Mewaspadai Penumpukan Perkara di KPK
Saldi Isra ;
Guru Besar Hukum Tata Negara
dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas
Andalas, Padang
|
MEDIA INDONESIA,
29 Februari 2016
SALAH satu masalah penegakan hukum yang nyaris
selalu dikeluhkan: terjadinya penumpukan perkara di berbagai institusi
penegak hukum. Misalnya, awal reformasi, sorotan utama soal ini lebih tertuju
kepada Mahkamah Agung. Sulit dibantah, desain reformasi kekuasaan kehakiman
di dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (UUD) 1945
sebagiannya dipicu keinginan mengurangi tumpukan perkara. Disadari, membiarkan
perkara bertumpuk tanpa penyelesaian tuntas sama saja dengan menghadirkan
ketidakadilan (justice delayed is
justice denied).
Pertanyaannya: apakah persoalan penumpukan
perkara telah mampu diatasi secara utuh? Tanpa perlu basa-basi: sebagian
pembaca tidak akan ragu menjawabnya dengan kata `tidak'. Hampir pasti,
tumpukan perkara di Mahkamah Agung telah jauh berkurang jika dibandingkan
dengan 10-15 tahun lalu. Namun, mengatakan tidak terjadi penumpukan sama
sekali juga tidak mungkin. Boleh jadi, lembaga-lembaga penegak hukum yang
lahir dari rahim reformasi juga mulai terjangkit oleh virus penumpukan
perkara.
Salah satu buktinya, dalam banyak kesempatan,
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengungkapkan kemungkinan
dan ancaman tumpukan perkara di lembaga antirasywah itu. Bahkan, guna
memastikan tumpukan perkara, di hari-hari pertama pimpinan KPK periode
2015-2019, mereka melacak beban kasus yang tersisa sebelumnya. Ihwal itu,
saat berkunjung ke Media Indonesia (25/2), Agus Rahardjo membeberkan, di
salah satu sisi paling tidak terdapat 42 tunggakan kasus, sedangkan di sisi
lain KPK berkewajiban menyelesaikan kasus-kasus baru.
Bagaimana menjelaskan (kemungkinan) terjadinya
tumpukan perkara di KPK dalam desain besar agenda pemberantasan korupsi?
Pertanyaan sederhana itu terasa begitu penting dikemukakan di tengah harapan
besar masyarakat pada KPK. Tak bisa dimungkiri, banyak kalangan khawatir,
bilamana virus penumpukan perkara ini benar-benar berkembang subur, KPK akan
mengalami kelumpuhan dan kehilangan wibawa sebagai lembaga yang diberi status
extra-ordinary dalam memberantas
korupsi.
Beban ganda
Bila dibaca dengan teliti Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang KPK (UU No 30/2002), sebagai institusi baru penegak
hukum, KPK dibentuk dengan tugas berlipat ganda. Tugas demikian dapat dilacak
dari amanat UU No 30/2002 bahwa penegakan hukum untuk memberantas tindak
pidana korupsi yang dilakukan sebelum terbentuk KPK dilakukan secara
konvensional dan terbukti mengalami berbagai hambatan. Oleh sebab itu,
diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa dengan wewenang luas yang
pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional,
serta berkesinambungan.
Tugas berlipat tersebut muncul karena
pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan serangkaian tindakan untuk mencegah
dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi,
monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
Pokoknya, wewenang KPK berada pada wilayah korupsi yang melibatkan aparat
penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan
tindak pidana korupsi yang dilakukan penegak hukum atau penyelenggara negara.
Selain itu, KPK diamanatkan menyisir kasus-kasus yang mendapat perhatian dan
meresahkan masyarakat. Dari segi jumlah, KPK diberi kesempatan menangani
kasus yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar.
Sebagai institusi baru, KPK memang diberikan
wewenang yang jauh lebih luas daripada lembaga-lembaga penegak hukum
konvensional seperti kepolisian dan kejaksaan. Tak hanya itu, demi
mempercepat penegakan hukum pemberantasan korupsi, KPK didesain untuk menjadi
lembaga yang mampu memicu (trigger
mechanism) lembaga penegak hukum yang lain dalam memberantas korupsi.
Amanat demikian tentu saja mengharuskan KPK menyentuh banyak wilayah yang
sebelum pemberlakuan UU No 30/2002 nyaris tidak tersentuh oleh institusi
penegakan hukum konvensional. Karena itu, KPK harus memiliki nyali khusus
berhadapan dengan `saudara tua' mereka sendiri dalam penegakan hukum
pemberantasan korupsi.
Dalam kaitan dengan lembaga penegak hukum
lain, UU No 30/2002 memberi tugas ekstra kepada KPK untuk dapat menyusun networking dan memperlakukan institusi
yang telah ada sebagai `counterpartner'
sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.
Selain itu, KPK berfungsi untuk menyupervisi dan memantau institusi penegak
hukum lain. Bahkan dalam keadaan tertentu, KPK dapat mengambil alih tugas dan
wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilaksanakan
kepolisian dan atau kejaksaan.
Tak hanya itu, desain UU No 30/2002
mengharuskan KPK berhadapan dengan lembaga yang memiliki otoritas politik
sangat kuat, terutama eksekutif dan legislatif. Sebagai sebuah institusi yang
dibentuk dengan produk hukum yang bernama undang-undang, eksekutif-legislatif
bisa saja memenggal KPK dengan mengganti dasar hukum pembentukan KPK. Tambah
lagi, apabila dibaca makna frasa `penyelenggara negara' sebagai salah satu
sasaran utama KPK, arahnya sangat jelas kepada pemegang kuasa legislatif dan
pemegang kuasa eksekutif. Apalagi, legislatif dan eksekutif merupakan salah satu
indikasi episentrum penyalahgunaan kekuasaan.
Di tengah beban tersebut, KPK diharuskan
melakukan tugas dengan penuh kehati-hatian. Sebagai institusi penegak hukum,
keharusan tersebut terjadi karena, misalnya, apabila telah menetapkan sese
orang men jadi tersangka KPK tak mung kin menarik atau membatalkan kem bali
status tersebut. Arti nya, sebelum menjatuhkan status tersangka, KPK harus
yakin betul dengan penetapan status tersebut. Dalam posisi seperti itu, beban
KPK terasa semakin berat karena terbatasnya sumber daya, termasuk terbatasnya
jumlah penyidik KPK.
Tugas tambahan
Sebetulnya, beban ganda KPK dalam agenda
pemberantasan korupsi tidak perlu memunculkan rasa khawatir akan terjadi
ancaman penumpukan perkara. Secara hukum, beban agenda tersebut relatif
berimbang dengan kewenangan extra-ordinary
KPK memberantas korupsi. Namun, faktor lain yang mungkin dapat dikatakan
cukup memberikan kontribusi terhadap ancaman pelambanan penanganan perkara di
KPK ialah banyaknya upaya yang potensial mengancam keberlangsungan KPK.
Ancaman tersebut seperti menjadi tugas tambahan yang tidak boleh tidak harus
dihadapi dan `dikelola' KPK.
KPK harus berhadapan dengan berbagai upaya
hukum yang membahayakan dirinya sendiri dan sekaligus membahayakan agenda
pemberantasan korupsi.Upaya hukum yang dimaksudkan ialah uji
konstitusionalitas (constitutional
review) UU No 30/2002 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dari catatan yang ada,
sampai saat ini, UU No 30/2002, paling tidak telah diuji 18 kali ke MK.
Bagaimanapun, sebagai pihak yang terdampak dari permohonan tersebut, KPK
harus membagi perhatian untuk setiap pengujian.
Artinya, dengan jumlah pengujian tersebut,
hampir setiap tahun KPK mesti berbagi waktu dengan persoalan yang bukan
merupakan tugas pokok mereka.Karena bukan proses yang satu-dua hari selesai,
tentu tidak sedikit waktu KPK tersita dalam menghadapi pengujian di Medan
Merdeka Barat.
Selain upaya tersebut, KPK harus membagi waktu
untuk menghadapi berbagai manuver politik di DPR. Di antara manuver politik
yang paling sering dihadapi ialah munculnya upaya terus-menerus untuk
merevisi UU No 30/2002. Secara langsung, rencana revisi memang tak terkait
dengan wewenang KPK. Namun, sebagai lembaga yang eksistensi hukumnya sangat bergantung
pada UU No 30/2002, dapat dipastikan setiap muncul manuver untuk merevisi, tidak
ada pilihan lain, KPK harus menghadapinya.
Dengan menilik situasi selama sekitar empat
bulan terakhir, upaya itu jelas sangat mengganggu KPK dalam menjalankan tugas
memberantas korupsi. Misalnya, keinginan membatasi wewenang penyadapan dan
pembentukan dewan pengawas jelas berimplikasi pada pelemahan KPK. Membiarkan
masalah tersebut berjalan tanpa respons yang memadai sangat mungkin dimaknai
sebagian kekuatan politik di DPR bahwa KPK setuju dengan rencana revisi UU No
30/2002.
Tidak hanya persoalan dasar hukum institusi i
dan pembentukan KPK, berbagai serangan balik dari lembaga penegak hukum yang lain
juga menyita perhatian KPK. Paling tidak, beberapa ketegangan dengan
institusi kepolisian benar-benar menyita dan menghabiskan energi KPK. Bahkan,
situasi sepanjang 2015, ketegangan ujung dari perlakuan tidak wajar kepada Abraham
Samad dan Bambang Widjojanto hampir menenggelamkan KPK. Begitu pula, ketika
penetapan tersangka menjadi objek praperadilan, KPK memiliki tugas tambahan
karena hampir semua penetapan tersangka oleh KPK segera diuji melalui
praperadilan.
Jangan terjebak
Sebelum penumpukan perkara berubah menjadi
virus ganas, KPK harus mengambil langkah penting. Yang paling awal yang harus
dilakukan, dengan tetap menjaga kehati-hatian, KPK segera menyelesaikan
tunggakan perkara yang pada periode sebelumnya telah hampir matang. Paling
tidak, penyelesaian ditujukan kepada kasus-kasus yang terkategori megaskandal
korupsi. Tanpa harus menyebutkan kasus tersebut, pimpinan periode 2015-2019
harus berani melanjutkan kasus yang masuk kategori megaskandal.
Untuk kasus-kasus baru, KPK harus mulai
melakukan skala prioritas. Artinya, dalam menindaklanjutkan wewenang Pasal 11
UU No 30/2002, skala prioritas mesti ditentukan secara tepat. Dalam hal ini,
KPK harusnya lebih mengedepankan upaya penanganan kasus atau penindakan yang
memiliki pesan pencegahan yang sangat kuat. Tentu saja, mengendus perilaku
korupsi penegak hukum dan penyelenggara negara harus terus dioptimalkan.
Namun, yang terpenting, pengungkapan harusnya dilakukan secara tuntas.
Sebagai jenis kejahatan yang dilakukan secara tidak tunggal, seharusnya KPK
mampu membongkar secara tuntas semua jejaringnya.
Sekiranya bisa memilih dan mengambil langkah
penting, banyak kalangan percaya, beban berat yang diamanatkan UU No 30/2002
mampu dilaksanakan KPK. Apalagi, `tugas tambahan' menghadapi segala macam
gangguan segera akan berakhir bilamana revisi UU No 30/2002 dihentikan.
Artinya, KPK tidak boleh terjebak dengan penyakit akut yang bernama
penumpukan perkara. Jikalau tidak bisa keluar dari ancaman tersebut, KPK akan
kehilangan bobot sebagai lembaga extra-ordinary
dalam desain besar pemberantasan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar