Melawan Teror
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
21 Januari 2016
Lord Mountbatten,
veteran legendaris Perang Dunia II, bersama cucu kembarnya dan seorang tukang
perahu tewas dibom saat mereka berlibur di Mullaghmore, Sligo, Irlandia, 27
Agustus 1979. Satu jam kemudian, ledakan bom menewaskan 18 tentara Inggris di
Warren Point, dekat perbatasan Irlandia. Dua ledakan bom itu dilakukan Irish
Republican Army (IRA), kelompok perlawanan rakyat Irlandia Utara terhadap
Inggris. Sejak era 1970-an, IRA mengubah bentuk serangan, yaitu aksi-aksi
teror, meninggalkan taktik perang kota (urban
warfare).
Serangan teror yang
keji bertentangan dengan agama, walaupun ia sering berangkat dari keyakinan
agama dan kerap berkelindan dengan motif etnik dan ideologi politik. Konflik
Irlandia Utara, misalnya, adalah konflik kelompok unionis pro Inggris yang
umumnya penganut Protestan dan kelompok nasionalis-republikan yang mayoritas
Katolik. Orang Irlandia Utara mengalami diskriminasi dan penindasan oleh
Inggris. Dan, IRA jadi bentuk perlawanan rakyat Irlandia Utara.
Runyamnya teror
identik dengan agama. Teror bermotif agama (religious terrorism) terlihat lebih masif, mengglobal, dan
menghantui dibanding teror state terrorism (teror sistematis oleh pemerintah
terhadap warganya), ideological
terrorism (motif mengubah struktur politik dan sosial), separatist terrorism atau ethno-political terrorism
(separatisme, bisa berbasis etnik), left
wing terrorism (penggulingan demokrasi-kapitalis, membangun pemerintahan
sosialis-komunis), right wing terrorism
(memerangi pemerintah liberal, melanggengkan sistem tradisional), narco-terrorism (teror bandar obat), pathological terrorism (teror oleh
individu, tak ada motif politik).
Celakanya lagi,
labeling teror sekarang ini mengarah kelompok Muslim radikal, terlebih sejak
serangan 11 September 2001 yang merontokkan simbol-simbol Amerika Serikat
(AS). Orang Islam, baik nama, atribut, maupun pakaian dicurigai. Namun,
"perang melawan teror" yang dilancarkan Presiden AS George W Bush
gagal menumpas terorisme, walaupun sudah begitu banyak negara diacak-acak dan
banyak rezim otoriter digulingkan. Sebaliknya, AS meninggalkan puing-puing
kehancuran dan kekerasan baru dan menyemai bibit-bibit teroris, termasuk
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Barangkali karena
perang melawan teror tidak terlalu genuine,
ada motif laten. Pakar keamanan global Michael Klare (Blood and Oil, 2004) melihat konflik pasca Perang Dingin bermotif
rebutan sumber daya alam, khususnya minyak. Sumur-sumur minyak AS mengering.
Maka, AS fokus ke negara-negara produsen minyak di Teluk Persia, Laut Kaspia,
Amerika Latin, Afrika. Menurut Bernd Hamm, profesor sosiologi Universitas
Tier Jerman, "Geng Bush" bergerak mencari imbalan dari perang dan
melanggar hukum jika tak ada benefit (The
Bush Gang, 2006). Klare pun sudah mengingatkan, agar kebijakan energi itu
diubah jika tak ingin dekade berikutnya diwarnai pertumpahan darah demi
minyak.
Kita pun menyaksikan
pertumpahan darah itu. Dan, teroris tampaknya terus beregenerasi. NIIS
dinilai pelaku teror bom di Paris, pada 13 November 2015; dan Jakarta, pada
14 Januari 2016. Namun, di Jakarta tak ada kegentaran. Warga justru
meneriakkan "kami tidak takut". "Negara, bangsa, dan rakyat
tidak boleh takut, tidak boleh kalah oleh aksi teror," tegas Presiden
Joko Widodo.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar