sebenarnya tidak ada kaitannya dengan politik identitas. Persoalan di Jakarta lebih terkait dengan politik ekologi, karena pemicu krisis ekologi di Jakarta adalah kebijakan politik elite, baik di Kantor Gubernur DKI Jakarta maupun DPRD.

Penguasaan lahan

Krisis ekologi di Jakarta diawali dengan penguasaan lahan secara luas di Jakarta oleh perusahaan pengembang properti. Sebagian besar lahan di Jakarta kini dikuasai 10 perusahaan pengembang properti kakap. Akibatnya, pemerintah kesulitan menambah ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air.

Kesulitan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menambah RTH akibat penguasaan lahan oleh segelintir perusahaan pengembang properti, tampak dari laju penurunan luas RTH yang berbanding lurus dengan kenaikan pasokan kawasan komersial di Jakarta. Target luasan RTH dalam tata ruang Jakarta terus dikurangi sebagai bagian dari legalisasi perubahan itu, dari 37,2 persen dalam rencana induk 1965-1985 hingga 13,94 persen dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2000-2010. Sedangkan tambahan pasokan ruang komersial begitu hebatnya, 3.046.000 meter persegi pada 2000-2006. Bandingkan dengan 1960-1999 yang hanya 1.454.000 meter persegi.

Penentuan RTRW adalah kebijakan politik, krisis ekologi berupa krisis RTH di Jakarta terkait erat dengan proses politik gubernur dan DPRD.

Jadi mahal

Penguasaan lahan skala luas menyebabkan harga lahan di Jakarta menjadi mahal. Tahun 2013 saja, berdasarkan survei Bank Indonesia, harga tanah pada triwulan II-2013 di Jakarta meningkat rata-rata 20,17 persen dibandingkan tahun sebelumnya year on year (yoy). Kenaikan harga tanah tertinggi terjadi di Jakarta Pusat 22,14 persen dan di Jakarta Selatan 20,30 persen.

Harga tanah yang mahal jelas tak terjangkau warga miskin kota. Mereka akhirnya tersingkir ke bantaran sungai dan kawasan permukiman kumuh yang tak jarang dibangun di atas RTH. Celakanya, atas nama pembangunan Kota Jakarta, warga miskin ini kemudian digusur. Jakarta seakan hanya untuk yang kaya.

Melejitnya harga tanah di Jakarta juga membuat kawasan sekitar Jakarta, seperti Bogor-Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) diserbu pengembang perumahan untuk memfasilitasi warga yang bekerja di Jakarta. Akibatnya, kota-kota di Bodetabek menghadapi krisis pertanian, RTH, dan ruang publik. Krisis ekologi pun menular di wilayah sekitar Jakarta.

Krisis udara bersih

Bukan hanya RTH, Jakarta kini juga alami krisis udara bersih yang cukup parah gara-gara asap kendaraan bermotor. Merujuk kepada penelitian Universitas Indonesia, 57,8 persen pasien di rumah sakit Jakarta mengalami komplikasi pernapasan akibat polusi udara. Dari keseluruhan pasien, 1,2 juta atau 12,6 persen di antaranya memiliki keluhan asma atau bronkitis. Dengan perkiraan biaya Rp 173.000-Rp 4,4 juta per pasien, total ongkos pengobatan akibat asma dan bronkitis bisa mencapai Rp 210 miliar-Rp 5,3 triliun.

Sayangnya, Pemprov DKI Jakarta justru menambah panjang jalan dengan membangun 6 tol dalam kota. Padahal, sudah banyak penelitian di dalam atau pun luar negeri yang menunjukkan, pembangunan jalan tol justru menambah penggunaan kendaraan pribadi dan berujung pada peningkatan polusi udara.

Di Mumbai, India, misalnya, ketika panjang jalan diperpanjang dua kali lipat sepanjang 1951-2007, jumlah kendaraan bertambah 43 kali.

Studi oleh Universitas California di Berkeley antara 1973-1990 mendapati, untuk setiap 10 persen kenaikan kapasitas jalan raya (termasuk jalan tol), lalu lintas juga naik 9 persen dalam waktu 4 tahun (Carol Jouzatis, ”39 Million People Work, Live Outside City Centers” USA Today, November 4, 1997: 1A-2A).

Sementara studi kelayakan pembangunan jalan tol dalam Kota Jakarta (PT Pembangunan Jaya, Mei 2005) justru menyatakan bahwa setiap pertambahan jalan sepanjang 1 kilometer di Jakarta akan selalu dibarengi pertambahan 1.923 mobil pribadi. Dapat dibayangkan berapa ratus ribu mobil lagi yang akan berkeliaran di Jakarta jika dibangun jalan tol dalam kota baru sepanjang 69,77 km dan berapa besar biaya kesehatan yang harus ditanggung warga akibat polusi udara.

Krisis air bersih

Krisis ekologi lain yang terjadi di Jakarta adalah air bersih. Krisis air bersih sebenarnya sudah sejak lama terjadi. Namun, pemerintah kota Jakarta seperti tidak berdaya. Data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta mencatat, air hujan yang seharusnya bisa mengisi air tanah ternyata justru menjadi air larian (run off) penyebab banjir.

Data BPLHD DKI Jakarta menyebutkan, dari 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun, hanya 26,6 persen yang terserap dalam tanah. Sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian yang berpotensi memicu banjir.

Semua krisis ekologi itu nyata dirasakan warga Jakarta. Bahkan, warga kota harus membayar tambahan biaya kesehatan yang muncul akibat krisis ekologi itu. Siklus krisis ekologi di Ibu Kota harus dihentikan dari akarnya, yaitu kebijakan politik.

Di sinilah politik ekologi relevan dimunculkan, bukan politik identitas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar