SUN dan Suku Bunga
Haryo Kuncoro ; Dosen
Keuangan Negara Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Jakarta; Doktor Ilmu Ekonomi Alumnus PPs UGM
Yogyakarta
|
KOMPAS, 17 Maret
2016
Target pemerintah
mewujudkan suku bunga single digit
pada akhir 2016 mulai menemui resistensi. Suku bunga kredit korporasi
berskala besar memang sudah menjangkau 9 persen. Akan tetapi, tingkat bunga
kredit untuk konsumsi dan komersial masih bertahan di posisi 12 persen. Suku
bunga kredit untuk UMKM malahan lebih tinggi lagi, yaitu 20 persen.
Fenomena
untuk suku bunga simpanan tidak jauh berbeda. Proses penurunan suku bunga
deposito berjangka masih seret. Selama dua bulan pertama 2016, pemangkasan
suku bunga simpanan pada perbankan hanya 9-10 basis poin. Angka itu jauh di
bawah pemotongan bunga acuan bank sentral (BI Rate) sebagai biaya dana
rujukan yang mencapai 50 basis poin.
Sejalan dengan tekad
pembangunan infrastruktur, pemerintah melirik pasar dana melalui penerbitan
Surat Utang Negara (SUN) dan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) dengan yield yang
menarik. Sejauh ini, SUN atau ORI menawarkan bunga 8-9 persen yang lebih
tinggi daripada tingkat bunga deposito perbankan pada umumnya.
Di sisi lain,
perbankan berupaya menghimpun dana masyarakat dengan iming-iming bunga
simpanan yang kompetitif guna melayani permintaan kredit domestik. Beberapa
bank bahkan berani menawarkan suku bunga simpanan khusus (special rate) kepada pemilik dana
berskala jumbo agar bersedia berlama-lama menyimpan dananya di bank yang
bersangkutan.
Akibatnya, tensi
persaingan dalam memperebutkan dana masyarakat terasa kian sengit. Tak pelak
lagi, terjadilah perang return, tak
hanya antarpelaku pasar keuangan, tetapi juga dengan berbagai macam aset
nonfinansial lain. Alhasil, suku bunga simpanan bisa jadi naik yang
gilirannya menyundul suku bunga pinjaman. Dalam terminologi ekonomi, kondisi
itu dikenal sebagai crowding out,
yaitu bahwa penerbitan SUN mendorong peningkatan suku bunga. Crowding out terjadi akibat
keterbatasan pasokan dana masyarakat. Sesuai hukum pasar, pasokan yang tetap
sementara permintaan tinggi, bunga keseimbangan jadi lebih tinggi.
Klasik Vs Keynesian Vs Ricardian
Crowding out memberikan implikasi ekonomi yang lumayan penting. Mengikuti
pandangan ekonomi Klasik, suku bunga adalah harga investasi. Kenaikan suku
bunga berakibat langsung pada pelemahan aktivitas penanaman modal. Pada
akhirnya, pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi. Pandangan Klasik di atas
memberi penegasan bahwa penerbitan SUN menimbulkan efek negatif bagi
perekonomian. Atas dasar ini, mereka menganjurkan menggunakan sumber
pembiayaan dari luar negeri untuk meredam gejolak suku bunga perbankan
domestik.
Masih dalam pemikiran
mereka, utang luar negeri mengisyaratkan ada aliran dana neto masuk ke dalam
perekonomian. Sementara utang domestik dipandang sebatas hanya migrasi dana
yang mulanya akan digunakan sektor privat untuk investasi berpindah kepada
investasi yang dilakukan oleh pemerintah. Asumsi Klasik bahwa perekonomian
mengalami keterbatasan pasokan dana patut dicatat. Realitas yang terjadi
tidaklah selalu demikian. Hal ini yang menjadi premis aliran pemikiran
Keynesian dalam berkonfrontasi konsep dengan ekonom Klasik. Alhasil, jika
masih ada dana menganggur (idle fund),
eksistensi crowding out tak bakal
ada.
Kendati demikian,
kedua mazhab besar itu sepakat bahwa penerbitan SUN niscaya memicu persaingan
dalam menghimpun dana masyarakat. Akan tetapi, persaingan dalam pemahaman
Keynesian justru memicu peningkatan kualitas investasi alih-alih penurunan
kuantitas investasi sebagaimana pendapat Klasik. Peningkatan kualitas
investasi mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian,
Keynesian tak antipati terhadap SUN meski menyokong naiknya suku bunga
perbankan. Penerbitan SUN diyakini memacu atmosfer kompetisi hingga mencapai
level crowding in sebagai lawan
dari crowding out.
Pilihan pemerintah
mengedarkan SUN di pasar dalam negeri atau luar negeri pada akhirnya tetap
harus dibayar beserta bunganya. Pada jalur lain, paham Ricardian berasumsi
pelaku ekonomi sadar penerbitan SUN saat ini adalah isyarat terjadi kenaikan
pajak di masa datang.
Asumsi rasionalitas
membimbing pelaku ekonomi untuk sejak dini mengantisipasinya. Aksi konkretnya
dengan memelihara tabungan untuk berjaga-jaga sehingga besaran nilainya nanti
(future value) sama dengan beban
kenaikan pajak di masa depan. Akibat selanjutnya, tabungan (sebagai sumber
dana investasi) tak terganggu, investasi tetap konstan, dan pertumbuhan
ekonomi tidak terpengaruh. Ringkasnya, penjualan SUN berefek netral bagi
perekonomian nasional.
Kembali pada persoalan
pasar keuangan di Indonesia, fenomena crowding out hanyalah akibat dan bukan
esensi persoalan yang sesungguhnya. Merujuk pada debat konseptual antara
paradigma Klasik, Keynesian, dan Ricardian, inti persoalan sejatinya terletak
pada apakah masih ada dana menganggur di masyarakat.
Mobilisasi dana adalah
awal jalan masuk bagi penanggulangan pokok masalahnya. Dalam konteks ini,
fungsi intermediasi perbankan dalam menjembatani pihak yang berlebih dana
dengan pihak yang membutuhkan dana betul-betul akan diuji. Manuver penggalian
dana menjadi lebih ringan jika perbankan efisien agar biaya pengumpulan dana
nasabah lebih murah.
Industri perbankan
sejatinya masih bisa menahan atau bahkan menurunkan suku bunga kredit
seandainya terjadi peningkatan efisiensi, terutama pemotongan biaya
transaksi. Intinya, perbankan tetap menikmati spread (selisih antara bunga
pinjaman dan simpanan) tanpa harus didorong terlebih dahulu oleh kebijakan
kondisional BI, OJK, dan LPS.
Persaingan di semua
sektor, termasuk di pasar finansial, adalah kenyataan yang tidak bisa
dihindari. Pokok persoalan berikutnya adalah apakah debitor (sektor privat
dan sektor publik) mampu mengelola kualitas dana yang berhasil diraih
sehingga semakin produktif dalam kegiatan investasinya. Penetapan skala
prioritas kredit adalah langkah yang bijak dalam menyikapi ketersediaan loanable fund yang semakin langka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar