Kamis, 21 Januari 2016

Aldo, Ahok, dan Jakarta

Aldo, Ahok, dan Jakarta

Ronny P Sasmita  ;   Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia
                                                       HALUAN, 18 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kekerasan ter­hadap All­do­ Fe­ll­ix Januardy, pengabdi ban­­­tuan hukum atau penga­ca­ra publik dari LBH Jakarta, ter­jadi di Bukit Duri Jakarta Ti­mur ketika otoritas setem­pat ingin meng­gusur pemu­ki­man penduduk. Selasa menje­lang siang (12/01/15) kabar itu melesat ke ponsel saya, tak lama kemu­dian kronologi kejadian pun masuk ke grup aplikasi bicara yang saya ikuti.

Grup ini adalah kum­pulan pemikir dan intelektual pro­gresif yang mayoritas berisi anak-anak muda jebolan UI, baik yang masih ada di Indo­nesia maupun yang sedang menempuh pendidikan lanju­tan di belahan dunia lain, plus beberapa senior dan de­deng­kot seperti Andrinof Cha­niago, Fahmi Idris, Prof. Muluk Hamidy, Fahri Ham­zah, Budiman Soejatmiko, dll.

Nah, salah satu anak muda anggotanya adalah Aldo Fellix Januardy, yang dari foto-foto bukti yang beliau kirim, ter­lihat cukup babak belur dan berdarah pasca kejadian ben­trok tersebut. Salah satu ang­gota lainya adalah saya sen­diri, yang tidak terlalu terikat secara intelektual dengan kampus kebanggan Indonesia itu (UI) karena pendidikan strata satu yang saya tempuh berlangsung di Bandung, wa­lau beberapa tahun bela­ka­ngan saya ikut serta men­jadi pegiat beberapa komu­nitas di sana . 

Selain itu, keterlibatan saya di grup ini juga dise­babkan oleh aktifitas menulis saya yang konon menurut mereka cukup produktif. Sebagian dari tulisan saya akhirnya ikut mampir di por­tal yang mereka kelola, selain dimuat di berbagai media cetak nasional dan daerah. Setelah cukup lama dili­bat­kan dalam berbagai diskusi, online maupun langsung, sayapun menjadi cukup kenal dengan Aldo Fellix.

Beliau adalah anak muda yang sangat energik. Darah pejuang dan pengabdian nam­paknya mengalir deras di tubuhnya. Pantang men­de­ngar cerita pelanggaran HAM dan ketidakadilan. Aldo ada­lah alumni Hukum UI. Se­masa berkuliah, ia aktif di berbagai organisasi kema­ha­siswaan. Prestasinya di bidang tersebut mengantarkan ia terpilih menjadi Wakil Ke­tua dan kemudian Ketua (ad interim) BEM FHUI tahun 2012.

Pada tahun 2013, ia kem­bali terpilih menjadi per­wakilan mahasiswa UI di Majelis Wali Amanat Uni­versitas Indonesia bertugas untuk menyampaikan aspi­rasi dari 49.000 mahasiswa ter­kait arah kebijakan uni­versitas pada forum tertinggi tersebut. Karena terpilih se­ba­gai satu-satunya perwakilan mahasiswa, MWA UI akhir­nya memberi ia kesempatan untuk duduk bersama dengan beragam tokoh masyarakat seperti Jusuf Kalla, Said Aqil Siradj, dan Achir Yani S. Hamid selama satu tahun masa bakti.

Setelah lulus dari FHUI, ia mengabdi sebagai penga­cara pro-bono di LBH Jakar­ta. Di tengah pengabdiannya, ia berhasil meraih peng­har­gaan sebagai penerima beasis­wa untuk aktivis NGO ber­pres­tasi dari Yayasan Wakaf Paramadina dan berke­sempa­tan untuk melanjutkan studi S2 pada program Master of Diplomacy and Strategic In­ter­na­tional Policies di Paramadina Graduate School of Diplomacy.

Kembali kepada krono­logis kejadian yang di rilis oleh Aldo kepada kawan-kawan, memang mulai terasa bahwa pemerintahan DKI Jakarta di bawah Ahok sudah mulai berpaling dari cara-cara yang humanis dalam menye­lesaikan masalah. Kro­­no­logi­nya menurut Al­do, sekitar pukul 06.32, puluhan aparat gabungan Satpol PP dan Pol­sek Tebet, di­dampingi Camat, datang ke Bukit Duri.

Kemudian pukul 07.00, dis­kusi berlangsung alot anta­ra warga, Satpol PP, Polsek, dan Camat yang sedari awal ber­sikukuh ingin menggusur war­ga. Warga membela diri de­ngan menyatakan bahwa ma­sih ada audiensi DPRD dan gugatan PTUN. Pada pu­kul 7.15, Aldo selaku PP LBH mencoba memediasi diskusi yang berlangsung dan mem­­bela posisi warga. Ke­tika itu, seperti kasus-kasus publik lai­nya yang beliau tangani, Al­do mengingatkan bahwa po­li­si, satpol PP, dan camat ha­rus menghargai pro­ses hu­kum

Namun ternyata  pihak yang diingatkan tidak bisa menerima pernyataan tersebut. Lalu  aldopun langsung dikeroyok oleh 5 orang apa­rat satpol PP dan Polri. Me­nurut pengakuan Aldo, Bapak Mahludin, Camat Tebet dan bapak Nurdin, Kapolsek Te­bet, juga ikut memukul  dan mendorong. Akhirnya Aldo mengalami luka-luka di ba­gian kepala, kacamata yang beliau kenakan lensanya pe­cah di sisi kiri. Kemudian beliau ditarik jauh dari lokasi diskusi dan diancam akan ditangkap jika bicara.

Seberapun saya heran mem­baca dan mendengar cerita yang menimpa Aldo, bah­kan sempat berfikir “hari gini masih ada aja cara-cara yang demikian”, saya tetap harus realistis bahwa kejadian ini benar-benar terjadi, bukan andai-andai.
Jakarta hari ini memang mulai terasa agak kurang bersahabat, terutama bagi pihak-pihak yang berdiri tidak segaris dengan penguasa ibu kota tersebut. Dibalik ketegasan dan cerita anti korupsi yang di­gaung-gaungkan gubernurnya, good gover­nan­ce dan clean government yang be­liau kampanyekan, atau cerita pelayanan prima DKI Jakarta yang beliau idam-idamkan, disisi lain banyak tersimpan kontroversi dan negasi yang cukup mengherankan. Apa­lagi jika dikaitkan dengan cara-cara beliau menghadap beberapa organisasi ke­agama­an Islam.

Saya dan kawan-kawan lainya yang mengutuk banyak hal kontrobversial dari beliau berfikiran sama soal ini. Mungkin apa yang kami fikirkan tak jauh berbeda dengan yang dialami dan difi­kir­kan Prabowo menjelang Pilkada Jakarta 2012 lalu dan setelah Pilpres 2014 lalu, yakni sesosok yang dipuji lalu dinaikan, kemudian berubah haluan dengan alasan-alasan yang sengaja dibuat-buat.

Tentu tidak perlu me­ngum­bar begitu banyak teori kepemimpian untuk mengukurnya, karena itu hanya akan menyingkat waktu. Biar­kan perjalanan kekuasaan di ibu kota akan membuktikan bahwa semua citra yang di­bangun dengan uang puluhan miliar rupiah, hanya akan berputar-putar lalu berhenti di ruang publik, tidak akan pernah masuk ke hati rakyat, jika pada akhirnya kekuasaan itu digunakan untuk menelan hajat hidup rakyat banyak. Dan pada ujungnya, kekua­saan yang jumawa dan arogan akan tumbang ditelan waktu, dicibir oleh generasi selan­jutnya, dan diolok-olok oleh comedian di layar kaca.

Dan ketika saya begitu lancar bercerita tentang se­orang Aldo kepada kawan-kawan kantor saya, seorang kawan lain akhirnya meng­alihkan pertanyaan. Bapak telah menceritakan seba­nyak yang bapak bisa ten­tang ka­wan bapak, bung Aldo, lan­tas apa yang ba­pak ketahui ten­tang Ahok?” ucap­­nya bersemangat. Saya­pun reflek men­­jawab, saya tidak kenal Ahok, siapa itu Ahok?”, saya berbalik ber­tanya. Gu­bernur DKI Jakar­ta, ba­lasnya. Oh Gubernur, saya pikir tukang pukulnya tuan tanah, jawab saya reflek dan kami pun tertawa sedih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar