GBHN dan Amandemen UUD
Bambang Kesowo ; Ketua Dewan Penasihat Ikatan Keluarga
Alumni Lemhannas
|
KOMPAS,
19 Januari 2016
Hanya dalam hitungan
hari sejak Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri melontarkan
pemikiran dalam rakernas partai tentang dibutuhkannya kembali Garis-garis
Besar Haluan Negara, muncul begitu banyak tanggapan terhadapnya.
Ada yang mengatakan
tidak perlu. Ada yang menyimak dengan sikap kritis. Ada lagi yang
mengingatkan perlunya ide tersebut dikelola dengan baik agar tak menjadi bola
liar, dan menjadi alat tawar-menawar politik. Sekalipun begitu, banyak pula
yang setuju dengan gagasan itu demi keberlanjutan gerak dan pencapaian
sasaran, dan demi efisiensi sumber daya, penyelenggaraan negara ini dapat
diberi tuntunan yang satu, sama untuk semua, dan berlaku baku. Usulnya juga
jelas dan konkret: agar GBHN diadakan kembali.
Masalahnya, bagaimana
mewujudkannya. Karena ketiadaan GBHN saat ini berawal dari peniadaan
ketentuan dalam UUD, logikanya, ya, mesti mengembalikannya ke dalam UUD.
Konsekuensi logika tadi, mengubah lagi UUD. Masalahnya bukan mungkin atau tak
mungkin. Banyak yang malah mengantisipasi dengan pertanyaan: akan sesederhana
itukah langkah yang diperlukan, atau seberapa besarkah kemampuan kita
mengelola kerumitan yang diperkirakan akan mengikutinya?
Pengalaman kolektif
bangsa ini, terutama sejak 10 tahun terakhir, menyediakan banyak alasan dan
penjelasan yang dapat memberi pembenaran mengapa haluan penuntun bagi
penyelenggaraan negara dan pembangunan itu perlu ada. Tiap awal siklus lima
tahunan dirasa bagai awal baru kegiatan pembangunan, (seakan) dari nol, atau
setidaknya dari platform yang berlainan. Tidak dirasa ada kesinambungan dan
keberlanjutan antara satu dan sebelumnya. Namun, harus pula diakui, kebebasan
pikir yang dihadirkan pasca reformasi juga menghadirkan penilaian berbeda
atas pengalaman yang diperoleh.
Pemilihan presiden
secara langsung memang memungkinkan calon presiden menawarkan janji berbeda
dari presiden sebelumnya, atau bahkan berlainan dari yang telah dilakukannya
sendiri lima tahun terakhir. Sesuai keyakinan dan pandangan politiknya,
sebagai calon boleh menjanjikan masa depan, harapan, berikut prioritas dan
cara pencapaiannya, sebagai rencana kerja dan program pembangunan yang akan dilaksanakan
lima tahun ke depan. Bukankah kontes dalam pilpres tak lepas dari persaingan
janji dan program?
Kerumitan proses
Seakan mendahului
kemungkinan pertanyaan atau keraguan, perumus Rakernas PDI-P dengan cepat
menyatakan, kerangka dan landasan hukum bagi keberadaan GBHN akan
diperjuangkan melalui amandemen terbatas UUD. Artinya, secara teknis hanya
perlu mengubah pasal dalam UUD yang dianggap pas guna mewadahi keberadaan
GBHN. Mungkin, maksudnya memasukkan rumusan ke dalam pasal yang dahulu mengatur
kelembagaan dengan kewenangan menetapkan GBHN.
Mampukah partai
pengusung ide itu mewujudkan pikirannya? Pertanyaan bernada keraguan tak
terelakkan karena pasti masih banyak yang ingat bagaimana kapasitas dan
performa senyatanya para politisi partai bersangkutan di masa lalu. Saat
menjadi pemenang dalam Pemilu 1999, kenyataannya tak mampu mengantarkan
kadernya sebagai presiden. Dalam Pemilu 2014 pun, meski juga keluar sebagai
pemenang, lagi-lagi tak lantas dapat menjadikan diri dan kelompoknya sebagai kekuatan
untuk menginisiasi perubahan UU MD3 yang jelas-jelas ”mengerjainya”.
Menarik pula menyimak
kembali beberapa pikiran/usulan serupa yang sudah hadir sejak rentetan
amandemen UUD selesai. Layak disimak karena pikiran/ usulan tadi besar
kemungkinan dapat memengaruhi perwujudan ide itu. Pasti masih banyak yang
ingat, beberapa tahun setelah rentetan amandemen, juga lantang disuarakan
usul untuk kembali ke UUD 1945 seperti kondisi sebelum diubah.
DPD juga pernah usul
dilakukannya amandemen UUD (bahkan hingga kini masih disuarakan DPD), untuk
memberikan kewenangan lebih dari yang dimilikinya sekarang. Mungkin masih
banyak yang ingat pandangan yang malah menginginkan perubahan total UUD
mengingat dampak yang dinilai buruk dalam praktik pengelolaan negara pasca
rentetan amandemen. Namun juga perlu diingat, ada pula pandangan yang justru
menolak perubahan apa pun. Sikap itu datang dari kelompok yang merasa bahwa
kepentingannya telah terakomodasi melalui rentetan empat kali perubahan UUD
1945. Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas, dalam konvensi nasional yang diadakan
Maret 2007, telah mengidentifikasi dan menginventarisasi berbagai gejolak
pikir tersebut. Mereka bahkan merangkumnya melalui sebuah konvensi dan
menjadikannya sebuah ”rangsangan pikir” dengan judul ”Apa Ada yang Salah
dalam Perubahan UUD 1945”. Di dalamnya juga tercakup problema yang timbul
dari ketiadaan GHBN tadi.
Adalah penting
mencermati berbagai pandangan dan keinginan yang berbeda itu. Mungkin saja
banyak pihak yang menyetujui ide meneguhkan kembali GBHN dan menyatakan
dukungan mereka. Tetapi juga bukan tak mungkin karena faktor dinamika ataupun
taktik perjuangan untuk mewujudkan kepentingan politik, mensyaratkan bahwa
untuk dukungan yang diberikan mereka juga minta ”agar kebutuhan dan kepentingannya
diakomodasi”. Mereka mungkin juga hanya akan perlu amandemen (yang) terbatas,
walau dalam arti cuma sebatas kebutuhan dan kepentingannya saja.
Mungkin dalam konteks
kewaspadaan di atas, Saldi Isra (Kompas, 12/1) mencatat bahwa amandemen
terbatas, walau dimungkinkan, tetap saja memerlukan kehati-hatian. Mahaguru
tersebut tidak keliru. Bak sebuah perumpamaan, langkah tersebut bagai meniti
bibir tebing yang curam. Memang tidak mudah mencegah, atau memagari, apalagi
melarang dan menjamin bahwa pihak yang mendukung usul tersebut tidak
menyertakan kebutuhan dan kepentingannya. Tidak mudah karena dari mula juga
sudah memiliki kepentingan sendiri. Ide tentang amandemen terbatas, dalam
kondisi banyaknya pandangan, kebutuhan, dan kepentingan yang berbeda, tidak mudah
dielakkan menjadi ajang tawar-menawar politik, dan karena itu bisa-bisa malah
menebar kerawanan. Yang semula dirancang terbatas akhirnya menjadi tidak
terbatas.
Beberapa gambaran
dapat disajikan untuk melukiskan tidak akan sederhananya langkah amandemen
terbatas dalam upaya menghadirkan kembali GBHN itu. Di samping kemungkinan
”kalau satu masuk, yang lain juga ikut masuk”, perlu disimak apakah
benar-benar cukup kalau hanya sekadar memasukkan ketentuan mengenai GBHN?
Mampukah langkah itu memberikan kepastian bahwa hal itu tak akan merembet
pada kebutuhan penyesuaian kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR? Dapatkah ide
amandemen terbatas tadi memberi kepastian bahwa hal itu tak akan memerlukan
konsep pengaturan ulang sekitar hubungan tata kerja di antara lembaga negara?
Kalau semua pertanyaan tersebut tak memperoleh jawab, tampaknya itu pula yang
melandasi pandangan bahwa amandemen terbatas bukanlah soal sederhana, dan
mungkin sulit terwujud.
Filosofi dan tujuan bernegara
Terkait dengan soal
GBHN itu sendiri, baik juga kalau direnungkan kembali segala rembuk para
pendiri negara ini sewaktu merancang UUD tadi (Catatan: Sekretariat Negara RI
telah membukukan Risalah Sidang BPUPKI–PPKI 25 Mei 1945–22 Agustus 1945, dan
menerbitkannya 1995). Meski disertai debat yang keras, para pemimpin
merancang dengan terlebih dahulu bersepakat membangun pola pikir yang sama.
Mereka sepakat berpegang pada bangun negara berdasar desain yang lengkap dari
dasar, tujuan hingga konsistensi dalam penjabarannya dalam batang tubuh UUD.
Dalam pikiran dan konsep mereka pula, GBHN diciptakan sebagai perangkat guna
menuntun penyelenggara pemerintahan negara dalam upaya mewujudkan tujuan
bernegara. Sebagai kaidah penuntun, GBHN karena itu ditetapkan oleh lembaga
(MPR) yang dahulu mereka bayangkan sebagai ”penjelmaan rakyat, pengemban
kedaulatan rakyat”. Dalam konteks pola pikir yang disiplin itu, para pemimpin
dahulu membangun nalar dan filosofi GBHN secara runut.
Orang boleh berkata
”itu dulu” atau ”waktu berjalan, zaman berubah, dan nilai berkembang” dan
lainnya. Mungkin karena itu pula kini ada yang mengembangkan pikiran bahwa
problema yang timbul dari ketiadaan GBHN bisa dipecahkan dengan ”pemahaman
baru”. Baru, karena GBHN tak diletakkan dalam konteks hubungan antara Tujuan
Negara dan perangkat penuntun upaya pencapaian tujuan tadi. Yang bagaimana?
Dikembangkan semacam tesis, jika memang telah ada kesepakatan bahwa perubahan
hanya boleh berlangsung pada Batang Tubuh, dan bukan pada Pembukaan UUD, maka
Tujuan Negara harus diterima dan dipegang sebagai sesuatu yang tetap
sifatnya. Semua, termasuk presiden, mesti menjadikan Tujuan Negara sebagai ”ultimate goal”, sebagai visi
kepemimpinannya.
Dalam pilpres, calon
presiden karena itu cukup menjabarkan sesuai pandangannya dalam program,
prioritas, dan sasaran untuk ditawarkan. Pemahaman serupa itu agaknya
didasarkan pula pada postulat bahwa hal itu sesuai dengan zaman, lebih
demokratis, dan seiring dengan konsekuensi sebuah pemilihan yang bersifat
langsung.
Pemahaman baru ini
belum tentu keliru meski juga belum tentu tepat dan mudah terwujud. Salah
satu persoalannya, yang namanya Tujuan Negara itu sendiri juga sering diberi
interpretasi dan warna berbeda. Pengalaman kita juga masih segar. Untuk soal
adil dan makmur saja ada yang berpikir adil dan makmur yang berwarna merah,
ada yang hijau, ada yang putih. Tentang bentuk negara pun kemarin juga ada
yang meluncurkan pikiran bahwa federasi, dan tak perlu republik, adalah opsi
yang lebih baik.
Jika hal-hal sekitar
Tujuan Negara dan lain-lain yang dikandung dalam Pembukaan UUD ternyata
memang masih membuka peluang adanya persoalan interpretasi, satu hal mesti
dicermati. Sampai dengan terwujudnya interpretasi dan pemahaman yang sama dan
baku tentang isi, tentang wujud, dan tentang spektrum segala cita yang
tertuang dalam Pembukaan UUD, pemaksaan tesis seperti di atas menjadi
terkesan terlalu menyederhanakan soal, ketika atas dasar itu disebarkan
pemahaman bahwa: (1) sebenarnya tidak perlu ada GBHN; (2) semua, termasuk dan
terutama presiden, cukup berpegang pada Tujuan Negara sebagai visi; (3)
biarkan atas dasar itu presiden bergerak dalam perencanaan dan pelaksanaan
program pembangunan lima tahun masa jabatannya/pembangunan jangka menengah.
Konten lain dalam alur
pikir pemahaman di atas adalah mewadahi janji presiden terpilih tentang arah
pembangunan, prioritas, dan penahapannya (baik jangka panjang maupun
menengah) dalam UU. Beriringan dengan logika itu, beberapa pandangan
dituangkan juga menyebut, fungsi tuntunan yang diperankan GBHN dapat diwujudkan
secara lebih komprehensif dalam UU, seperti halnya UU Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional 2004 dan UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2007,
atau kombinasi/peleburan dua UU tersebut. Pandangan ini mungkin juga tak
keliru. Namun kata kuncinya tetap sama: dapat berjalan apabila tak ada
perbedaan dalam pemahaman atau interpretasi tentang Tujuan Negara berikut
segala cita yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD. Kalau perbedaan itu ada, tak
syak lagi akan berbeda pula jabaran dalam UU-nya. Pertanyaan tersisa:
bagaimana mewujudkan dan menjamin agar tidak ada pemahaman atau tafsir yang
berbeda tersebut?
Kalau di hulu saja
pemahaman atau interpretasinya berbeda, biasanya jabaran di hilir juga tak
akan sama. Dari sisi pandang ini, dapat dipahami jika muncul pendapat tentang
tetap perlunya dijaga adanya keberlanjutan pembangunan sebagai prinsip atau
asas. Mungkin pengalaman 10 tahun sejak presiden dipilih langsung oleh rakyat
masih menyuguhkan tahapan belajar dengan banyak kekurangan. Namun, kalau
benar bahwa dalam tiga kali pilpres terakhir semua berpegang pada Tujuan
Negara (dan anggaplah pemahaman atau interpretasi mereka sama tentang itu),
bukankah semestinya tak ada persoalan dengan kerisauan tentang arah, gerak
pembangunan dan GBHN ini?
Kita tak perlu berpikir
mundur, atau takut hanya karena akan dianggap berpikir mundur. Masalahnya
bukan soal maju/reformis atau mundur/konservatif. Berpikir dengan jangkauan
jauh ke depan jelas menjadi keharusan. Namun, dalam membina kehidupan bangsa
yang luar biasa besar dan kompleks seperti bangsa Indonesia, adanya
keberanian melihat kondisi nyata dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan,
lebih utama. Sama utamanya, keberanian berpikir, bersikap, dan bertindak di
atas realitas kondisi tadi.
Ketika kita belum
mampu mewujudkan jaminan tentang akan atau pasti tetap samanya pemahaman atau
interpretasi mengenai ”Tujuan Negara dan prinsip- prinsip lain yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945”, tampaknya kebutuhan akan adanya
tuntunan yang dinamakan GBHN memang perlu dipikirkan. Namun, tanpa
kewaspadaan mengenai itu semua, apa yang semula diharap dapat selesai dengan
langkah terbatas, mungkin saja berkembang lebih luas baik dalam spektrum
maupun jangkauannya. Kalau kecenderungan terakhir itu yang harus
diantisipasi, sulit dihindarkan perlunya sebuah desain besar yang sedini
mungkin harus ditimbang dan disiapkan matang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar