Rabu, 13 Januari 2016

Infrastruktur Prasyarat Lokomotif Ekonomi

Infrastruktur Prasyarat Lokomotif Ekonomi

Enny Sri Hartati   ;  Direktur Institute for Development of Economics and Finance
                                                       KOMPAS, 11 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Masalah krusial ekonomi Indonesia sebenarnya bukan masalah pelambatan pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai kisaran 4,7 persen pada 2015. Tantangan terberat adalah melemahnya pertumbuhan sektor produksi atau sektor yang bisa diperdagangkan (tradable). Utamanya, masih terbatasnya pertumbuhan sektor pertanian dan menurunnya pertumbuhan sektor industri manufaktur. Sektor pertanian dan industri tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Pada triwulan III-2015, sektor pertanian hanya tumbuh 3,21 persen dan sektor industri manufaktur 4,33 persen. Apalagi sektor pertambangan, yang masih tumbuh minus 5,64 persen.

Secara umum, sektor yang bisa diperdagangkan adalah sektor yang menghasilkan output atau barang yang dapat diperjualbelikan. Artinya, dalam proses menghasilkan output, sektor itu banyak melibatkan hampir semua faktor produksi, seperti penyerapan tenaga kerja, modal, bahan baku, bahan penolong, energi, teknologi, dan kewirausahaan. Setelah output diproduksi, pasti akan memantik berkembangnya sektor jasa, seperti perdagangan, keuangan, asuransi, transportasi, dan telekomunikasi. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika sektor ini merupakan lokomotif perekonomian.

Sebaliknya, sekalipun pertumbuhan ekonomi terbilang masih relatif cukup tinggi, yang tumbuh di atas 8 persen hanya sektor jasa. Sektor informasi dan telekomunikasi tumbuh 10,83 persen, jasa keuangan 10,35 persen, jasa pendidikan 8,23 persen, dan jasa lainnya 8,15 persen. Masalahnya, faktor produksi yang terlibat dalam jasa hanya terbatas. Sektor jasa relatif kedap terhadap penyerapan tenaga kerja dan penggunaan bahan baku lokal. Artinya, nilai tambah dalam perekonomian relatif kecil. Akibatnya, wajar jika justru berimplikasinya pada meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan ekonomi. Lebih dari itu, jika sektor produksi dalam negeri terus melambat, bisa jadi pertumbuhan yang tinggi di sektor jasa justru lebih banyak memfasilitasi penetrasi produk-produk impor.

Oleh karena itu, perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi jauh lebih urgen, bahkan dibandingkan pencapaian target angka pertumbuhan yang tinggi sekalipun. Dengan basis sumber daya yang beraneka ragam dan melimpah, mestinya sektor produksi mampu menciptakan efisiensi dan daya saing. Sekaligus tentu akan lebih memastikan pemerataan. Jadi, mendorong dan fokus pada pertumbuhan sektor produksi adalah keniscayaan. Tanpa itu, Indonesia juga akan semakin kehilangan momentum pasar bebas ASEAN. Perluasan pasar hanya akan dimungkinkan jika terjadi peningkatan produksi. Jika produksi dalam negeri justru melorot, yang terjadi bukan perluasan pasar, melainkan justru potensi penetrasi barang-barang impor dari sembilan negara ASEAN lainnya ke Indonesia.

Kunci utama menempatkan Indonesia menjadi negara yang berbasis produksi tentu iklim investasi yang kondusif. Pemerintah telah berkomitmen memberikan kemudahan serta penyederhanaan prosedur dan perizinan investasi. Bahkan, berbagai insentif serta fasilitasi fiskal dan nonfiskal diluncurkan pemerintah melalui paket stimulus I-VIII, termasuk berusaha menyelesaikan persoalan perburuhan dan pemberian insentif kepada kawasan ekonomi khusus. Sayangnya, sampai akhir 2015, paket-paket stimulus itu belum mampu secara signifikan mendongkrak realisasi investasi. Salah satu penyebab utama adalah ketersediaan infrastruktur dasar. Sekalipun pemerintah pusat menawarkan insentif pajak, jika pasokan energi (listrik) tidak memadai, tidak mungkin dapat terbangun industri. Oleh karena itu, ketersediaan lahan, percepatan pembangunan infrastruktur dasar dan kawasan industri harus menjadi komitmen semua pemangku kepentingan, terutama komitmen pemerintah daerah dan instansi teknis terkait guna mendorong realisasi investasi.

Pada 2016, pemerintah telah berkomitmen melakukan percepatan pembangunan infrastruktur dengan melakukan pendanaan awal, di antaranya melalui persiapan dana lebih besar pada awal tahun dengan menarik pinjaman sekitar Rp 60 triliun. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah mempercepat proses tender proyek sejak akhir tahun 2015 agar triwulan I-2016 proyek infrastruktur sudah dijalankan. Target percepatan pembangunan infrastruktur mestinya bisa diwujudkan, apalagi jika mampu mengoptimalkan dana transfer ke daerah dan dana desa yang mencapai Rp 770,2 triliun pada APBN 2016. Apabila dana itu dapat diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur, niscaya secara serentak di seluruh wilayah sampai level desa akan terjadi percepatan dan perbaikan ketersediaan infrastruktur dasar.

Optimalisasi prioritas dana transfer dan dana desa untuk infrastruktur dapat memastikan adanya sinergisitas perencanaan pembangunan infrastruktur. Artinya, pembangunan infrastruktur pemerintah pusat dapat difokuskan untuk mencapai target penurunan biaya logistik nasional yang mungkin baru bisa dicapai dalam jangka menengah dan panjang. Dana transfer daerah, terutama dana alokasi khusus, dapat diprioritaskan untuk memperbaiki konektivitas. Sementara dana desa langsung untuk pembangunan infrastruktur yang dapat berimplikasi jangka pendek dan mampu memperkuat perekonomian di masing-masing desa. Dengan demikian, terdapat kesinambungan dan integrasi program yang bermanfaat secara serentak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar