Darurat Bahaya Dunia Anak
Listiyono Santoso ;
Penulis; Dosen Ilmu Etika dan Filsafat
Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 29 Februari
2016
AWAN gelap kembali menyelimuti dunia anak-anak
kita. Berbagai kejadian tragis yang menimpa telah menjadikan dunia anak-anak
berada pada situasi yang suram. Kekerasan, pencabulan, perdagangan manusia,
hingga pembunuhan seolah tanpa jeda menimpa kalangan anak-anak.
Keprihatinan mendalam memang layak muncul.
Namun, dari semua persoalan tersebut, problema yang tidak kalah seriusnya
adalah, apakah benar selama ini kita sudah cukup memberikan ruang bagi
anak-anak menikmati masa kanak-kanaknya? Atau sebaliknya, dunianya
orang-orang dewasa yang dipaksakan kepada anak-anak?
Neil Postman dalam The Disappearance of
Childhood (1994) mengatakan bahwa anak-anak adalah pesan hidup yang kita
kirim ke sebuah masa yang bisa jadi tidak akan kita saksikan. Mendidik anak
dengan baik sesuai fase moral mereka adalah bagian penting dari membangun sebuah
masa depan. Karena itu, wajar ketika Postman begitu prihatin terhadap
berbagai sinyal yang membahayakan dunia anak-anak kita, baik yang manifes
maupun yang laten.
Postman begitu prihatin terhadap masa depan
dunia anak-anak yang kian kehilangan roh sebagai dunianya para bocah. Dunia
anak yang dibentuk orang dewasa yang memaksakan kehendak.
Keprihatinan Postman tersebut memang
beralasan. Menurut Postman (1994), setidaknya ada beberapa alasan ketika
orang-orang dewasa tidak lagi memiliki konsep tentang anak-anak dan ketika
anak-anak kehilangan masa kanak-kanak.
Anak-anak kita dididik, dibentuk, dan
diciptakan dengan logika orang dewasa. Setiap hal yang menyangkut kepentingan
anak-anak, orang dewasa begitu mendominasinya. Mulai selera makanan, pakaian,
hingga permainan dibentuk dengan langgam orang dewasa.
Iklan-iklan di media visual tentang makanan,
cara berpakaian, hingga alat permainan dibentuk dengan selera dewasa. Bahkan,
acara TV nasional pun hampir tidak ada yang layak dikonsumsi untuk anak-anak.
Sinetron yang kelihatan bercerita tentang dunia anak-anak tapi alur cerita
dan setting yang digunakan adalah ceritanya orang dewasa, seperti
perkelahian, pacaran, dan konflik.
Soal pilihan fashion, anak-anak kita sekarang
berpenampilan sebagaimana penampilan orang dewasa. Tragisnya, dalam dunia
permainan pun, anak-anak sekarang lebih memilih permainan dengan langgam
dewasa seperti game online dan PlayStation.
Benar kata Postman, permainan anak-anak yang
dulu dimainkan sebagai kegembiraan semata belakangan mulai melenyap.
Permainan anak tidak lagi bersifat rekreatif, tetapi mulai bersifat
produktif.
Dikompetisikan dan dipertandingkan. Permainan
anak tak lagi berorientasi pada kegembiraan anak semata, tetapi karena
kesenangan orang dewasa (orang tua) yang mendapatkan keuntungan berupa
reputasi, citra diri, dan lainnya.
Fakta tersebut memberikan gambaran bahwa
seolah tidak ada lagi beda selera anak-anak dengan selera orang dewasa. Dalam
soal kriminalitas pun, kejahatan anak-anak sudah tidak lagi berbeda dengan
apa yang dilakukan orang dewasa.
Memalak, menganiaya, mencuri, dan ada yang
melakukan kriminalitas berat seperti membunuh yang mulai dilakukan oleh
anakanak. Meski, sesungguhnya mereka bisa jadi tidak memahami mengapa harus
melakukan kekerasan pada anak lainnya.
Mencengangkan memang. Anakanak usia sekolah
telah melakukan berbagai tindakan yang hanya bisa dilakukan orang-orang
dewasa. Realitas itu tentu saja memprihatinkan kita semua. Ada apa dengan
dunia (k)anak-(k)anak kita? Mengapa anak-anak (kita) telah berkembang
melampaui dunianya sebagai seorang bocah?
Bagaimana dengan pendidikan dasar kita?
Tragisnya, dunia pendidikan kita, yang seharusnya menjadi ruang belajar anak
terhadap dunia kehidupannya, justru menjadi tempat mengasingkannya dari alam
lingkungan anak-anak. Pendidikan dasar yang seharusnya merupakan pendidikan
moral kepribadian saat ini justru berkembang menjadi tak lebih dari
persekolahan yang sekadar mengejar kemampuan akademik.
Karena dunia pendidikan dasar kita dibentuk
dan diciptakan dengan langgam orang dewasa, anakanak pun harus mengikuti
standar pendidikan untuk orang dewasa.
Karena itu, wajar jika kita menyaksikan
anak-anak kita setiap hari harus mendapatkan berbagai materi pengetahuan
sekaligus menghafalkannya. Parahnya, pengetahuan yang didapat pun tidak
sesuai dengan fase perkembangan moral anak.
Bagaimana tidak parah, anak-anak sekolah dasar
harus belajar tentang sistem demokrasi, tugas dan fungsi kepala desa, serta
pengetahuan verbal lainnya yang tidak pernah berhubungan dengan dunia mereka.
Sekolah (saat ini) tidak ubahnya ’’tempat’’
mencerabut anak dari dunianya. Karena tuntutan orang dewasa, anak-anak kita
setiap hari diberi beban pekerjaan sekolah. Sudah lelah bersekolah, diberi
pekerjaan rumah, masih ikut les privat. Praktis, anak-anak kehilangan
dunianya karena kepentingan orang dewasa.
Usia anak adalah usia pramoral dan
prakonvensional, kata Lawrence Kohlberg. Usia di mana tindakan seorang anak
lebih berorientasi kepada naluri sebagai seorang anak tanpa melihat apakah
tindakan itu secara moral baik atau buruk. Dunia anak memang memiliki
logikanya sendiri.
Hanya orang-orang dewasa yang mengerti pada
dunia anak yang akan mendidik anak sesuai dengan fase usia mereka. Anak-anak
di sekitar kita adalah anak-anak kita meski bukan anak biologis.
Usia anak adalah usia di mana mereka
membutuhkan keterlibatan orang dewasa untuk dapat berkembang menjadi generasi
yang berkualitas. Karena itu, mendidik anak harus benar-benar menjadi
prioritas utama. Sebab, ia adalah pesan hidup tentang generasi masa depan
sebuah bangsa. Kegagalan kita mendidik anak-anak adalah kegagalan kita
membangun masa depan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar