GBHN untuk Kesejahteraan
Ravik Karsidi ; Guru Besar dan Rektor Universitas Sebelas
Maret (UNS)
|
KOMPAS,
21 Januari 2016
PDI Perjuangan melalui
Rapat Kerja Nasional 2016 kembali menyuarakan perlunya menghidupkan kembali
Garis-garis Besar Haluan Negara alias GBHN. Sikap PDI Perjuangan itu kemudian
memperoleh banyak dukungan, termasuk di antara kalangan ormas (NU dan
Muhammadiyah), serta hampir semua petinggi partai politik yang dewasa ini
memperoleh kursi di lembaga perwakilan.
Sejak pertengahan
2014, Forum Rektor Indonesia (FRI) telah mengusulkan dan menyosialisasikan
perlunya sistem perencanaan yang bersifat holistik dan jangka panjang. Ketika
itu, kami menegaskan bahwa demokrasi yang tumbuh subur di seantero daerah,
yang diawali dengan pemilihan presiden secara langsung, hanya melahirkan
pentas politik berbiaya tinggi, tetapi tidak semuanya memiliki dampak dalam
upaya mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat.
Evaluasi keadaan
demikian perlu disikapi dengan mengembalikan arah dan haluan pembangunan
nasional secara pasti berupa GBHN. Dalam perkembangan itu, FRI juga telah
menyusun dan memublikasikan naskah akademik: ”Mengembalikan Kedaulatan Rakyat
melalui Penetapan MPR untuk membentuk GBHN”.
Gagasan kebutuhan
haluan negara tersebut tentu tak serta-merta harus dimaknai menghidupkan
kembali sentralisasi kekuasaan Presiden sepanjang Orde Baru, lantas
menempatkan lagi MPR sebagai lembaga tertinggi, dan dorongan melahirkan
neo-otoritarianisme baru. Gaung yang digelorakan oleh PDI-P sebenarnya
endapan dari banyak keluhan, kritik, dan ujaran yang sudah sering disampaikan
oleh banyak pihak, minimal dalam perjalanan 13 tahun reformasi di negeri ini.
Arah pembangunan
nasional selama ini mengacu pada visi dan misi Presiden yang kemudian disusun
secara detail sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Namun,
perlu dipahami, visi dan misi Presiden tak bisa dijadikan pedoman pembangunan
seluruh bangsa karena nakhoda tetap butuh kebersamaan penghuni bahtera yang
sedang berlayar. Penyusunan RPJM dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) kurang mewakili kepentingan seluruh bangsa karena tidak disusun secara
transparan dan tidak melibatkan berbagai komponen bangsa.
Empat alasan
Kebutuhan haluan
negara, baik GBHN, perencanaan pembangunan semesta, dan sebagainya menjadi
penting karena alasan: (i) historis, (ii) hukum, (iii) politik, dan (iv)
sosioekonomis.
Pertama, alasan
historis. Upaya menyusun GBHN pada dasarnya telah dilakukan sejak awal
kemerdekaan sebagai bagian dari model perencanaan ekonomi yang diamanatkan
Pasal 33 UUD 1945. Namun, itu sengaja dihilangkan dalam masa reformasi karena
dianggap sebagai amanat pemilihan presiden secara langsung yang memiliki
kewenangan membentuk arah pembangunan sesuai visi dan misi kepemimpinannya sendiri.
Pada masa awal
pembentukan GBHN, Presiden Soekarno melahirkan adanya Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) yang berdasarkan Maklumat Nomor X tertanggal 16
Oktober 1945 diberikan tugas untuk membantu Presiden menyusun GBHN. Di dalam
keadaan tata negara darurat akibat revolusi, pelaksanaan GBHN tidak bisa
berjalan dengan baik karena penyusunan sekaligus realisasi rencana ekonomi
secara sistematik membutuhkan kerja sama semua elemen bangsa. Upaya
penyusunan kemudian dilanjutkan oleh Kabinet Natsir (September 1950-Maret
1951) dalam Rencana Urgensi Perekonomian atau Rencana Urgensi Industri
1951-1953 yang dirancang Soemitro Djojohadikusumo.
Seiring perjalanan
kekuasaan, GBHN kemudian mengalami penyusunan secara detail di era Orde Baru.
Selain melanjutkan era Orde Lama, GBHN merupakan perwujudan dari model
perencanaan ekonomi kerakyatan Pancasila sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 yang
tidak pernah berubah substansi pemaknaan. GBHN menjadi instrumen sentral
dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945.
Kedua, alasan hukum.
Sistem yang dibuat untuk menggantikan peran GBHN, yakni Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, seperti berjalan tidak efektif. Padahal, sistem yang
lahir dari UU No 25/2004 itu diamanatkan untuk dapat menghasilkan
rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan
tahunan yang dilaksanakan unsur penyelenggara negara dan masyarakat di
tingkat pusat dan daerah. Kehadiran UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang belum mampu mengakomodasi sebuah pedoman pembangunan dan
menyulitkan program pemerintah untuk berjalan secara berkelanjutan.
Arah pembangunan
nasional selama ini, seperti telah disinggung di atas, mengacu pada visi dan
misi Presiden yang kemudian disusun secara detail sebagai Rencana Pembangunan
Jangka Menengah. Namun, visi dan misi Presiden tersebut yang kemudian
diterjemahkan dalam RPJM dan RPJP yang dibuat pemerintah melalui DPR hanya
mewakili partai. Berlakunya UU No 6/2014 tentang Desa dan UU No 23/2014
tentang Pemerintahan Daerah menghendaki konsistensi perencanaan pembangunan
jangka panjang dari tingkat pusat hingga daerah.
Ketiga, alasan
politik. Solusi atas segala persoalan yang dialami Indonesia tidak bisa
dicari dari luar. Bangsa ini hanya bisa bergerak maju setelah bangsa ini
mampu mengenali dirinya sendiri. Dengan adanya GBHN, pengawasan jalannya
pembangunan juga semestinya lebih kuat. Pasalnya, seluruh bangsa tahu ke mana
seharusnya arah tujuan negara. Mungkin masih ada anggapan menghidupkan
kembali GBHN ialah kemunduran dalam bernegara dan berdemokrasi. Namun,
mengambil yang baik dari masa lalu, sejauh untuk kemajuan berbangsa,
bernegara, dan berdemokrasi sesungguhnya merupakan langkah ke depan yang jauh
lebih baik.
Keempat, alasan
sosioekonomi. Setiap pembangunan harus berkelanjutan terutama menyangkut
infrastruktur dalam skala nasional. Tidak gonta-ganti atau tidak searah
seperti yang dilakukan pada era reformasi ini. Belum tercapainya maksud
pembangunan ekonomi sebagaimana amanat konstitusi adalah terutama karena
penyimpangan kiblat pembangunan dari roh dan jiwa konstitusi. Penyimpangan
yang dilakukan berlangsung baik dalam bentuk liberalisasi undang-undang,
kebijakan fiskal, dan fungsi moneter yang terlepas dari amanat konstitusi.
Sejak reformasi telah
disahkan banyak undang-undang sektor perekonomian, yang setelah diuji materi
oleh Mahkamah Konstitusi, terbukti tidak konstitusional. Sebutlah seperti UU
Minyak dan Gas (Migas), UU Sumber Daya Air, UU Perkebunan, dan UU Penanaman
Modal. Kebijakan fiskal dalam bentuk APBN juga belum mencerminkan spirit
memajukan kesejahteraan umum. Postur APBN terlalu bias kota, yang memelihara
terjadi ketimpangan terus berlangsung antargenerasi. Untuk mencapai sasaran
jangka panjang suatu negara, urutan kepentingan harus diprioritaskan. Sebuah
haluan negara diharapkan menjadi kiblat pembangunan yang memanfaatkan modal
sosial berdasarkan pengalaman Indonesia sebagai negara demokrasi dan
menerapkan spirit Asia dalam pembangunan nasional.
Tiga skenario
Menurut penulis, ada
tiga skenario untuk mewujudkan kembali GBHN. Skenario pertama adalah
menginisiasi amandemen UUD 1945 secara terbatas. Tujuannya untuk meninjau
ulang keberadaan MPR, sekaligus memberinya wewenang untuk menyusun dan
menetapkan GBHN. Namun, jika agenda itu yang dipilih, diperlukan prasyarat
politik berupa konsensus nasional melalui fraksi-fraksi dan perwakilan DPD di
MPR. Dengan demikian, konsensus itu mencerminkan kesepakatan semua elemen
bangsa.
Skenario kedua,
merevisi UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No
17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, UU No 17/2014
tentang MPR, DPD, DPR, dan DPRD (MD3), serta UU No 12/2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Ketentuan UU No
25/2004 dan UU No 17/2007 harus diubah agar penyusunan rencana pembangunan
tidak terpusat di pemerintah. Tujuannya agar lembaga-lembaga negara lainnya
bersama-sama untuk bersinergi dan berkesinambungan mencapai tujuan bernegara.
Sementara UU MD3 diubah sehingga MPR, DPR, dan DPD masing-masing memiliki undang-undang
sendiri.
Selanjutnya, dalam UU
tentang MPR dimasukkan kewenangan untuk menyusun dan menetapkan GBHN.
Sementara UU 12/2011 diubah dengan menetapkan kembali status hukum Ketetapan
MPR sebagai hierarki norma hukum yang mengikat ke luar secara hukum.
Skenario ketiga adalah
menciptakan konvensi ketatanegaraan. Lembaga-lembaga negara DPR, DPD, dan MPR
mengadakan sidang bersama untuk menyusun haluan strategis pemerintah dalam
jangka panjang dan memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan fokus
dan skala prioritas kerja yang disesuaikan dengan visi dan misi saat
kampanye. Fokus dan skala prioritas itu harus mengacu pada haluan yang
ditetapkan hasil sidang bersama MPR, DPR, dan DPD. Menjelang enam bulan usai
mandat kepresidenan, MPR, DPR, dan DPD harus melakukan evaluasi dan
memberikan catatan-catatan kemajuan yang dicapai dari pelaksanaan haluan
negara. Skenario ini membutuhkan perubahan UU MD3 dan Peraturan Tata Tertib
masing-masing negara.
Sebuah haluan negara,
sebut saja bernama GBHN, yang berhasil diwujudkan, diharapkan menjadi
instrumen untuk memimpin semua penyelenggara negara untuk patuh, loyal, dan
setia terhadap jiwa dan ruh konstitusi dalam menyelenggarakan pembangunan
bangsa.
Kesetiaan terhadap
konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945, harus tecermin dalam legislasi,
politik, anggaran, dan kebijakan moneter. Dengan demikian, haluan negara itu
akan menjadi kiblat baru kesejahteraan Indonesia untuk melunasi janji-janji
proklamasi yang diucapkan lebih dari 70 tahun lampau. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar