Kaleidoskop Perberasan 2015
Sapuan Gafar ; Mantan Sekretaris Menteri Negara Pangan dan
Wakabulog
|
KOMPAS,
11 Januari 2016
Setelah pelantikan kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla 2014-2019, di
bidang perberasan diawali dengan pernyataan Menteri BUMN bahwa beras untuk
orang miskin alias raskin akan diganti e-money.
Semua pihak menunggu kejelasan ”kebijakan” tersebut. Akan tetapi, dampaknya,
harga beras mbedal atau melonjak naik 30 persen pada Februari 2015.
Tulisan ini merupakan kaleidoskop atau sorotan ringkas peristiwa
perberasan 2015 dan bagaimana kita mengambil hikmah darinya.
Paling tidak terdapat empat peristiwa penting. Pertama, heboh
kenaikan harga beras pada Februari. Kedua, seretnya pengadaan dalam negeri
oleh Bulog yang berujung pada pergantian direksi Perum Bulog. Ketiga,
datangnya El Nino kuat yang mengganggu produksi beras. Keempat, pemerintah
akhirnya ”menyerah” dan terpaksa mengimpor beras.
Guna menekan gejolak harga, pemerintah tergopoh-gopoh
mengatasinya dengan menyalurkan raskin dua bulan sekaligus dan
menggelontorkan beras operasi pasar (OP). Harga beras pun mulai mereda karena
didukung oleh panen padi yang mulai ada di sana-sini. Selanjutnya, Presiden
Joko Widodo dengan percaya diri mengatakan tetap tidak ada impor beras tahun
ini.
Namun, pernyataan yang baik dari Presiden ini ternyata membuat
pasar beras bereaksi sebaliknya. Pedagang mulai ancang-ancang untuk
berspekulasi dengan memburu hasil panen padi karena memperkirakan harga beras
tahun 2015 akan tinggi. Hal ini terlihat saat panen awal Februari yang
terjadi di daerah Grobogan, Demak, Kudus, dan Sragen di Jawa Tengah, yang
kemudian disusul Ngawi dan Madiun di Jawa Timur pada awal Maret. Padi pun
diserbu pedagang/penggilingan dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta,
bahkan dari Jawa Barat.
Selanjutnya, Inpres Perberasan yang ditunggu masyarakat
ditandatangani Presiden pada 17 Maret 2015. Dalam inpres ini, posisi raskin
tidak berubah, yaitu tetap merupakan bagian tak terpisahkan dari kebijakan
peningkatan produksi dan stabilisasi harga serta penyaluran stok publik.
Presiden Joko Widodo tampak hati-hati dalam menetapkan harga pembelian
pemerintah (HPP) yang naik 12 persen untuk gabah dan 11 persen untuk beras.
Hal ini mungkin mempertimbangkan daya beli konsumen serta harga beras kita
yang sudah dua kali harga internasional.
Belajar dari kedua peristiwa tersebut, yaitu tentang penghapusan
raskin dan pernyataan tidak ada impor, ternyata membuat pasar menjadi tidak
pasti. Harga gabah kering panen (GKP) bergerak sekitar Rp 4.500 per kg,
padahal HPP hanya Rp 3.700. Dampaknya, Perum Bulog sulit melakukan pembelian.
Musibah El
Nino
Mungkin karena rencana pembelian Perum Bulog yang semula 2,7
juta ton ditingkatkan menjadi 4,5 juta ton, maka tidak ada jalan lain kecuali
melonggarkan persyaratan kualitas pengadaan. Dengan cara ini, pembelian Perum
Bulog mulai berjalan, realisasi sampai akhir Mei 2015 mencapai 1,3 juta ton,
masih sesuai dengan tren tahun sebelumnya, tetapi memang jauh dari target.
Melihat kemajuan pembelian Perum Bulog yang dianggap lambat,
pemerintah pada awal Juni akhirnya mencopot direktur utama dan direktur
pelayanan publik. Masyarakat menilai pergantian ini tak lazim karena ”sopir
dan kenek” diganti sekaligus. Direksi baru kemudian menggebrak lapangan
dengan menggunakan segala macam jurus, termasuk meningkatkan pembelian
komersial. Hasilnya masih jauh dari harapan, total pembelian satu tahun untuk
melayani kebutuhan raskin hanya dapat 1,98 juta ton dan pembelian komersial
700.000 ton.
Tampaknya keberuntungan belum berpihak karena mulai Mei
tanda-tanda kekeringan mulai muncul. Sebenarnya, pada Maret, Paulus Agus
Winarno sudah mengingatkan adanya indikasi penyimpangan cuaca (Kompas, 20
Maret 2015), kemudian diingatkan lagi tentang prospek gejala alam El Nino
(Kompas, 30 Mei 2015). Akhirnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) mengeluarkan prakiraan curah hujan Juni 2015 dengan memetakan
daerah yang kurang hujan (Kompas, 18 Mei 2015). Dalam peta tersebut ternyata
daerah-daerah produsen padi di Jawa dan Sulawesi curah hujannya tergolong
kurang.
Pengalaman empiris selama ini menunjukkan bahwa, apabila curah
hujan bulan Juni masih cukup, panen gadu akan bagus. Padahal, telah
diberitakan bahwa pada awal tahun 2015 jadwal panen padi musim rendeng mundur
satu bulan sehingga memengaruhi jadwal tanam padi gadu berikutnya.
Dampaknya, banyak tanaman padi kekurangan air yang mengakibatkan
pembuahan bulir padi tidak sempurna. Hal tersebut dikonfirmasi dari hasil
panen padi gadu yang rendemen GKP hanya mencapai sekitar 50 persen (kurang
bagus) dibandingkan panen musim rendeng yang mencapai sekitar 55 persen
(sangat bagus).
Dampak El Nino terhadap produksi beras tersebut menyebabkan
harga gabah/beras terus bergerak naik secara perlahan mulai Juli sehingga
menyebabkan semakin seretnya pengadaan Perum Bulog. Walaupun pemerintah
optimistis bahwa produksi beras tidak terpengaruh El Nino, pasar bereaksi
lain. Toh, akhirnya, setelah mempertimbangkan stok beras Perum Bulog pada
akhir tahun 2015 diperkirakan mencapai titik nadir, pemerintah mengumumkan
akan mengimpor beras 1,5 juta ton. Walaupun terjadi silang pendapat di antara
pejabat pemerintah, akhirnya impor beras tidak bisa dielakkan lagi.
Hikmah yang
dapat diambil
Pelajaran yang dapat diambil, pertama, pasar memerlukan
kepastian. Terlihat bahwa setiap ada isu akan ada penghapusan raskin, harga
beras akan bergejolak. Setiap ada pernyataan tidak ada impor, pasar akan
menghadapi perilaku pelaku pasar yang sulit diduga. Dengan demikian, apabila
kita belum siap menghadapi gejolak pasar, sebaiknya berhati-hati mewacanakan
sesuatu yang kemungkinan akan mengganggu ketenangan pasar. Seperti keadaan
pasar beras yang relatif tenang pada Desember 2015, itu sebenarnya karena
pasar golongan bawah telah ”dibanjiri” dengan penyaluran raskin bulan ke-13
dan bulan ke-14, ditambah operasi pasar yang jumlah totalnya mendekati
500.000 ton.
Pelajaran kedua, semua orang setuju apabila kita dapat
berswasembada beras. Namun, ada instrumen yang dilupakan, yaitu pada harga
berapa swasembada tersebut dicapai. Kita tidak dapat meniru kebijakan zaman
kolonial, di mana negara kita menjadi eksportir gula dan beras tetapi rakyat
kita sendiri tidak mampu membeli gula dan beras sendiri.
Selain itu, kita telah bersetuju bergabung dengan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA). Maka, bagaimana nasib beras dan gula kita yang tidak
kompetitif, semuanya memerlukan kebijakan dan persiapan yang matang.
Pelajaran terakhir tentang target pengadaan Bulog yang dianggap
menyalahi khitah yang dianut selama ini. Tugas Bulog itu membeli pada harga
beli yang ditetapkan (HPP). Dengan demikian, apabila harga di atas HPP,
secara otomatis Bulog tidak perlu intervensi pasar lagi. Rohnya operasi Bulog
itu buyer of the last resort atau
pembeli terakhir apabila sudah tidak ada pembeli lagi. Oleh karena menyangkut
hal yang mendasar sekali, apabila diubah menjadi sistem target, memerlukan
kebijakan yang berbeda.
Semoga pengalaman ini menjadi pelajaran dan hikmah bagi kita
bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar