Kontra Propaganda Radikalisme di Media Sosial
Arindra Khrisna ; Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
20 Januari 2016
Terorisme berhubungan
erat dengan media. Pelaku teror membutuhkan media untuk menyampaikan
ancamannya ke publik. Media butuh berita ”besar” untuk menaikkan oplah,
rating, atau clickrate.
Dalam era teknologi
informasi seperti sekarang, media dengan jangkauan yang luas sebenarnya
bersaing dengan internet. Aplikasi jejaring sosial yang begitu beragam dapat
menyampaikan pesan berupa konten tulisan, suara, gambar, ataupun video.
Inilah yang dimanfaatkan secara luas oleh kelompok radikal.
Hans Spier mengatakan
bahwa propaganda adalah aktivitas komunikasi dari pemerintah kepada warga
negaranya, warga negara lain di negara itu dan juga negara asing secara umum.
Propaganda diinisiasi pemerintah.
Para ahli pun setuju
bahwa propaganda memiliki tiga obyektif: memobilisasi khalayak sasaran ke
tujuan yang diinginkan, mencapai kondisi pendadakan, atau melindungi
legitimasi. Lazimnya propaganda dilakukan oleh negara, tetapi tidak menutup
kemungkinan propaganda dilakukan aktor non-negara.
Terdapat tiga jenis
propaganda; propaganda putih, abu-abu, dan hitam. Propaganda putih dilakukan
media yang berpihak pada kepentingan politik atau kebijakan tertentu.
Kegiatannya terbuka meski sponsor kegiatan propaganda itu sering tidak
diketahui.
Propaganda abu-abu
adalah kegiatan yang dilakukan tertutup. Contohnya dengan memanfaatkan
wartawan untuk menulis pesan tertentu yang ditujukan ke publik agar mereka
tergerak dan memercayai dan bergerak melakukan apa yang diinginkan.
Yang terakhir adalah
propaganda hitam, yaitu kegiatan penyebaran informasi tertutup yang
menyesatkan. Tujuannya untuk memberikan informasi yang meruntuhkan
kredibilitas lawan. Misalnya yang dilakukan Soviet pada tahun 80-an. Mereka
menyebarkan isu bahwa Amerika Serikat adalah penyebar AIDS ke seluruh dunia dari
proses rekayasa genetika di Maryland.
Propaganda dan media
Cara-cara propaganda
seperti ini berkaitan erat dengan penggunaan media. Sebab, media merupakan
sarana paling efektif untuk menyampaikan pesan ke khalayak sasaran. Lewat
media pula pesan dapat dikemas sedemikian rupa sehingga menyentuh emosi dari
khalayak.
Tidak hanya negara
atau pemerintah yang dapat berpropaganda. Aktor non-negara pun dapat
melakukan termasuk kelompok radikal dan teroris. Tidak semua kelompok radikal
memiliki media arus utama sehingga mereka menggunakan internet dan media
sosial yang dapat digunakan siapa pun, di mana pun, tanpa takut kena sensor.
Ada tujuh fungsi situs
radikal yang digunakan kelompok teror dan simpatisannya di Indonesia (Sumbung
2015): propaganda, doktrinasi dan radikalisasi, pelatihan cyber paramiliter,
perekrutan, komunikasi, publisitas, dan pendanaan.
Propaganda putih
sering dilakukan kelompok radikal agama. Biasanya mereka membuat situs di
internet dengan berkedok sebagai situs berita atau portal tentang agama.
Tulisan-tulisan di situs tersebut berisi substansi yang cenderung menjurus
pada narasi atau pesan tertentu. Pesan atau narasinya dapat berupa ajakan
membenci agama atau kelompok lain dan juga mendirikan negara berdasarkan
agama.
Dari situs, tulisan
perlahan akan disebarkan melalui jejaring sosial lainnya via simpatisan atau
sering juga disebut KOL (key opinion
leaders) sehingga menyebar ke khalayak umum. Tulisan di situs biasanya
akan diolah lagi sesuai gaya bahasa si KOL. Aktivitas masuk ke dalam
propaganda abu-abu karena sudah menggunakan pihak ketiga untuk berkampanye.
Khalayak sasaran tidak akan tahu dari mana info atau tulisan yang diolah KOL
ini atau siapa sponsornya di balik layar. Propaganda seperti ini banyak
dilakukan kelompok-kelompok radikal agama.
Sementara propaganda
hitam banyak terlihat di dunia maya melalui tulisan-tulisan menyesatkan yang
memelintir ayat-ayat suci. Mereka hanya mengambil secuil ayat dan kemudian
menjadikannya pembenaran dalam pesan-pesan dan aktivitasnya.
Reach atau jangkauan
jejaring sosial tidak kalah dengan media tradisional. Jejaring sosial,
seperti blog, Twitter, dan Facebook, bahkan bisa diatur siapa saja yang dapat
melihat konten. Dengan kelebihan jejaring sosial, siapa pun penggunanya
memiliki keuntungan dibandingkan jika menggunakan media tradisional. Membuat
ancaman radikalisasi di dunia maya menjadi lebih berbahaya dalam menghasut
melalui propaganda.
Mengatasi propaganda
Lalu bagaimana
menghadapi propaganda radikalisasi di dunia maya? Seperti contoh di atas,
kelompok teror pun sudah paham cara-cara propaganda, baik terbuka maupun
tertutup. Yang paling sering dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menutup
situs atau memblokir akses ke jejaring sosial.
Usulan cara lain
adalah dengan melakukan kontra propaganda di media sosial. Kontra propaganda
juga berfungsi membalikkan pesan yang disampaikan oleh propaganda radikal.
Kontra propaganda ini perlu dipikirkan secara matang. Perlu dilakukan
perencanaan strategi propaganda yang efektif dan tepat sasaran.
Dengan menentukan
siapa sasarannya, saluran propaganda media sosial apa saja yang dipakai,
bagaimana bunyi pesan, hingga kapan pesan itu harus ditayangkan adalah bagian
dari perencanaan tersebut. Kontra propaganda harus dilakukan secara
berkelanjutan. Sebab, proses komunikasi yang efektif tidak bisa dicapai dalam
waktu sekejap.
Pemblokiran akses
situs dan jejaring sosial para kaum radikal dan teror memang perlu untuk
terus dilakukan, tetapi perlu ada kampanye yang bersifat penggalangan dan
kontra propaganda terutama di jejaring media sosial. Karena di situlah
sesungguhnya pertarungan atau qital (perang) yang bertujuan untuk merebut
khalayak dan diseminasi narasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar