Aldo, Ahok, dan Jakarta
Ronny P Sasmita ; Analis Ekonomi Politik Internasional
Financeroll Indonesia
|
HALUAN,
18 Januari 2016
Kekerasan terhadap Alldo Fellix Januardy, pengabdi
bantuan hukum atau pengacara publik dari LBH Jakarta, terjadi di Bukit
Duri Jakarta Timur ketika otoritas setempat ingin menggusur pemukiman
penduduk. Selasa menjelang siang (12/01/15) kabar itu melesat ke ponsel
saya, tak lama kemudian kronologi kejadian pun masuk ke grup aplikasi bicara
yang saya ikuti.
Grup ini adalah kumpulan
pemikir dan intelektual progresif yang mayoritas berisi anak-anak muda
jebolan UI, baik yang masih ada di Indonesia maupun yang sedang menempuh
pendidikan lanjutan di belahan dunia lain, plus beberapa senior dan dedengkot
seperti Andrinof Chaniago, Fahmi Idris, Prof. Muluk Hamidy, Fahri Hamzah,
Budiman Soejatmiko, dll.
Nah, salah satu anak muda
anggotanya adalah Aldo Fellix Januardy, yang dari foto-foto bukti yang beliau
kirim, terlihat cukup babak belur dan berdarah pasca kejadian bentrok
tersebut. Salah satu anggota lainya adalah saya sendiri, yang tidak terlalu
terikat secara intelektual dengan kampus kebanggan Indonesia itu (UI) karena
pendidikan strata satu yang saya tempuh berlangsung di Bandung, walau
beberapa tahun belakangan saya ikut serta menjadi pegiat beberapa komunitas
di sana .
Selain itu, keterlibatan saya
di grup ini juga disebabkan oleh aktifitas menulis saya yang konon menurut mereka cukup produktif.
Sebagian dari tulisan saya akhirnya ikut mampir di portal yang mereka
kelola, selain dimuat di berbagai media cetak nasional dan daerah. Setelah
cukup lama dilibatkan dalam berbagai diskusi, online maupun langsung, sayapun
menjadi cukup kenal dengan Aldo Fellix.
Beliau adalah anak muda yang
sangat energik. Darah pejuang dan pengabdian nampaknya mengalir deras di
tubuhnya. Pantang mendengar cerita pelanggaran HAM dan ketidakadilan. Aldo
adalah alumni Hukum UI. Semasa berkuliah, ia aktif di berbagai organisasi
kemahasiswaan. Prestasinya di bidang tersebut mengantarkan ia terpilih
menjadi Wakil Ketua dan kemudian Ketua (ad
interim) BEM FHUI tahun 2012.
Pada tahun 2013, ia kembali
terpilih menjadi perwakilan mahasiswa UI di Majelis Wali Amanat Universitas
Indonesia bertugas untuk menyampaikan aspirasi dari 49.000 mahasiswa terkait
arah kebijakan universitas pada forum tertinggi tersebut. Karena terpilih sebagai
satu-satunya perwakilan mahasiswa, MWA UI akhirnya memberi ia kesempatan
untuk duduk bersama dengan beragam tokoh masyarakat seperti Jusuf Kalla, Said
Aqil Siradj, dan Achir Yani S. Hamid selama satu tahun masa bakti.
Setelah lulus dari FHUI, ia
mengabdi sebagai pengacara pro-bono di LBH Jakarta. Di tengah
pengabdiannya, ia berhasil meraih penghargaan sebagai penerima beasiswa
untuk aktivis NGO berprestasi dari Yayasan Wakaf Paramadina dan berkesempatan
untuk melanjutkan studi S2 pada program Master of Diplomacy and Strategic International
Policies di Paramadina Graduate School of Diplomacy.
Kembali kepada kronologis
kejadian yang di rilis oleh Aldo kepada kawan-kawan, memang mulai terasa
bahwa pemerintahan DKI Jakarta di bawah Ahok sudah mulai berpaling dari
cara-cara yang humanis dalam menyelesaikan masalah. Kronologinya menurut Aldo, sekitar pukul 06.32, puluhan
aparat gabungan Satpol PP dan Polsek Tebet, didampingi Camat, datang ke
Bukit Duri.
Kemudian pukul 07.00, diskusi
berlangsung alot antara warga, Satpol PP, Polsek, dan Camat yang sedari awal
bersikukuh ingin menggusur warga. Warga membela diri dengan menyatakan
bahwa masih ada audiensi DPRD dan gugatan PTUN. Pada pukul 7.15, Aldo selaku
PP LBH mencoba memediasi diskusi yang berlangsung dan membela posisi warga.
Ketika itu, seperti kasus-kasus publik lainya yang beliau tangani, Aldo
mengingatkan bahwa polisi, satpol PP, dan camat harus menghargai proses
hukum
Namun ternyata pihak yang
diingatkan tidak bisa menerima pernyataan tersebut. Lalu aldopun langsung dikeroyok oleh 5 orang aparat
satpol PP dan Polri. Menurut pengakuan Aldo, Bapak Mahludin, Camat Tebet dan
bapak Nurdin, Kapolsek Tebet, juga ikut memukul dan mendorong.
Akhirnya Aldo mengalami luka-luka di bagian kepala, kacamata yang beliau
kenakan lensanya pecah di sisi kiri. Kemudian beliau ditarik jauh dari lokasi
diskusi dan diancam akan ditangkap jika bicara.
Seberapun saya heran membaca
dan mendengar cerita yang menimpa Aldo, bahkan sempat berfikir “hari gini masih ada aja cara-cara
yang demikian”, saya tetap harus realistis bahwa kejadian ini
benar-benar terjadi, bukan andai-andai.
Jakarta hari ini memang mulai
terasa agak kurang bersahabat, terutama bagi pihak-pihak yang berdiri tidak
segaris dengan penguasa ibu kota tersebut. Dibalik ketegasan dan cerita anti
korupsi yang digaung-gaungkan gubernurnya, good governance dan clean
government yang beliau kampanyekan, atau cerita pelayanan
prima DKI Jakarta yang beliau idam-idamkan, disisi lain banyak tersimpan
kontroversi dan negasi yang cukup mengherankan. Apalagi
jika dikaitkan dengan cara-cara beliau menghadap beberapa organisasi keagamaan
Islam.
Saya dan kawan-kawan lainya yang mengutuk banyak hal kontrobversial dari beliau berfikiran
sama soal ini. Mungkin apa yang kami fikirkan tak jauh berbeda dengan yang
dialami dan difikirkan Prabowo menjelang Pilkada Jakarta 2012 lalu dan
setelah Pilpres 2014 lalu, yakni sesosok yang dipuji lalu dinaikan, kemudian
berubah haluan dengan alasan-alasan yang sengaja dibuat-buat.
Tentu tidak perlu mengumbar
begitu banyak teori kepemimpian untuk mengukurnya, karena itu hanya akan
menyingkat waktu. Biarkan
perjalanan kekuasaan di ibu kota akan membuktikan bahwa semua citra yang dibangun
dengan uang puluhan miliar rupiah, hanya akan berputar-putar lalu berhenti di
ruang publik, tidak akan pernah masuk ke hati rakyat, jika pada akhirnya
kekuasaan itu digunakan untuk menelan hajat hidup rakyat banyak. Dan pada
ujungnya, kekuasaan yang jumawa dan arogan akan tumbang ditelan waktu,
dicibir oleh generasi selanjutnya, dan diolok-olok oleh comedian di layar kaca.
Dan ketika saya begitu lancar
bercerita tentang seorang Aldo kepada kawan-kawan kantor saya, seorang kawan
lain akhirnya mengalihkan pertanyaan. “Bapak
telah menceritakan sebanyak yang bapak bisa tentang kawan bapak, bung
Aldo, lantas apa yang bapak ketahui tentang Ahok?” ucapnya
bersemangat. Sayapun reflek menjawab, “saya tidak kenal Ahok, siapa itu
Ahok?”, saya berbalik bertanya. Gubernur DKI Jakarta, balasnya.
Oh Gubernur, saya pikir tukang pukulnya tuan tanah, jawab saya reflek dan
kami pun tertawa sedih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar