Teror Bom dan Ketahanan Pasar Keuangan
Junanto Herdiawan ; Deputi Direktur Departemen Komunikasi Bank
Indonesia
|
KOMPAS,
19 Januari 2016
Serangan teroris di
mana pun selalu bertujuan untuk menebar ketakutan dan ketidakpastian. Dalam
setiap terjadinya teror, kepanikan muncul, yang berdampak bukan hanya pada
kehidupan masyarakat, tetapi juga pada pasar keuangan serta perekonomian
secara keseluruhan.
Pasar keuangan tak
menyukai ketidakpastian. Setiap ketidakpastian meningkat akibat teror, umumnya
pasar bereaksi negatif.Oleh sebab itu, serangan teror kini bukan hanya
ditujukan untuk menyerang sasaran militer atau obyek strategis, tetapi
diarahkan pada tempat bisnis atau aktivitas ekonomi, agar dampaknya dapat
langsung terasa pada perekonomian.
Serangan teroris 9/11
pada 2001 di Amerika Serikat menjadi satu contoh betapa teror dapat merugikan
perekonomian. Menurut Dana Moneter Internasional dalam makalah yang ditulis
Barry Johnston dan Oana Nedelescu pada 2005, dengan judul ”The Impact of
Terrorism on Financial Markets” atau ”Dampak Terorisme pada Pasar Keuangan”,
bahwa serangan teroris selalu membawa dua jenis dampak biaya, yaitu langsung
dan tidak langsung.
Dampak langsung
berasal dari kerugian fisik, infrastruktur, biaya penanganan korban, penanggulangan
serangan, serta asuransi. Kerugian tak langsung bisa lebih besar lagi, dan
baru dapat terlihat dalam jangka menengah, karena terkait dengan kepercayaan
konsumen dan investor.
Kerugian langsung
akibat serangan 9/11, menurut makalah IMF itu, mencapai 27 miliar dollar AS.
Namun, kerugian tak langsung, dikutip dari New York Times, mencapai 3 triliun
dollar AS, mencakup seluruh biaya ekonomi, kerugian investasi, peningkatan
sistem pengamanan, hingga biaya perang Irak. Kerugian dan kepanikan pasar keuangan
akibat serangan 9/11 harus diakui telah memberi pelajaran besar pada pasar
keuangan global.
Seiring dengan
berjalannya waktu, pasar keuangan terbukti telah belajar dan menunjukkan
ketahanan atau resiliensi yang semakin baik. Dari rangkaian serangan teror
yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, seperti bom Bali 2002, bom Madrid
2004, bom London 2005, bom Mumbai 2008, bom Paris 2015, hingga bom Thamrin
2016 di Jakarta, umumnya pasar keuangan, termasuk pasar keuangan di
Indonesia, bereaksi negatif sesaat, namun segera bangkit kembali dalam waktu
singkat.
Pentingnya menjaga fundamental perekonomian
Serangan teroris bisa
saja menjadi faktor yang diperhitungkan oleh para investor dan pelaku
ekonomi, tetapi pada ujungnya pelaku ekonomi tetap lebih berpegang pada
fundamental perekonomian suatu negara.
Di sini kita melihat
betapa pentingnya menjaga fundamental perekonomian dalam upaya menjaga
optimisme pelaku pasar. Respons yang cepat dari otoritas juga sangat
diperlukan. Saat bom Thamrin (14/1) lalu, kita telah membuktikan bahwa aksi
cepat dari pihak TNI dan kepolisian dalam menangani teror mampu meredam
kepanikan berlanjut. Selain itu, pemerintah juga secara sigap menunjukkan
respons positif dengan berbagai langkahnya menangani para korban.
Di bidang stabilitas
sistem pembayaran dan keuangan, untuk mencegah terjadinya kepanikan di
masyarakat, selang beberapa jam setelah aksi teror, Bank Indonesia (BI)
langsung mengeluarkan pernyataan resmi bahwa seluruh infrastruktur sistem
pembayaran nasional bekerja penuh dan operasional. Masyarakat yang ingin
bertransaksi di perbankan, mengirim dana, transfer, baik melalui sistem
kliring atau real time gross settlement dijamin keberlangsungannya oleh BI.
Pasar keuangan di
Indonesia kini juga terlihat semakin logis dan dewasa dalam menyikapi
terjadinya teror. Satu hari setelah terjadi bom Thamrin, Indeks Harga Saham
Gabungan Bursa Efek Indonesia ditutup menguat, justru di tengah terjadinya
koreksi mayoritas bursa saham di Asia. Indeks Jumat (15/1) naik 10 poin atau
sekitar 0,24 persen ke level 4.523,98. Nilai tukar rupiah bergerak stabil di
level Rp 13.909 per dollar AS, sehari setelah teror bom.
Stabilnya pasar
keuangan didominasi keyakinan pasar atas fundamental ekonomi Indonesia. Pada
Rapat Dewan Gubernur pada Januari 2016 (14/1), BI juga menurunkan suku bunga
acuan BI 25 basis poin ke 7,25 persen. Penurunan suku bunga dilakukan karena
bank sentral melihat berbagai indikator ekonomi Indonesia mulai membaik.
Setidaknya ada lima
faktor fundamental yang mendukung optimisme ekonomi Indonesia ke depan.
Pertama, ketidakpastian di pasar keuangan global sudah mereda karena The Fed
(Bank Sentral AS) sudah mengumumkan kenaikan suku bunga, termasuk rencana
kenaikan ke depannya. Kedua, di sisi domestik kita melihat kinerja neraca
pembayaran Indonesia triwulan IV-2015 diperkirakan membaik, terutama didukung
surplus transaksi modal dan finansial. Defisit transaksi berjalan 2015 juga
diperkirakan membaik dari 3,1 persen menjadi 2 persen dari produk domestik
bruto.
Ketiga, cadangan
devisa RI pada akhir Desember 2015 meningkat menjadi 105,9 miliar dollar AS,
atau setara 7,4 bulan impor. Keempat, nilai tukar rupiah bergerak stabil dan
inflasi 2015 tercatat 3,35 persen atau berada dalam sasaran inflasi
pemerintah 3-5 persen secara tahunan. Kelima, stabilitas sistem keuangan
terjaga. Rasio kecukupan modal perbankan dan rasio kredit bermasalah hingga
akhir 2015 berada pada level yang sehat.
Membaiknya fundamental
ekonomi ini menjadi dasar bagi kita untuk tetap optimistis meski terjadi
teror beberapa hari lalu. Reaksi masyarakat dalam menyikapi teror bom Thamrin
terbukti positif.Gerakan melawan terorisme marak dilakukan, diawali dari
berbagai tagar di media sosial hingga aksi solidaritas di jalan-jalan.
Tentunya berbagai gerakan itu juga harus diikuti oleh keberanian kita untuk
terus beraktivitas di bidang ekonomi. Kita harus tetap berinvestasi, tetap
berbelanja, tetap pergi ke pasar atau pusat perbelanjaan, dan menunjukkan
bahwa kita berani serta optimistis pada masa depan ekonomi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar