Rabu, 16 Maret 2016

Agar Tidak Terkaget-kaget Donald Trump

Agar Tidak Terkaget-kaget Donald Trump

Dahlan Iskan  ;   Mantan CEO Jawa Pos
                                                      JAWA POS, 14 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEPERTINYA, kita sudah perlu tahu tentang yang satu ini: Bagaimana cara memahami jalan pikiran Donald Trump. Yang begitu aneh. Dan mengejutkan. Sampai-sampai ada tokoh partainya sendiri yang menganggapnya Hitler.

Sepertinya, kita sudah perlu belajar memahami yang satu ini: Mengapa ada orang yang menyenangi Donald Trump. Yang kian lama ternyata kian populer. Bahkan sudah memenangi persaingan calon presiden. Dari partai konservatif. Partai Republik.

Di banyak negara bagian. Memang luar biasa banyak yang membencinya. Sampai ada kaukus anti-Trump. Termasuk di partainya sendiri.

Tapi, sepertinya, akhirnya, dialah yang terpilih. Jadi calon presiden dari Partai Republik. Lalu, siapa tahu, terpilih pula menjadi presiden Amerika Serikat.

Lebih baik kita tahu penyebab kepopulerannya. Daripada terkaget-kaget terus.

Kebetulan, saya baru mengikuti analisis yang sangat menarik. Dari seorang profesor ahli cara otak bekerja. Analisis itu dipublikasikan oleh Prof George Lakoff minggu lalu. Di Huffington Post. Lakoff bukan sembarang profesor. Dia distinguished professor. Dia ahli dalam ilmu ”bagaimana cara otak berpikir”. Lakoff sudah menulis empat buku di bidang itu. Yang terakhir berjudul Jangan Berpikir seperti Seekor Gajah.

Lakoff melihat, Donald Trump harus dinilai dari cara berpikir keluarga konservatif. Bukan keluarga progresif. Partai Republik adalah partai konservatif. Demokrat yang progresif.
Seseorang tergolong konservatif (atau progresif) bisa dilihat dari beberapa ciri. Yang konservatif, umumnya, berpikir bahwa disiplin keluarga adalah segala-galanya. Ayah adalah sosok yang strict. Ayah adalah wakil Tuhan di keluarga itu: memimpin doa, mendisiplinkan keluarga, menghukum anak, mengusahakan kesejahteraan, menjamin keamanan, menjaga kehormatan, dan seterusnya. Karena itu, umumnya, mereka penganut moral agama yang fanatik. Meski belum tentu menjalankan ritual keagamaan dengan baik.
Kalau perlu, ayah mendisiplinkan anak dengan kekerasan fisik. Prinsipnya: disiplin adalah benar. Disiplin adalah terhormat. Disiplin adalah sukses. Disiplin adalah menang. Disiplin adalah sumber kaya.
Mereka berpikirnya tembak langsung. Sebab-akibat. Tidak komprehensif. Mereka anggap berpikir komprehensif itu muter-muter.
Maka, tembak langsung saja. Salah harus dihukum. Membangkang diserang. Mengatasi membanjirnya imigran pun gampang: Bangun tembok. Mengatasi membanjirnya barang impor mudah: Larang! Mencari pengakuan: Siksa! Menjaga keamanan keluarga: Milikilah senjata di rumah! Karena itu, Obama gagal terus dalam usahanya membatasi kepemilikan senjata.
Rakyat senang dengan isu nilai-nilai keluarga seperti itu. Rakyat juga senang dengan jawaban tembak langsung. Seolah persoalan di depan mata langsung mendapati jalan keluar.
Keluarga Amerika sangat mendalam menghayati nilai keluarga seperti itu.
Realistis atau tidak soal lain. Mereka tidak bertanya: Apakah mungkin membangun tembok pembatas antarnegara sepanjang 1.500 km? Antara Amerika dan Meksiko itu. Apakah mungkin tidak ada impor barang? Apakah mungkin kalau semua orang punya senjata menjadi lebih aman?
Cara berpikir begitu menurun ke anak-cucu. Sebab, semua orang pada awal tumbuh berkembang di lingkungan keluarga. Nilai-nilai keluarga seperti itu terus terbawa. Termasuk ke dalam sikap sosial. Bahkan ke dalam sikap bernegara. Mereka mengidentikkan negara dengan sebuah keluarga. Harus ada bapak. Harus ada yang mendisiplinkan. Harus aman. Harus sejahtera. Harus kuat. Harus menang.
Bagi mereka, kemiskinan seseorang adalah akibat tidak disiplin. Tidak disiplin berarti malas. Malas berarti miskin. Miskin berarti lemah.
Karena itu, orang konservatif menilai kemiskinan adalah urusan keluarga. Bukan urusan sosial. Apalagi urusan negara. Karena itu, ideologi konservatif tidak mau pajak tinggi.
Pajak yang tinggi berarti mengganggu kesejahteraan keluarga. Miskin, menurut mereka, tidak bisa diatasi dengan pajak tinggi. Yang hasilnya untuk menolong mereka. Itu urusan ketidakdisiplinan dalam keluarga.
Kini Trump kembali mengibarkan panji-panji itu. Tinggi-tinggi. Panji yang dianggap sudah kian luntur. Sejak Obama jadi presiden. Harus dihentikan. Jangan sampai diteruskan oleh Hillary Clinton. Orang konservatif bangga karena ada tokoh yang mau mengibarkan lagi panji-panji itu. Calon lain dari Partai Republik juga mengibarkannya. Tapi malu-malu. Trump-lah pahlawan mereka.
John McCain, misalnya, kalah oleh Obama karena dianggap lemah. Bukan simbol konservatif yang sempurna. Mengapa? Sebab, McCain pernah tertembak dan ditahan dalam perang Vietnam.
Di mata konservatif, orang yang pernah tertembak adalah orang lemah. Orang kalah. Bukan pahlawan. Padahal, McCain waktu kampanye membanggakan kepahlawanannya dan pengorbanannya dalam membela negara.
Apakah Trump akan menang?
Sayangnya, rakyat Amerika yang meninggalkan sikap konservatif semakin banyak. Orang kian liberal. Yang bersikap liberal terus bertambah. Buktinya: Obama menang. Sampai dua kali.
Lalu, apa yang menyebabkan Trump nanti bisa menang?
Tinggal satu jawaban: Rakyat sudah bosan dengan politik.
Rakyat Amerika sudah sangat muak dengan kelakuan anggota DPR-nya. Yang gaji dan fasilitasnya luar biasa, tapi hasilnya dinilai tidak memadai. Calon-calon kuat sekarang ini anggota DPR semua. Baik yang dari konservatif maupun progresif.
Rakyat sudah muak kepada DPR. Ingin calon yang segar. Yang tidak berbau politik. Trump mereka anggap sebagai calon yang datang dari langit.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar