Jaringan Radikalisme
sebagai Tantangan Berat Dunia Pendidikan
Anton Prasetyo ; Pendidik
di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta
|
MEDIA INDONESIA,
14 Maret 2016
PELEDAKAN bom serta baku tembak di Jalan MH
Thamrin pada Kamis (14/1) mempertegas eksistensi jaringan radikalisme di
Tanah Air. Apalagi, pada akhir November 2015, kepolisian telah menerima
sinyalemen terkait `janji' kelompok radikal Islamic State (IS) yang akan
mengadakan `konser' di Indonesia.
Dalam tinjauan dunia pendidikan, keberadaannya
menjadi bukti bahwa pendidikan kita belum mampu memberikan bekal kasih sayang
kepada peserta didik secara menyeluruh. Lebih-lebih, para pelaku radikalisme
mayoritas berusia muda. Profesor antropologi berkebangsaan Indonesia yang
mengajar di Arab Saudi, Sumanto Al-Qurtuby, menyatakan dalam akun jejaring
sosialnya bahwa muridnya pernah bercerita terkait IS (baca: kelompok
radikal), yaitu korban perekrutan anggota IS rata-rata memiliki empat ciri,
yakni berusia muda, mudah diprovokasi, memiliki wawasan keagamaan yang sempit
dan konservatif, serta jobless atau pengangguran.
Analisis kasar, ketika para pelaku radikalisme
merupakan anggota baru yang berusia muda, berarti pada dasarnya mereka
bukanlah kelompok radikalisme. Mereka ialah para generasi muda yang terperangkap
dalam jejaring kelompok radikal.
Dalam rangka menggalang kekuatan, kelompok
radikal memasang jebakan seluasluasnya di segala bidang kehidupan, tak
terkecuali pada bidang pendidikan. Kelompok radikal menyebarluaskan paham
melalui media yang sesuai dengan tingkatan pendidikan calon `korban' secara
masif.Besarnya biaya kampanye paham radikal tidak menjadi masalah karena
selalu di-back up dari luar negeri. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) menemukan aliran dana dari sejumlah negara, seperti kawasan
Timur Tengah, untuk membiayai sejumlah teror radikalisme di Tanah Air. Aliran
dana tersebut terekam PPATK sejak Juni 2015 hingga sekarang. (Media Indonesia, 18/1).
Bejibunnya uang menjadi penanda awal
keberhasilan kampanye paham radikal. Di akhir zaman ini, perkara yang dapat
ditukar dengan uang bukan hanya harta kekayaan yang bersifat materi,
melainkan juga persahabatan, kekeluargaan, kasih sayang, bahkan keimanan.
Krisis perhatian
Sejatinya, sememesona apa pun kampanye yang
digencarkan kelompok radikal tak akan berpengaruh sedikit pun manakala pemuda
mendapatkan perhatian yang cukup. Hanya, tak sedikit dari pemuda kita yang
tidak mendapatkan perhatian penuh dari guru ataupun orangtua. Di saat yang
sama, kesempatan emas itu dimanfaatkan kelompok radikal untuk menyematkan
dogmadogma ke dalam diri pemuda.Tanpa adanya bekal karakter serta proteksi
diri yang kuat, mereka akan dengan mudah menerima paham baru yang ditawarkan.
Atas dasar penyelamatan pemuda dari paham
radikal inilah, para guru dan orangtua harus semakin memperhatikan kebutuhan
para pemuda. Tak dapat dimungkiri, banyak -- untuk tidak mengatakan mayoritas
atau semua -- guru dan orangtua yang sibuk dengan kepentingan pribadi hingga
melenakan perhatian kepada para pemuda yang ada di bawah tanggung jawab
mereka.
Sebagai alternatif, para orangtua menitipkan
anakanak mereka kepada lembaga pendidikan formal dan nonformal, meski harus
membayar mahal. Harapannya, anakanak mereka mendapatkan perhatian penuh dari
lembaga pendidikan sehingga dapat berkembang dengan baik dan menjadi generasi
muda utama.
Sayangnya, hingga saat ini banyak lembaga
pendidikan tak ubahnya dengan perusahaan. Orientasi utama lembaga pendidikan
ialah mendapatkan keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Para guru pun mendidik
siswa bukan atas dasar panggilan hati. Kualitas dan kuantitas pengajaran
disesuaikan dengan gaji yang diberikan kepada guru.
Ketika lembaga pendidikan sudah dipercaya
orangtua, tapi orientasinya tak berbeda dengan perusahaan, siswalah yang
menjadi korban utama. Mereka yang seharusnya mendapatkan perhatian penuh
terkait kebutuhan kecerdasan majemuk (multiple
intelligence) justru terabaikan. Kondisi itu menjadi peluang emas bagi
kaum radikal untuk mendoktrin para siswa dengan dogma-dogma sesat. Sebagai orang
yang butuh perhatian, para siswa pun dengan mudah akan tergiur dengan bujuk
rayu kelompok radikal. Mereka juga dijanjikan kemegahan dunia hingga jaminan
surga dengan kemolekan para bidadarinya.
Kesempatan semakin besar diperoleh kelom pok
radikal dalam menyebarkan paham manakala para siswa sudah beralih gelar
menjadi mahasiswa dan berhijrah ke kota kota besar. Dengan status mahasiswa
baru di perantauan, mereka akan merasakan atmosfer kebebasan di tengah majemuknya
peradaban. Perhatian lembaga pendidikan tinggi (baca: perguruan tinggi) tak
seintens lembaga pendidikan tingkat dasar hingga tingkat atas. Di luar jam
pendidikan formal, perhatian orangtua hanya terasa saat menjalin komunikasi
jarak jauh. Di saat-saat seperti ini, para mahasiswa begitu merindukan
perhatian dari pihak luar yang diyakini mampu dijadikan pedoman perjalanan
hidup.
Kesiapan mental untuk menerima hal-hal baru,
banyaknya waktu luang, dan minimnya pengawasan dari orangtua inilah yang
menjadikan para mahasiswa aktif mencari jati diri. Gayung pun bersambut,
melalui jaringan dosen dan sesama mahasiswa seideologi, kelompok radikal
menggencarkan kampanye dengan beragam cara. Dibuatlah diskusi keagamaan
ataupun sosial, kegiatan jurnalistik, ataupun kegiatan-kegiatan sejenis yang
sekiranya mampu menarik minat mahasiswa. Pelan tapi pasti, dogma-dogma
dimasukkan ke diri setiap mahasiswa.
Ketika mahasiswa sudah memilih paham radikal
sebagai jalan hidup, pengorbanan apa pun akan dilakukan demi `perjuangan'
kelompoknya. Jangankan harus bermusuhan dengan saudara ataupun orangtua,
menjadi pelaku bom bunuh diri pun berani dilakukan.
Upaya preventif
Realitas betapa tidak sedikitnya generasi muda
yang menjadi korban dogma radikal menuntut para orangtua dan lembaga
pendidikan untuk selalu memperhatikan para pemuda yang ada di bawah tanggung
jawab mereka. Bagi orangtua, tak ada masalah ketika harus menyelesaikan
tanggung jawab sesuai dengan karier masing-masing. Cetaklah anak-anak yang
tak hanya cerdas dan gagah, tapi juga memiliki akhlakul karimah terhadap
Tuhan dan sesama.
Bagi lembaga pendidikan, jangan sampai amanah
yang diberikan orangtua terganggu dengan keinginan mendapatkan materi melalui
proses transformasi ilmu yang sedang dilangsungkan. Selain memberikan
pendidikan, perhatikanlah siswa-siswa dengan ketulusan hati karena mereka
memerlukan sentuhan kehangatan perhatian. Jangan sampai pusat perhatian
mereka diambil alih orang-orang yang tidak bertanggung jawab karena lembaga
pendidikan tidak mampu memberikannya.
Ketika orangtua dan lembaga pendidikan telah
memberikan pendidikan dan perhatian penuh kepada pemuda, pasti mereka akan
mampu mengakhiri segala bentuk tindak radikal. “With guns you can kill terrorist, with education you can kill
terrorism.“ (Dengan senjata kau
bisa membunuh teroris, dengan pendidikan kamu dapat mengakhiri terorisme).
Demikian ungkapan Malala Yousafzai, penerima penghargaan Nobel Perdamaian. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar