Amnesti Dini Din Minimi
Hamid Awaludin ; Dosen Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin
|
KOMPAS,
19 Januari 2016
Kelompok bersenjata yang dua tahun terakhir
ini mengelana dan amat mengganggu di hutan belantara Aceh akhirnya turun
gunung dengan damai. Kelompok beranggotakan puluhan orang yang dipimpin
Nurdin Ismail—populer disebut Din Minimi—ini keluar dari hutan dengan
sambutan istimewa: dijemput Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso. Din
Minimi keluar dari persembunyian, Selasa, 29 Desember 2015, bersama
anggota-anggotanya sembari menyerahkan 15 pucuk senjata laras panjang kepada
aparat keamanan.
Tentu saja, turun gunungnya kelompok Din
Minimi ini tidak sederhana dan tak begitu saja. Di baliknya ada
pertemuan-pertemuan untuk menjalin rasa saling percaya antara Din Minimi dan
Sutiyoso yang mewakili negara, lalu tuntutan-tuntutan darinya, janji-janji
dari Kepala BIN, jaminan-jaminan dari perantara, dan tentu saja
konsesi-konsesi di kemudian hari.
Dari penjelasan Sutiyoso, kita tahu, Din
Minimi menyampaikan sejumlah tuntutan, di antaranya berupa pemberian amnesti
kepada anggotanya, dan perhatian kepada kesejahteraan yatim piatu dan janda
korban konflik. Din Minimi juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi
menyelidiki penggunaan APBD Provinsi Aceh, dan pengerahan tim pengawas
independen dalam pemilihan kepala daerah.
Dari tuntutan itu kita dapat membaca adanya
garis tegas yang membedakan gerakan Din Minimi ini dengan perjuangan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) di masa silam. Tuntutan Din Minimi lebih cenderung kepada
ekspresi kekecewaan kepada sikap dan kinerja pemerintahan di Provinsi Aceh,
terutama kekecewaan kepada pemerintahan Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil
Gubernur Muzakir Manaf. Sebuah tuntutan baru dan kekecewaan yang lahir pasca
Perjanjian Helsinki.
Selain itu, riwayat pelarian Din Minimi juga
sama sekali berbeda dengan gerilya para kombatan GAM di masa lalu.
Din Minimi menghilang setelah serangkaian
kekerasan dan tindak kejahatan yang diduga dilakukan oleh kelompoknya sejak
awal 2014. Salah satu yang menimbulkan kegaduhan besar adalah ketika kelompok
bersenjata yang diduga kelompok Din Minimi menembak mati dua intel TNI pada
23 Maret 2015. Pasca kejadian itu, Din Minimi praktis melarikan diri dengan
kelompoknya ke hutan-hutan di Aceh Timur, sampai kemudian pejabat tinggi
negara dari Jakarta datang menjemputnya.
Persoalan muncul ketika tuntutan pemberian
amnesti yang diajukan Din Minimi untuk dirinya dan segenap anggotanya menjadi
syarat yang diaminkan pemerintah. Kepala BIN Sutiyoso mengatakan bahwa
kelompok Din Minimi akan diberi amnesti dan bebas setelah diproses secara
hukum. Sutiyoso sendiri akan mengajukan surat ke Presiden Joko Widodo terkait
amnesti untuk mereka.
Sejatinya, sebelum Din Minimi menyerahkan diri
bersama kelompoknya melalui mekanisme BIN, ia telah mengirim utusan ke
Kepolisian Negara RI. Ia hanya minta perlindungan agar dirinya dan anggota
kelompoknya tidak dibunuh. Ia bersedia turun gunung dan menyerahkan diri.
Saat itu, tidak ada permintaan amnesti. Bahwa sekarang ada wacana amnesti
kepada Din Minimi bersama kelompoknya, saya hanya bisa menjawab: wallahu
alam bissawab.
Layakkah diberi
amnesti?
Dari perspektif hukum, Presiden memiliki
kewenangan untuk memberikan amnesti setelah memperhatikan pertimbangan DPR.
Ini secara eksplisit ditegaskan dalam UUD 1945, Pasal 14 Ayat (2). Amnesti
adalah sebuah mekanisme atau politik hukum yang dimiliki oleh Presiden guna
memberikan pengampunan kepada sekelompok orang yang terlibat dengan tindak
pidana politik.
Din Minimi jelas tidak masuk kategori ini
sebab segala tindakannya bersama kelompoknya murni tindakan kriminal, yang
tidak ada kaitannya dengan tindakan pidana politik. Bahwa ia berikhtiar
mengaitkan dirinya dengan GAM di masa lalu, itu hanya sebuah klaim sepihak
belaka.
Bila toh Din Minimi memiliki kaitan dengan
GAM, ini juga jelas tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk memberikan
amnesti. Masalahnya, pemberian amnesti kepada semua pemimpin dan aktivis GAM,
sebagaimana yang disepakati dalam Perjanjian Helsinki, atau nota kesepahaman
antara Pemerintah Indonesia dan GAM, sudah selesai 10 tahun lalu.
Malah, dalam naskah Perjanjian Helsinki
tentang Amnesti dan Reintegrasi tersebut, jelas dikatakan bahwa penggunaan
senjata oleh personel GAM setelah penandatanganan nota kesepahaman antara
Pemerintah Indonesia dan GAM, akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap nota
kesepahaman dan hal itu akan membatalkan yang bersangkutan memperoleh
amnesti. Nota kesepahaman ini ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Kegiatan
Din Minimi terjadi jauh setelah penandatanganan nota kesepahaman itu.
Hal lain yang perlu jadi pertimbangan untuk
tidak terburu-buru mengambil keputusan memberikan amnesti kepada Din Minimi
bersama kelompoknya, adalah, para pemimpin resmi GAM yang ada dalam struktur
organisasi, tidak pernah mengakui Din Minimi sebagai salah satu unsurdalam
organisasi GAM. Bahkan sejumlah mantan pemimpin GAM mengidentifikasi Din
Minimi sebagai orang atau tamu yang datang setelah pesta bubar.
Contoh mengemuka yang patut dipelajari adalah,
salah seorang aktivis GAM, Ismuhadi,yang menjalani pidana penjara sebelum
perundingan dan penandatanganan damai berlangsung, karena ia terlibat
peledakan gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ). Dalam pemberian amnesti, dia tidak
masuk orang yang diberi amnesti karena dinilai bahwa tindakannya yang
meledakkan gedung BEJ sama sekali tidak ada kaitannya dengan perjuangan
politik GAM. Para pemimpin GAM saat itu mengakui dan mengklaim bahwa yang
bersangkutan adalah aktivis GAM.
Pupuk subur
Terlepas dari alur pikir di atas, memberikan
amnesti kepada Din Minimi beserta kelompoknya adalah sama dengan memberi
pupuk subur kepada orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu di kemudian
hari, yang melakukan tindak pidana lalu membungkus diri dengan kegiatan
politik, dan yakin bahwa mereka tidak berurusan dengan hukum karena toh
pemerintah akan memberikan amnesti.
Kita lihat kondisi riil kehidupan sekarang di
Tanah Air kita. Salah satu ancaman besar kita ialah gerakan fundamentalis
dengan formasi terorisme serta narkoba yang kelimpahan sumber daya dana.
Mereka bisa menjalankan misi mereka lalu menyaru seolah sebagai sebuah
kegiatan politik.
Dalam menjalankan misi mereka itu, tentu saja
mereka tak segan berhadapan dengan negara sebab toh klaim mereka adalah
perlawanan politik kepada negara atau pemerintah. Untuk menghindari hukuman,
mereka melakukan negosiasi dengan negara agar diberi amnesti.
Dalam kasus Din Minimi ini, pemberian amnesti
kepadanya bersama kelompoknya akan menimbulkan kegaduhan politik baru antara
Presiden dan DPR sebab mekanisme amnesti itu harus melalui pertimbangan DPR.
Debat politik yang tak berkesudahan dan akan menyita waktu dan energi
Presiden bakal tak bisa dihindari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar