BUMN dan PDI Perjuangan
Ashadi Siregar ; Pengamat Media dan Pengajar Jurnalism; Bermukim di
Sleman
|
KOMPAS,
18 Januari 2016
”BUMN memiliki fungsi dan alat untuk meningkatkan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tapi, berbeda dari yang terjadi saat ini,
BUMN hanya diperlakukan seperti korporasi swasta yang mengedepankan bisnis
semata,” katanya
dalam pidato pembukaan Rapat Kerja Nasional I PDI Perjuangan Tahun 2016 di
Jakarta, Minggu (10/1).
Ini pernyataan ketua
umum suatu partai, tetapi oleh media difokuskan seperti dalam teras
beritanya: Di tengah mencuatnya isu perombakan Kabinet Kerja belakangan ini,
Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengungkit perlunya badan usaha milik
negara dikembalikan ke peran pentingnya sesuai konstitusi (Kompas, 11/1/2016, hal 2).
Boleh jadi memang
sedang berkembang isu di kalangan publik, atau malah media ini punya agenda
set dalam hal perombakan kabinet. Kiranya isu publik atau isu media ini
tentumembuat ketar-ketir menteri yang tidak punya tulang-punggung kuat dari
partai pendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Tetapi, apa betul
pergantian menteri sampai perlu membawa-bawa konstitusi, atau lebih jauh
memang menjadi perhatian publik?
Bagi publik, yang
penting adalah pemerintahan yang berperhatian pada kepentingan publik (public interest). Media yang diberi
napas hidup oleh publiknya tentulah juga akan berorientasi yang sama. Karena
itu, yang perlu mendapat perhatian sebenarnya bukan tentang Kementerian BUMN,
melainkan berkaitan dengan posisi badan usaha milik negara (BUMN) dalam
konteks konstitusi, yaitu Pasal 33 yang berkaitan dengan kemakmuran rakyat,
sebagaimana terkandung dalam pidato Ketua Umum PDI-P itu. Urusan kementerian
biar hak prerogatif presiden, sebagaimana biasa dapat disitir dari pernyataan
sejumlah elite politik yang kepingin menjadi menteri.
Perspektif ideologis
dari suatu pidato politik yang disampaikan dalam forum besar PDI-P tentu tak
sampai mengurusi aspek teknikalitas dalam penggantian pembantu presiden.
Biarlah kader dan anggota partainya, khususnya, dan publik, umumnya,
menjadikan wacana dari pernyataan ketua partai itu sebagai bagian diskusi
publik. Media pada dasarnya perpanjangan dari wacana yang berkembang di ruang
publik. Artinya, bagaimana kemakmuran rakyat yang bertolak dari kepentingan
publik dapat menjadi fokus sebagai isu publik bagi media pers.
Pemberitaan BUMN
Bagaimana media
memberitakan BUMN selama ini? Setiap fakta, termasuk yang menyangkut BUMN,
akan berhadapan dengan birokrasi dalam kerja keredaksian media pers dengan
pola kompartemental. Ini sesuai dengan sifat fakta yang diurusnya, dapat
dirangkum sebagai fakta politik, ekonomi, dan sosial. Fakta politik melalui
interaksi dalam lingkup negara (state)
melalui aktor negara ataupun kuasi negara; fakta ekonomi melalui korporasi
dan aktor kapitalisme pasar (market
capitalism); serta fakta sosial dari kehidupan kewargaan (masyarakat
sipil).
Setiap media
menetapkan standar kelayakan untuk setiap fakta yang dapat diberitakan. Maka,
berita tentang BUMN yang berasal dari entitas politik ditempatkan dalam
kerangka politik pula. Memang betul, Menteri BUMN adalah jabatan politik.
Tetapi, BUMN adalah entitas yang mencakup ranah pertanian, pertambangan,
manufaktur, sampai keuangan. Karena itu, membicarakannya dalam konteks
konstitusi, bukan sebatas nasibnya si menteri, melainkan seluruh ranah yang
diurus ratusan perusahaan milik negara itu.
Apalagi, jika dipahami
bahwa perusahaan BUMN memiliki varian karakteristik yang berbeda berdasarkan
kapitalisasinya, mulai dari yang sudah listing sebagai perusahaan terbuka (go public), atau sepenuhnya milik
negara, atau pemilikan minoritas negara. Dengan karakteristik semacam ini,
pernahkah BUMN dilihat dalam kerangka konstitusi termasuk pada era
pemerintahan Megawati? Keberadaan BUMN tidak sederhana untuk mengaitkan
dengan perspektif ideologi kemakmuran rakyat mengingat sudah mengguritanya
BUMN sebagai perusahaan dengan kewajiban profitabilitasnya.
Dalam kaitan dengan
media pers, dinamika BUMN biasa ditemukan dalam rubrik ekonomi. Namun, jika
dicermati rubrik ekonomi di berbagai media pers, fakta ekonomi yang
diberitakan pada dasarnya menurut standar kelayakan atas signifikansi ranah
ini bertolak dari sisi dinamika kapitalisasi. Dengan kata lain, kendati media
biasa menabalkan diri sebagai institusi yang berorientasi kepada publik,
sudut pandangnya biasa menuruti pendefinisian dunia korporasi.
Bukan salah pers jika
pemberitaan tentang BUMN ditempatkan dalam kerangka korporasi yang
berorientasi profit. Jabatan chief
executive officer (CEO) dari ratusan BUMN yang bergengsi biasanya harus
diduduki oleh profesional yang dipandang sukses menjalankan korporasi swasta.
Sukses dalam dunia korporasi swasta adalah melalui indikator kapitalisasi dan
profitabilitas.
Sejak era Orde Baru
sampai sekarang, parameter keberadaan BUMN tidak dalam kerangka UUD,
melainkan dalam bahasa ekonomi kapitalisme. Sementara semangat sosialisme
pendiri republik Bung Hatta yang diimplementasikan dalam Pasal 33 Konstitusi
hanya sayup terdengar. Bahwa ternyata semangat Bung Hatta ini sejalan dengan
Marhaenisme yang ingin dihidupkan oleh PDI-P melalui rakernas I PDI-P Tahun
2016, patut disyukuri. Tetapi, ini menjadi persoalan sebab parpol yang
menyebut dirinya berorientasi pada wong cilik ini seperti baru tersentak bangun
dan kemudian tergeragap melihat kenyataan dunia BUMN, lalu mengigau tentang
konstitusi.
Ekonomi konstitusi dan ”public utility”
Sekarang marilah lihat
dari sudut pandang publik. Aksi korporasi betapapun besar investasi dan
dinamika profitabilitasnya, tidak ada signifikansinya. Dari sisi kepentingan
publik, signifikansi suatu fakta ekonomi bertolak dalam kerangka paham
utilitarian adalah apa yang bernilai guna baginya, dalam hal ini menyentuh
kesejahteraan hidupnya. Untuk itu, ekonomi yang relevan dapat difokuskan pada
public utility, sejauh mana negara
menaruh peduli urusan ini.
Secara populer, public utility diartikan sebagai penyelenggaraan
pelayanan publik (public service)
oleh perusahaan atau organisasi bisnis yang beroperasi berdasarkan aturan
negara. Jadi, fungsinya di negara kapitalis sekalipun, ada aturan negara yang
menjadikan perusahaan tidak berdasarkan dinamika kapitalisasi, tetapi demi
kepentingan publik. Pasal 33 UUD pada dasarnya mengatur agar seluruh kekayaan
negara digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Sebagai negara kesejahteraan (welfare state), prioritas ekonomi
adalah untuk publik. Jika konstitusi menyebut kekayaan negara, dalam praksis
ekonomi menuntut adanya usaha yang dijalankan public utility. Sayangnya,
definisi kategoris public utility di
negeri ini tidak jelas sehingga produk (dan jasa) yang didefinisikan sebagai
keluaran usaha ini kabur juga.
Adanya istilah subsidi
untuk produk listrik, misalnya, menyebabkan PLN bukan sebagai public utility. Begitu juga penyediaan
air bersih diserahkan pada korporasi swasta. Atau gas tidak dialirkan,
melainkan dikemas dalam tabung sehingga menjadi komoditas yang dijual secara
umum dengan prinsip profitabel, dan secara khusus untuk gas tabung melon yang
disubsidi. Pembedaan tajam antara produk/jasa sebagai komoditas korporasi
komersial dengan keluaran public utilitiy tidak pernah berkembang sebagai
diskusi dalam kehidupan publik sebab media pers tidak menaruh perhatian soal
ini.
Dari sini bolehlah
PDI-P mulai menggulirkan reformasi pelayanan publik agar dapat diperjuangkan
keluaran public utility melalui BUMN. Tentunya dengan memilah mana yang
keluarannya yang secara kategoris sebagai public utility, mana yang memang
sebagai komoditas yang terikat dengan parameter profitabilitas. Dengan
demikian, media pers dapat memberitakan dunia BUMN dengan memberikan
prioritas pada fakta ekonomi dalam perspektif kepentingan publiknya, bukan
berdasarkan kriteria dunia korporasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar