Ihwal Revisi UU Pilkada
Saldi Isra ; Profesor
Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS, 17 Maret
2016
Penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah serentak tahun 2015 meninggalkan banyak catatan.
Secara hukum, catatan yang tersisa menghadirkan keniscayaan untuk merevisi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali
Kota. Tanpa revisi, semua catatan yang dapat berujung memudarnya demokrasi
substansial dalam pemilihan kepala daerah akan terulang kembali.
Meski hampir semua
pihak yang concern terhadap
perbaikan kualitas pemilihan kepala daerah (pilkada) sepakat memilih jalan
revisi, sangat mungkin terjadi perbedaan mendasar dalam hal titik fokus
substansi revisi. Oleh karena itu, revisi seharusnya mampu menjawab kebutuhan
paling mendasar guna mewujudkan makna hakiki penyelenggaraan pilkada dan
sekaligus peningkatan kualitas demokrasi di daerah.
Pencalonan
Persoalan pertama yang
harus dijadikan fokus revisi UU No 8 Tahun 2015 adalah proses pencalonan.
Dalam berbagai perspektif, pengajuan pasangan calon menjadi salah satu titik
paling krusial yang memerlukan pembenahan komprehensif. Merujuk pengalaman
proses pencalonan pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015 lalu,
setidaknya ada dua persoalan yang
harus menjadi perhatian.
Pertama, proses
pencalonan memerlukan aturan yang bisa menjamin pengajuan pasangan calon
dilakukan secara demokratis. Bentangan empirik sebelumnya, sebagian partai
politik tidak begitu mengindahkan keniscayaan proses terbuka dan partisipatif
dalam menentukan pasangan calon. Padahal, UU No 8 Tahun 2015 telah memberikan
isyarat bahwa pencalonan dilakukan secara demokratis. Bahkan, UU No 2 Tahun
2011 tentang Partai Politik secara eksplisit mensyaratkan bakal pasangan
calon kepala daerah-wakil kepala daerah dilakukan secara demokratis dan
terbuka.
Sayang, amanat
demikian kehilangan makna substansial karena syarat tersebut dilaksanakan
sesuai dengan anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) partai
politik. Artinya, jika AD dan ART tidak menyediakan ruang untuk sebuah proses
yang demokratis dan terbuka, partai politik tidak akan mendapat sanksi apa
pun dalam pengajuan pasangan calon. Pengalaman pilkada serentak tahun 2015
membuktikan begitu masifnya partai politik mengabaikan dan mengingkari proses
yang diamanatkan kedua UU di atas.
Bahkan, kalaupun
sejumlah daerah melakukan proses demokratis dan terbuka, langkah tersebut
menjadi tidak menentukan apabila nama pasangan calon yang dihasilkan tidak
mendapat "persetujuan" dari pengurus pusat (DPP) partai politik.
Kuatnya kendali DPP dalam menentukan pasangan calon disebabkan adanya
ketentuan Pasal 42 UU No 8 Tahun 2015 yang menyatakan pengajuan calon harus
disertai surat keputusan DPP. Dengan adanya ketentuan ini, mayoritas yang
berminat menjadi calon cukup berupaya mencari "jalan pintas"
mendapatkan surat keputusan DPP.
Bilamana memang hendak
mewujudkan pemilihan yang berkualitas, demokratis dan partisipatif, revisi UU
Pilkada harus membuat pengaturan yang memastikan proses pencalonan yang
"dilakukan secara demokratis dan terbuka" dipenuhi partai politik.
Caranya, persyaratan seleksi yang "dilakukan secara demokratis dan
terbuka" jadi kewajiban yang harus dipenuhi parpol dalam mendaftarkan
pasangan calon. Begitu juga, jika peran DPP tetap akan dipertahankan, surat
keputusan DPP harus sesuai hasil yang "dilakukan secara demokratis dan
terbuka". Tegasnya, jikalau proses ini tak dilakukan, KPU daerah harus
menolak pasangan calon yang didaftarkan partai politik.
Kedua, revisi UU
Pilkada harus mampu mengantisipasi sedemikian rupa praktik politik uang dalam
proses pencalonan. Pasal 47 Ayat (1) UU No 8 Tahun 2015 menyatakan bahwa
partai politik/gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk
apa pun pada proses pencalonan kepala daerah. Namun, larangan
"mahar" pencalonan dapat dikatakan gagal menekan praktik politik
uang sehingga bau amis money politics
begitu menyengat dalam Pilkada 2015.
Meskipun terdapat
partai politik yang secara tegas mengharamkan mahar pada proses pencalonan
dan secara institusi tidak melakukan larangan Pasal 47 Ayat (1) UU No 8 Tahun
2015, secara individu sangat mungkin oknum bertindak berseberangan dengan
larangan dimaksud. Bahkan, sejumlah fakta menunjukkan praktik politik uang
dibungkus cara yang lebih halus, yaitu setoran calon ditarik dengan dalih
biaya operasional partai politik untuk memenangkan calon terutama selama masa
kampanye.
Dalam hal revisi gagal
mengantisipasi dan menutup celah yang masih membuka ruang untuk melakukan
mahar tersebut, proses pencalonan selalu saja menghadirkan praktik politik
uang yang masif. Karena itu, seleksi yang "dilakukan secara demokratis
dan terbuka" harus dijadikan sebagai salah satu strategi menekan praktik
politik uang dalam proses pencalonan. Selain itu, pembuktian praktik politik
uang harus dilakukan dengan cara yang lebih ringkas dan sehingga sebelum
pelaksanaan pemungutan suara sudah diputus. Bila terbukti, penyelenggara
pilkada mendiskualifikasi pasangan calon dan partai politik pengusul
kehilangan hak mengajukan calon baru.
Ketiga, revisi UU
Pilkada tidak boleh dijadikan sebagai strategi lain mempersulit hadirnya
calon perseorangan. Penegasan ini diperlukan karena dalam beberapa waktu
terakhir terungkap keinginan beberapa partai politik DPR untuk memperbesar
jumlah dukungan yang harus dipenuhi warga negara yang akan mengikuti
kontestasi pilkada melalui jalur perseorangan. Salah satu alasan menaikkan
dukungan yang terungkap ke permukaan, demi kesetaraan, calon perseorangan
harus mendapatkan dukungan yang setara dengan persentase pasangan calon yang
diajukan partai politik.
Selain membuktikan
betapa kuatnya resistansi sejumlah partai politik terhadap calon
perseorangan, menaikkan syarat dukungan tersebut menunjukkan
ketakpahaman atas esensi dan arti
penting membuka ruang calon di luar yang dilakukan partai politik. Bila
hendak dilihat secara kritis, bukankah pasangan calon yang diajukan partai
politik sebatas menunggangi hasil pemilihan legislatif sebelumnya. Padahal,
sekiranya ditanya langsung kepada pemilih dalam pemilu legislatif sebelumnya,
belum tentu juga mereka akan menerima calon yang diajukan partai politik.
Sebagai bagian dari
strategi membangun rivalitas positif dengan partai politik dan menyediakan
alternatif bagi pemilih, menaikkan jumlah dukungan dapat dikatakan gagasan
yang jauh dari demokratis. Jangankan menaikkan, jumlah persentase minimal
pemenuhan dukungan dalam Pasal 41 UU No 8 Tahun 2015 sudah sangat luar biasa
sulit bagi calon perseorangan. Bahkan, syarat yang ada sekarang dapat
dikatakan telah berubah menjadi mesin pembunuh bagi calon perseorangan.
Dalam koteks itu, demi
alasan membuka ruang calon alternatif, harusnya syarat dalam Pasal 41 UU No 8
Tahun 2015 dikurangi. Apalagi, tengah berkembang wacana memberikan ruang
kepada semua pihak mengajukan diri sebagai calon tanpa dibebani syarat harus
mengundurkan diri untuk jabatan publik yang tengah dijabat. Dengan wacana
tersebut, jika itu tidak mungkin menurunkan syarat dukungan, DPR dan
pemerintah harusnya bertahan dengan syarat dalam Pasal 41 UU No 8 Tahun 2015.
Ambang batas sengketa
Selain pencalonan,
persoalan lain yang sangat krusial adalah berkenaan dengan rezim ambang batas
dalam pengajuan sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebagaimana diketahui, sesuai dengan Pasal 158 UU No 8 Tahun 2015, tidak
semua pasangan calon dapat mengajukan sengketa MK. Berdasarkan ketentuan ini,
pengajuan sengketa hasil hanya dimungkinkan jika pemohon berada dalam perbedaan
suara lebih dari dua (satu setengah, satu, atau setengah) persen sesuai
dengan jumlah penduduk.
Tidak hanya Pasal 158
UU No 8 Tahun 2015, sebagai institusi yang memiliki otoritas menyelesaikan
sengketa pilkada, pembatasan tersebut juga dituangkan MK Peraturan MK No 1
Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (PMK No 1/2015) juncto PMK No
5/2015. Terkait hal ini, Pasal 6 Ayat (3) PMK tersebut semakin membatasi
suatu permohonan masuk tahap proses pembuktian dalam persidangan MK. Dengan
adanya pengaturan Pasal 158 UU No 8 Tahun 2015 dan Pasal 6 Ayat (3) PMK No
5/2015, merujuk penyelesaian sengketa hasil pilkada tahap pertama 2015, dari
147 perkara yang terdaftar di MK, hanya tujuh perkara yang masuk ke proses
pembuktian. Pertanyaan yang sangat menggelitik: bagaimana jika terjadi
pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam
proses pilkada sementara selisih suara berada lebih besar dari ambang batas?
Jika ditelusuri ke
belakang, pengalaman menunjukkan, kesempatan mengajukan permohonan ke MK
tidak sepenuhnya murni digunakan untuk mengoreksi kesalahan penghitungan
suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon. Bentangan empirik
menunjukkan, sebagian pasangan yang kalah dalam pilkada berupaya memilih
jalur ke MK sebagai "jalan pintas" untuk mengubah pilihan rakyat.
Pada salah satu sisi, pilihan menggunakan jalur MK menjadi modus memanfaatkan
longgarnya tafsir pelanggaran yang bersifat TSM hingga MK menjadi keranjang sampah
ketidaksiapan menerima hasil pilkada. Sementara di sisi lain, waktu MK
menjadi terbatas menuntaskan permohonan pengujian UU.
Terkait dengan kondisi
itu, dalam tulisan "Memudarnya Mahkota MK" (Kompas,14/8/2013), saya
mengusulkan sengketa pilkada yang diajukan ke MK dibatasi. Namun, gagasan ini
tetap dengan catatan bahwa pembatasan tersebut bisa diterobos sekiranya
alasan permohonan karena adanya pelanggaran yang bersifat TSM. Namun, dengan
alasan bahwa ambang batas dalam Pasal 158 UU No 8 Tahun 2015 merupakan open
legal policy pembentuk UU, saat menyelesaikan sengketa Pilkada 2015 MK
menerapkan secara ketat. Padahal, apabila MK menerobosnya, sangat mungkin di
antara 140 yang tidak masuk ke sidang pembuktian melakukan pelanggaran yang
bersifat TSM.
Karena alasan MK
didasarkan open legal policy,
revisi UU No 8 Tahun 2015 sebaiknya tetap mempertahankan ambang batas dengan
menambahkan norma baru: pembatasan dapat diterobos MK sepanjang terdapat
bukti-bukti kuat telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM yang memengaruhi
terpilihnya calon. Sebagai peradilan konstitusi, MK tak boleh terbelenggu
aturan-aturan keadilan prosedural (procedural
justice) memasung keadilan substantif (substantive justice).
Dengan dibukanya
kemungkinan menerobos ketentuan ambang batas, lembaga yang berwenang
menyelesaikan sengketa pilkada tidak perlu menjadi pokok bahasan dalam revisi
UU No 8 Tahun 2015. Meski Pasal 157 UU No 8 Tahun 2015 mengatur bahwa perkara
perselisihan hasil pilkada diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus,
amanat ini akan dilaksanakan dalam pilkada serentak nasional tahun 2022.
Bahkan, pengalaman penyelesaian sengketa 2017 dan 2018 mendatang dapat
menjadi pertimbangan apakah memang diperlukan peradilan khusus guna
menyelesaikan sengketa pilkada. Atau, bisa jadi mempertahankan tetap
diselesaikan oleh MK menjadi pilihan yang paling rasional.
Artinya, proses
legislasi yang tengah dilakukan, revisi UU No 8 Tahun 2015, harusnya DPR dan
pemerintah mengambil fokus terhadap persoalan yang berpotensi merusak makna
hakiki penyelenggaraan pilkada. Apalagi, pembentuk UU berkewajiban menjaga
makna hakiki pilkada yang demokratis dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.
Kewajiban serupa juga menjaga asas-asas pemilu yang bersifat langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar