Lindungi dan Berdayakan Nelayan
Arif Satria ; Dekan
Fakultas Ekologi Manusia IPB
|
KOMPAS, 17 Maret
2016
Pada 15 Maret 2016,
RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak
Garam atau NPPG disahkan. Ini momentum penting bagi masa depan NPPG kita.
Lebih-lebih di saat rezim pemerintah saat ini begitu pro kepada dunia
kemaritiman, dan NPPG merupakan salah satu aktor penting di dalamnya. Hal-hal
penting apa saja yang menarik untuk dicermati dari undang-undang tersebut?
Bagaimana kerangka implementasi UU tersebut?
Mengapa NPPG perlu
dilindungi dan diberdayakan? Tentu jawabannya adalah karena mereka punya
peran strategis, tetapi masih termarjinalkan. Peran strategisnya terlihat
dalam penyediaan pangan, penyediaan lapangan kerja, penghasil devisa, penjaga
kelestarian sumber daya, ataupun peran geopolitik. Sementara itu, posisi
sosial mereka relatif rendah karena rendahnya penguasaan aset ekonomi.
Bayangkan, 90,4 persen
armada perikanan berkapasitas kurang dari 5 gros ton yang tergolong perikanan
skala tradisional dan kecil. Berdasarkan kajian Badan Pusat Statistik dan
Fakultas Ekologi Manusia IPB (2015) ternyata hanya 0,04-15 persen nelayan
yang menggunakan alat bantu, seperti echo sounder dan fish finder. Berkisar
70-90 persen nelayan berusaha dengan modal pribadi, sementara pembudidaya
ikan yang bermodal seperti itu 82-96 persen.
Persentase nelayan
ataupun pembudidaya ikan miskin juga tidak kecil, yakni masing-masing sekitar
23,79 persen dan 23,44 persen.
Penyebab kemiskinan mereka terutama bersifat struktural, yang berarti
kecilnya akses pada modal, teknologi, informasi, infrastruktur, ataupun
sumber daya. Karena itu, UU ini menjadi penting disiapkan untuk mengatasi
berbagai problem akses itu.
Dimensi penting
UU ini sudah mencakup
dimensi perlindungan dan pemberdayaan NPPG secara komprehensif meski muatan
perlindungan ekonomi lebih dominan. Pada pasal 3 jelas sekali bahwa
perlindungan dan pemberdayaan ini mencakup: (a) penyediaan sarana/prasarana,
(b) kepastian usaha secara berkelanjutan, (c) kelembagaan pembiayaan usaha,
(d) perlindungan risiko bencana alam, perubahan iklim, dan pencemaran, (e)
kemampuan dan kapasitas kelembagaan NPPG dalam mengelola sumber daya serta
mengembangkan prinsip kelestarian lingkungan, (f) jaminan keamanan dan
keselamatan serta bantuan hukum. Seluruh komponen dalam tujuan tersebut
sesuai dengan konteks masalah yang dihadapi NPPG saat ini.
Ada beberapa catatan
penting dalam elaborasi kerangka perlindungan dan pemberdayaan NPPG pada
pasal-pasal berikutnya. Pertama, aspek
perlindungan dan pemberdayaan dalam pengelolaan sumber daya oleh masyarakat
sudah diakomodasi. Meski muatan aspek ini tidak terlalu banyak, perlindungan
atas eksistensi masyarakat adat ataupun non-adat dalam pengelolaan sumber
daya sudah dicakup. Ini penting mengingat kecenderungan global bahwa devolusi
pengelolaan sumber daya kepada masyarakat sudah menjadi keniscayaan.
Bahkan, Jepang sudah
sejak lama berani menyerahkan urusan pengelolaan perikanan artisanal kepada
koperasi, dan ini dimuat dalam UU Perikanan Jepang. Selama ini, instrumen
perundangan kita belum cukup kuat untuk mengakui eksistensi kelembagaan
pengelolaan masyarakat tersebut. Yang
diakui selama ini adalah hak pemanfaatan tradisional (withdrawal right) dan bukan hak kelola masyarakat (management right).
Kedua, aspek sarana
dan prasarana harus disediakan pemerintah. Pada pasal 18 diatur prasarana
minimum untuk penangkapan ikan yang mesti tersedia, seperti : (a) stasiun
pengisian bahan bakar minyak dan sumber energi lainnya, (b) pelabuhan
perikanan yang terintegrasi dengan tempat pelelangan ikan, (c) jalan
pelabuhan dan jalan akses ke pelabuhan, (d) alur sungai dan muara, (e)
jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, dan air bersih; dan(f)tempat
penyimpanan berpendingin dan/atau pembekuan.
Begitu pula halnya
untuk prasarana pembudidayaan ikan, pengolahan dan pemasaran ikan, serta
usaha pergaraman. Pasal ini amat penting untuk menyelesaikan kendala
infrastruktur yang selama ini terus mengemuka.
Ketiga, aspek tata
ruang yang menjamin kepastian usaha berupa kepastian ruang penghidupan dan
akses kepada NPPG tradisional dan kecil sebagaimana pasal 25. Ada kewajiban
pemerintah pusat dan daerah untuk menyiapkan zonasi dalam tata ruang laut
nasional ataupun daerah untuk mereka. Hal ini kian memperkuat apa yang sudah
dimuat dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil.
Keempat, aspek
kelembagaan sebagaimana pasal 26 yang meminta pemerintah pusat menugasi badan
atau lembaga yang menangani komoditas perikanan juga pergaraman. Fungsinya
adalah untuk menjamin ketersediaan ikan dan garam, mendukung sistem logistik
ikan dan garam, dan mewujudkan harga ikan dan garam yang menguntungkan
NPPG. Ini terobosan luar biasa. Namun,
pertanyaannya: apakah ini akan berimplikasi pada pembentukan
"Bulog" baru perikanan? Ataukah akan memanfaatkan Bulog atau BUMN
yang sudah ada? Institusi inilah yang ditunggu-tunggu nelayan.
Kelima, aspek
perlindungan atas risiko pada pasal 30 menegaskan bahwa pemerintah memberikan
perlindungan atas risiko rusaknya sarana usaha dan kecelakaan kerja yang
bersumber dari bencana alam, wabah penyakit ikan, dampak perubahan iklim,
serta pencemaran. Di sinilah dimandatkan adanya asuransi perikanan dan
pergaraman serta asuransi jiwa.
Jepang sudah lama
mempraktikkan sistem asuransi seperti ini, dan memang efektif dalam
melindungi nelayan. Namun, dalam UU ini tidak disebutkan bagaimana risiko
kehilangan akses nelayan pada sumber daya akibat pembangunan, seperti
reklamasi. Tentang reklamasi ini memang sudah diatur dalam peraturan turunan
UU No 1/2014. Tentu apabila isu ini dimuat dalam UU perlindungan dan
pemberdayaan NPPG, maka perlindungannya akan semakin kuat.
Kerangka implementasi
UU baru ini membawa
konsekuensi anggaran yang tidak kecil bagi pemerintah, khususnya terkait
penyediaan prasarana, kelembagaan pembiayaan, asuransi perikanan, serta
penugasan badan dengan fungsi di atas.
Namun, ini sekaligus membawa berkah bagi sektor perikanan, yang
berarti akan mendapat kepastian dukungan lintas sektor lebih banyak lagi.
Akan tetapi, yang perlu dicermati adalah kesiapan peraturan turunannya.
Pengalaman pada
perundangan sebelumnya butuh waktu yang cukup lama untuk implementasi sebuah
UU karena instrumen turunannya belum lengkap. UU yang sangat baik ini harus
segera diimplementasikan yang berarti pemerintah harus sesegera mungkin
menyiapkan kelengkapan perangkat operasionalnya sehingga NPPG semakin
terlindungi dan kesejahteraan mereka bukan lagi sekadar mimpi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar