Menanti Sang Penantang
R Siti Zuhro ; Profesor
Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
|
KOMPAS, 15 Maret
2016
Pemilihan Gubernur DKI
Jakarta baru akan digelar April 2017 dalam pilkada serentak kedua. Namun,
gaungnya sudah terasa. Maklum, ini pilkada di ibu kota negara.
Sebagai petahana,
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sudah menyatakan akan maju lewat perseorangan,
berpasangan dengan Heru Budi Hartono, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan
Aset Daerah DKI. Sejak tahun lalu, komunitas Teman Ahok sudah bekerja keras
mengumpulkan KTP para pemilih DKI agar Ahok bisa maju lewat jalur
perseorangan. Mereka sadar bahwa Ahok bukan orang partai sehingga rentan tak
mendapatkan dukungan partai. Sejauh ini satu-satunya dukungan partai yang
telah diperolehnya hanya dari Nasdem yang hanya memiliki lima kursi di DPRD
DKI Jakarta. Komitmen tersebut bahkan, diwujudkan dengan membentuk Muda-Mudi
Ahok untuk membantu Teman Ahok.
Keputusan cepat Ahok
untuk maju lewat perseorangan bisa dipahami karena syarat pencalonan
perseorangan memang tidak mudah. Untuk DKI Jakarta, setidaknya dibutuhkan
532.210 KTP atau 7,5 persen dari jumlah pemilih. Sampai sejauh ini data yang
tertera di situs temanahok.com sudah 784.977 KTP. Artinya sudah melampaui
batas minimum persyaratan. Namun, pengumpulan masih dilanjutkan karena
targetnya satu juta KTP.
Tak ada yang salah
dengan pilihan Ahok untuk maju lewat perseorangan karena itu merupakan hak
pribadi yang tak perlu digugat karena sesuai UU Pilkada. Pada Pilgub DKI
Jakarta 2012 juga ada dua pasangan perseorangan, yakni Faisal Basri-Biem
Benyamin dan Hendardji Supandji-Ahmad Riza Patria. Hanya saja, harus diakui
bahwa ada sedikit komunikasi yang kurang baik antara Ahok dan PDI Perjuangan
(PDI-P). Permintaan Ahok untuk memperoleh jawaban cepat dari PDI-P tentang
dukungan pencalonannya dinilai telah mengganggu mekanisme yang ada dalam
partai dan dianggap sebagai upaya untuk mendekonstruksi mekanisme yang
berlangsung di internal PDI-P.
Petahana
Seperti halnya di
banyak daerah, petahana jelas merupakan kompetitor terberat bagi sang
penantang. Hal ini bisa dipahami karena ia memiliki popularitas, SDM, dan
jaringan yang lebih baik daripada para penantangnya. Kinerjanya selama lima
tahun merupakan modal besar yang bisa dijual kepada rakyat. Namun, bukan
berarti telah pasti menang. Jika merujuk pada hasil pilkada serentak 9
Desember 2015, mayoritas petahana memang lebih unggul. Dari 82,5 persen
petahana yang ikut pilkada serentak tersebut, 63,2 persen di antaranya
menang.
Sebagai kepala daerah,
Ahok termasuk paling kontroversial. Karakternya yang meledak-ledak dan tak
jarang dengan "bahasa pasar" merupakan fenomena yang tak biasa di
kalangan pemimpin pemerintahan. Bagi sebagian orang, karakter Ahok tersebut
dipandang sebagai kelemahan utamanya. Sebab, ia bukan saja dinilai telah
melabrak tata krama dan kesantunan pemimpin pemerintahan, melainkan juga tata
nilai masyarakat Indonesia. Kepala daerah dianggap bukan sekadar pemimpin
pemerintahan, melainkan juga teladan (role
model) bagi rakyat yang dipimpinnya.
Bertentangan dengan
hal tersebut, sebagian publik lainnya bersikap permisif. Terutama bagi
kalangan muda. Menurut mereka, hal itu bukan isu krusial karena dilakukan
untuk membenahi kebobrokan birokrasi dan ketidaktertiban kota. Dengan ketegasan
dan karakternya itu, Ahok justru dinilai bukan pemimpin hipokrit yang
retorikanya indah, tapi rasanya pahit. Di mata mereka, Ahok justru berhasil
melakukan sejumlah terobosan, seperti penertiban pasar-pasar tradisional dan
pedagang kaki lima (PKL), masalah angkutan jalan raya, khususnya transjakarta
dan kopaja, pembersihan Ciliwung dan Waduk Ria-Rio, penyegelan Mal Tebet
Green yang tak berizin, dan penggusuran lokasi prostitusi Kalijodo.
Keberhasilan lain yang
juga dinilai fenomenal adalah dalam mengatasi masalah efisiensi anggaran dan
reformasi birokrasi. Umum diketahui bahwa korupsi, penyelewengan anggaran,
dan pelayanan publik yang buruk telah menjadi noda hitam birokrasi dan
pemerintahan. Dalam hal ini, Ahok dinilai berhasil menurunkannya dengan
memperkenalkan e-budgeting dan melakukan pengawasan ketat terhadap penggunaan
anggaran. Nyanyiannya tentang dana siluman dan masalah UPS (uninterruptible power supply) yang
diduga juga melibatkan oknum-oknum di DPRD tak urung telah menimbulkan
perseteruan dan ketidakharmonisan hubungan antara Ahok dan DPRD. Sementara,
di dalam pemerintahannya, banyak pejabat yang juga tak nyaman dengan
kebijakan Ahok, khususnya, karena sikapnya yang sering bongkar pasang pejabat
untuk mencari orang yang sesuai dengan visi, misi, dan cara kerjanya. Wali
Kota Jakarta Selatan, misalnya, pernah dipecatnya karena dianggap tidak
tegas.
Terlepas dari
pro-kontra atas karakternya, Ahok jelas merupakan '"musuh bersama"
bagi penantangnya, khususnya dari partai. Apalagi karena sikap Ahok yang
dipandang kurang menghargai eksistensi fungsi dan peran partai. Sebagaimana
diketahui, tak lama setelah menjadi gubernur, Ahok memutuskan keluar dari
Gerindra, partai yang mengusungnya. Ia juga dinilai tak mampu menjaga
hubungan yang harmonis dengan mitranya di DPRD. Bahwa sampai hari ini belum
satu partai pun yang mengumumkan pasangan calonnya (kecuali Nasdem), untuk
satu hal bisa dimaknai sebagai kehati-hatian mereka dalam mempertimbangkan
pasangan cagub-cawagub yang bisa mengungguli Ahok dan sesuai harapan pemilih
DKI yang rasional. Terlepas dari "karakter negatif"-nya, para
penantangnya harus bisa meyakinkan publik tentang konsep dan program konkret
dalam membangun DKI Jakarta yang lebih baik daripada Ahok.
Selain itu, pasangan
tersebut juga harus merupakan pasangan yang memiliki ketokohan kuat.
Setidaknya ada tiga kriteria yang perlu diperhatikan partai dalam
mengusung/mendukung calonnya. Pertama, sosok itu harus memiliki integritas
yang kuat, yakni bersih, lugas, dan berani. Dalam era keterbukaan dan
kebebasan, yang dibutuhkan bukan sekadar pemimpin yang jujur, melainkan juga
yang apa adanya, melayani, dan punya nyali besar. Apalagi di ibu kota negara
yang disinyalir banyak mafianya. Namun, ini tak berarti harus kasar dan tak
memedulikan sopan santun. Kedua, sosok itu harus memiliki rekam jejak yang
baik sebagai referensi. Lebih utama yang pernah menjadi kepala daerah.
Pengalaman karier Joko Widodo (Jokowi), misalnya, merupakan contoh nyata.
Ketiga, selain dukungan partai, sosok tersebut merupakan tokoh yang merakyat
dan bukan sosok yang tinggal di menara gading. Kemampuan pemimpin dalam
menyerap aspirasi dan memahami kebutuhan rakyatnya merupakan faktor penting
yang memengaruhi tingkat legitimasi dan karisma kepemimpinannya.
Penantang Ahok
Sejauh ini ada banyak
nama yang meramaikan bursa cagub DKI, tetapi kebanyakan bukan kader partai
besar yang berpotensi mengusung calonnya. Dengan 28 kursi di DPRD DKI, hanya
PDI-P yang bisa mengusung cagub-cawagubnya secara sendiri. Partai lain harus
berkoalisi karena syarat minimal pengajuan cagub-cawagub DKI Jakarta 22 kursi
(20 persen). Namun, seperti halnya partai lain, PDI-P juga belum menentukan
calonnya. Selain karena mekanisme partai, bagi partai salah satu masalah
utamanya adalah soal tawar-menawar "mahar politik". Bagi publik,
soal ini ibarat makhluk gaib yang hanya bisa diyakini adanya, tetapi sulit
dibuktikan wujudnya, sebab tak satu partai pun mau mengakuinya.
Melihat sifat koalisi
partai dalam pilpres maupun pilkada selama ini yang lebih bersifat pragmatis
ketimbang ideologis, tak mudah memetakan secara pasti peta koalisi partai
dalam Pilgub DKI. Bukan tak mungkin ada pula partai yang mengikuti jejak
Nasdem mendukung Ahok. Namun, jika dilihat dari jumlah kursinya, boleh jadi
setidaknya akan ada tiga pasangan calon penantang Ahok. Pertama, sebagai
pemilik kursi terbesar (28 kursi), PDI-P boleh jadi akan maju sendiri dengan
mengusung pasangan kadernya atau dengan memilih pendamping dari kalangan
profesional/nonpartai. Bagi PDI-P, ini bukan hal aneh. Salah satunya adalah
pasangan Tri Rismaharini dan Wisnu Sakti Buana yang memenangi Pemilihan Wali
Kota Surabaya dalam pilkada serentak 2015.
Kedua, sebagai partai
kedua terbesar, bisa jadi Gerindra juga akan mengajukan cagubnya. Namun,
dengan 15 kursi di DPRD, ia harus berkoalisi dengan setidaknya satu partai
menengah. Ketiga, seperti Pilgub DKI 2012, sebagai partai terbesar ketiga (11
kursi), tak tertutup kemungkinan PKS juga berpotensi mengusung cagubnya
dengan syarat harus berpasangan dengan setidaknya dua partai lain. Akan
tetapi, karena jumlah kursinya yang hanya berselisih satu kursi (11 kursi)
dengan tiga partai lainnya (Demokrat, PPP, dan Hanura yang masing-masing 10
kursi), bukan tak mungkin PKS hanya akan menempatkan calonnya sebagai DKI 2.
Meski suku/etnis tak
lagi menjadi unsur pokok, tidak berarti tidak penting. Isu representasi dalam
politik masih menjadi salah satu pertimbangan signifikan dalam pilkada. Ini
bukan sekadar masalah kebinekaan, melainkan tentang strategi untuk memenangi
kontestasi. Sebab, tidak semua pemilih DKI merupakan pemilih rasional.
Sebagai gambaran, menurut Sensus Penduduk 2010, empat suku/etnis terbesar di
DKI adalah Jawa (35,16 persen), Betawi (27,65 persen), Sunda (15,27 persen),
dan Tionghoa (5,53 persen). Sebagian kekalahan Fauzi Bowo dan Nachrawi Ramli
karena keduanya menafikan hal itu atau sama-sama Betawi.
Ahok sudah melempar
tantangannya. Namun, sampai sejauh ini, kecuali Nasdem, tak satu partai pun
yang telah mengumumkan calonnya. Bagi publik, lebih cepat lebih baik karena
mereka akan lebih bisa mengenal calonnya. Tidak seperti orang membeli kucing
dalam karung. Yang jelas, kehadiran calon perseorangan merupakan hal positif
yang dapat mencegah partai untuk tidak mem-fait accompli rakyat dengan calon
yang tak diinginkan. Sebab, tujuan pilkada langsung adalah untuk menghasilkan
pemimpin terbaik, bukan semata-mata sekadar pergantian penguasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar