Infrastruktur Prasyarat Lokomotif Ekonomi
Enny Sri Hartati ; Direktur Institute for Development of
Economics and Finance
|
KOMPAS,
11 Januari 2016
Masalah krusial ekonomi Indonesia sebenarnya bukan masalah
pelambatan pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai kisaran 4,7 persen pada
2015. Tantangan terberat adalah melemahnya pertumbuhan sektor produksi atau
sektor yang bisa diperdagangkan (tradable).
Utamanya, masih terbatasnya pertumbuhan sektor pertanian dan menurunnya
pertumbuhan sektor industri manufaktur. Sektor pertanian dan industri tumbuh
di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Pada triwulan III-2015, sektor
pertanian hanya tumbuh 3,21 persen dan sektor industri manufaktur 4,33
persen. Apalagi sektor pertambangan, yang masih tumbuh minus 5,64 persen.
Secara umum, sektor yang bisa diperdagangkan adalah sektor yang
menghasilkan output atau barang yang dapat diperjualbelikan. Artinya, dalam
proses menghasilkan output, sektor itu banyak melibatkan hampir semua faktor
produksi, seperti penyerapan tenaga kerja, modal, bahan baku, bahan penolong,
energi, teknologi, dan kewirausahaan. Setelah output diproduksi, pasti akan
memantik berkembangnya sektor jasa, seperti perdagangan, keuangan, asuransi,
transportasi, dan telekomunikasi. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika
sektor ini merupakan lokomotif perekonomian.
Sebaliknya, sekalipun pertumbuhan ekonomi terbilang masih
relatif cukup tinggi, yang tumbuh di atas 8 persen hanya sektor jasa. Sektor
informasi dan telekomunikasi tumbuh 10,83 persen, jasa keuangan 10,35 persen,
jasa pendidikan 8,23 persen, dan jasa lainnya 8,15 persen. Masalahnya, faktor
produksi yang terlibat dalam jasa hanya terbatas. Sektor jasa relatif kedap
terhadap penyerapan tenaga kerja dan penggunaan bahan baku lokal. Artinya,
nilai tambah dalam perekonomian relatif kecil. Akibatnya, wajar jika justru
berimplikasinya pada meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan, dan
kesenjangan ekonomi. Lebih dari itu, jika sektor produksi dalam negeri terus
melambat, bisa jadi pertumbuhan yang tinggi di sektor jasa justru lebih
banyak memfasilitasi penetrasi produk-produk impor.
Oleh karena itu, perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi jauh
lebih urgen, bahkan dibandingkan pencapaian target angka pertumbuhan yang
tinggi sekalipun. Dengan basis sumber daya yang beraneka ragam dan melimpah,
mestinya sektor produksi mampu menciptakan efisiensi dan daya saing.
Sekaligus tentu akan lebih memastikan pemerataan. Jadi, mendorong dan fokus
pada pertumbuhan sektor produksi adalah keniscayaan. Tanpa itu, Indonesia
juga akan semakin kehilangan momentum pasar bebas ASEAN. Perluasan pasar
hanya akan dimungkinkan jika terjadi peningkatan produksi. Jika produksi
dalam negeri justru melorot, yang terjadi bukan perluasan pasar, melainkan
justru potensi penetrasi barang-barang impor dari sembilan negara ASEAN
lainnya ke Indonesia.
Kunci utama menempatkan Indonesia menjadi negara yang berbasis
produksi tentu iklim investasi yang kondusif. Pemerintah telah berkomitmen
memberikan kemudahan serta penyederhanaan prosedur dan perizinan investasi.
Bahkan, berbagai insentif serta fasilitasi fiskal dan nonfiskal diluncurkan
pemerintah melalui paket stimulus I-VIII, termasuk berusaha menyelesaikan
persoalan perburuhan dan pemberian insentif kepada kawasan ekonomi khusus.
Sayangnya, sampai akhir 2015, paket-paket stimulus itu belum mampu secara
signifikan mendongkrak realisasi investasi. Salah satu penyebab utama adalah
ketersediaan infrastruktur dasar. Sekalipun pemerintah pusat menawarkan
insentif pajak, jika pasokan energi (listrik) tidak memadai, tidak mungkin
dapat terbangun industri. Oleh karena itu, ketersediaan lahan, percepatan
pembangunan infrastruktur dasar dan kawasan industri harus menjadi komitmen
semua pemangku kepentingan, terutama komitmen pemerintah daerah dan instansi
teknis terkait guna mendorong realisasi investasi.
Pada 2016, pemerintah telah berkomitmen melakukan percepatan
pembangunan infrastruktur dengan melakukan pendanaan awal, di antaranya
melalui persiapan dana lebih besar pada awal tahun dengan menarik pinjaman
sekitar Rp 60 triliun. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah
mempercepat proses tender proyek sejak akhir tahun 2015 agar triwulan I-2016
proyek infrastruktur sudah dijalankan. Target percepatan pembangunan
infrastruktur mestinya bisa diwujudkan, apalagi jika mampu mengoptimalkan
dana transfer ke daerah dan dana desa yang mencapai Rp 770,2 triliun pada
APBN 2016. Apabila dana itu dapat diprioritaskan untuk pembangunan
infrastruktur, niscaya secara serentak di seluruh wilayah sampai level desa
akan terjadi percepatan dan perbaikan ketersediaan infrastruktur dasar.
Optimalisasi prioritas dana transfer dan dana desa untuk
infrastruktur dapat memastikan adanya sinergisitas perencanaan pembangunan
infrastruktur. Artinya, pembangunan infrastruktur pemerintah pusat dapat
difokuskan untuk mencapai target penurunan biaya logistik nasional yang
mungkin baru bisa dicapai dalam jangka menengah dan panjang. Dana transfer
daerah, terutama dana alokasi khusus, dapat diprioritaskan untuk memperbaiki
konektivitas. Sementara dana desa langsung untuk pembangunan infrastruktur
yang dapat berimplikasi jangka pendek dan mampu memperkuat perekonomian di
masing-masing desa. Dengan demikian, terdapat kesinambungan dan integrasi
program yang bermanfaat secara serentak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar