Rabu, 13 Januari 2016

Halal Food

Halal Food

Sarlito Wirawan Sarwono   ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
                                                  KORAN SINDO, 10 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Belum lama ini saya dan tim meneliti di Manila. Kami diberi fasilitas menginap di Wisma KBRI. Karena bukan di hotel, tentu saja tidak ada room service 24 jam. Nah, kebetulan salah satu anggota tim belum makan malam.

Saking semangatnya kerja dia ketinggalan makan malam. Ketika akan makan, makanan sudah ludes dari meja. Itu sudah pukul 10 malam. Jadi dia keluar, ke supermarket 24 jam, yang ada pas di depan Kompleks KBRI. Pulang dari supermarket, dia periksa kardus mi instan buatan lokal. Dia mencari label halal. Tentu saja tidak ketemu.

Dia jengkel, karena sudah lapar tetapi makanannya tidak dijamin halal. Hampir saja dia tidak makan malam itu. Maka saya suruh dia lihat ingredients yang tercetak di kotak mi itu, adakah yang menjurus ke makanan nonhalal? Setelah dia periksa, ternyata tidak ada. Tapi dia masih ragu, jangan-jangan cara memotong ayam atau menyembelih sapinya tidak halal? ”Walah, kalau begitu caranya, kamu harus nunggu sarapan nasi goreng dan roti dari Wisma.

Bisa sakit kamu,” kata saya. ”Sudah,” kata saya, ”kamu makan saja, kan tidak ada barang haramnya, saya yang tanggung dosanya.” Maka barulah dia santap dengan penuh nafsu. Tetapi soal halal food memang sering jadi masalah jika kita berada di luar negeri. Di Amerika, misalnya, banyak teman saya yang ragu masuk ke McD atau KFC, padahal di Indonesia sering sekali mereka keluar masuk restoran cepat saji seperti itu, walaupun siapa bilang di Indonesia kehalalannya bisa dijamin?

Beberapa teman punya kebiasaan bawa abon dan sambal goreng dan beras, lengkap dengan rice cooker -nya, sehingga makan bukan hanya halal tetapi ­nendang juga (tentu saja strategi ini hanya buat yang mau konferensi beberapa hari, bukan buat yang mau sekolah selama bertahun-tahun). Di sisi lain, saya pernah cukup lama jadi dosen tamu di universitas di Malaysia.

Di sana tidak ada makanan yang dicap atau ditempeli label halal seperti di Indonesia. Tetapi di setiap supermarket ada bagian-bagian khusus yang ditempeli tanda besar-besar: NONHALAL. Kami yang muslim dengan mudah menghindari masuk ke tempat yang isinya kalau bukan pork (olahan daging babi) ya alkohol (minuman keras).

Kalau ada wanita berjilbab, atau bapak-bapak bertampang Melayu (kebanyakan orang Indonesia yang nonmuslim), yang mungkin tidak melihat tanda nonhalal langsung disapa oleh penjaga toko bahwa tempat itu khusus untuk nonhalal. Saya sendiri pernah mengalaminya di Pulau Penang. Ketika menjelang sore dan belum makan siang kami sekeluarga mampir di sebuah restoran.

Kebetulan anak perempuan dan istri saya berjilbab, maka pelayan dengan sopan memberi tahu bahwa makanan di situ nonhalal. Astaghfirullah, ternyata benar, di menu juga tertulis makanan-makanan yang sedap tetapi nonhalal semua. Maka kami pun angkat pantat (karena sudah terlanjur duduk) dan angkat kaki dari restoran itu sembari mengucapkan terima kasih dan persis di sebelah restoran nonhalal itu ada restoran halal yang tidak pakai tanda apa-apa tetapi makanannya 100% memang halal semua.

Di Malaysia, penduduk nonmuslimnya 40%, di beberapa tempat malah 60%, tetapi mereka berpikir praktis. Semua nonmuslim (kebanyakan keturunan Cina dan India) makan makanan halal, sama dengan yang muslim. Jadi 100% penduduk Malaysia makan makanan halal. Sebaliknya, makanan nonhalal buat umat Islam hanya sedikit jenisnya.

Khususnya yang tidak kasatmata, misalnya makanan atau minuman dalam kaleng, botol atau kemasan lain. Nah, karena itu, yang perlu diberi label hanya yang nonhalal. Makanan tanpa label, atau dibeli di tempat nonkhusus di supermarket, silakan dikonsumsi sesukanya, karena pasti halal. Juga tidak perlu dipikirkan apakah proses memotongnya halal atau tidak, karena setiap pemotongan hewan sudah memiliki sertifikat dan setiap penjual (termasuk restoran dan supermarket) sudah besertifikat.

Jadi yang diberi label di hulunya (butcher dan shop keeper), bukan di hilirnya alias produk. Lain dengan di Indonesia. Di sini, yang dilabeli justru di hilirnya, di produknya. Dan pelabelan itu harus disahkan oleh lembaga agama tertentu. Wah, banyak betul yang harus diberi label. Jutaan produk makanan dan minuman kalengan, bungkusan, kardusan, pokoknya setiap kemasan.

Kalau setiap kemasan dihargai beberapa rupiah saja, berapa penghasilan lembaga agama itu? Sementara ibu-ibu di pasar tiba-tiba jadi kebingungan jika menemukan kemasan apa pun tanpa label ”halal”, sama seperti anggota tim saya tersebut di atas ketika di Manila. Masalahnya kita kan bukan di negara nonmuslim?

Persentase muslim di Malaysia lebih sedikit dari di Indonesia (di Indonesia katanya 90% muslim, apalagi di Indonesia bagian Barat, termasuk Jakarta), tetapi saya lebih aman dan nyaman menyantap makanan di Malaysia daripada di Indonesia, walaupun kemasannya tanpa label ”halal”. Kalau saya salah banyak yang mengingatkan, termasuk pelayan restoran yang nonmuslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar