Kamis, 21 Januari 2016

Sesat Hitung Ambang Batas Pilkada

Sesat Hitung Ambang Batas Pilkada

Refly Harun  ;   Praktisi dan Pengamat Hukum Tata Negara;
Mengajar di Program Pascasarjana UGM
                                                    DETIKNEWS, 17 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Proses pemeriksaan pendahuluan permohonan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) sudah memasuki tahap akhir. Senin (18/01/16) besok, Mahkamah Konstitusi (MK) akan melaksanakan sidang dengan agenda membacakan putusan dismissal apakah permohonan yang masuk dapat dilanjutkan ke proses pemeriksaan persidangan atau tidak.

Berbagai syarat formil pengajuan permohonan akan menjadi barometer MK untuk memutuskan suatu permohonan layak dilanjutkan atau cukup sampai pemeriksaan pendahuluan saja. Salah satunya syarat terpenuhi atau tidaknya ambang batas pengajuan permohonan penyelesaian perselisihan sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU No. 8/2015 dan Pasal 6 Peraturan MK No 1/2015 sebagaimana diubah dengan Peraturan MK No. 5/2015. Berdasarkan syarat itulah, 147 permohonan penyelesaian perselisihan hasil pilkada serentak 2015 akan disaring untuk masuk ke tahap selanjutnya.

Salah satu hal menarik yang terjadi selama pemeriksaan pendahuluan berlangsung adalah terdapatnya perbedaan cara penghitungan angka ambang batas dalam sejumlah permohonan. Pada sebagian kasus, penghitungan ambang batas dilakukan berbasis pada distribusi total suara sah secara keseluhan (seratus persen suara sah). Setiap calon ditentukan terlebih dulu berapa persen perolehan suaranya terhadap seratus persen suara sah. Setelah itu barulah bisa ditentukan berapa persen selisih antara pemenang dan pihak yang mengajukan permohonan.

Sementara sebagian permohonan lainnya mendasarkan pada penghitungan berdasarkan persentase dari total suara yang diperoleh peraih suara terbanyak. Selisih persentase yang dibolehkan dalam undang-undang (antara 0,5 % hingga 2 %) dikalikan dengan suara calon yang memperoleh suara terbanyak. Hasilnya menjadi batas maksimal selisih yang diperbolehkan. Penghitungan terakhir ini adalah versi yang ditetapkan PMK No. 5/2015.

Ambil contoh konkret Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Perbedaan suara antara pemenang dan peraih suara terbanyak nomor dua hanya 819 suara dari 101.181 suara sah. Perinciannya, pemenang pertama mendapat 38.726 suara (atau 38,27 % dari total suara sah), pemenang kedua 37.907 (37,66 %), dan pemenang ketiga 24.548 (24,26 %). Perbedaan suara antara pemenang pertama dan kedua 38,27 % - 37,66 % = 0,61 %. Karena penduduk Kabupaten Barru kurang dari 250 ribu maka selisih persentase yang diperbolehkan adalah 2 %. Dengan demikian, pemenang kedua masih memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan.

Namun, bila menggunakan penghitungan gaya MK, selisih suara yang dibolehkan untuk mengajukan permohonkan hanya 775 suara. Cara menghitungnya, 38.726 (suara terbanyak) x 2 % (selisih persentase yang diperbolehkan) = 775 suara. Dengan demikian, pemenang kedua, yang berselisih 819 suara dengan peraih suara terbanyak, tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan.  Padahal, perbedaan 819 suara tersebut termasuk kecil. Perhitungan suara ulang di dua TPS saja bisa berpengaruh terhadap hasil pilkada.  

Bila penghitungan cara MK ini yang dipakai – yang menurut saya tidak lazim dan bukanlah maksud dari pembentuk undang-undang – maka hanya 9 dari 147 permohonan saja yang bisa lanjut ke tahap pemeriksaan persidangan. Ruang gelap pilkada yang ditandai masih maraknya pelanggaran-pelanggaran bahkan kejahatan-kejahatan tidak akan terungkap.      

Dintinjau Kembali

Setidaknya ada tiga catatan penting yang mesti direnungkan lebih dalam oleh hakim konstitusi sebelum mengetukkan palunya esok hari. Pertama, perbedaan pengggunaan basis penentuan selisih suara antara Pasal 158 UU No 8/2015 dan Peraturan MK No. 5/2015 berimplikasi pada semakin sempitnya ruang peserta pilkada untuk mengajukan permohonan kepada MK, termasuk untuk lanjut pada proses pemeriksaan persidangan. Bila dibandingkan, perbedaan penentuan selisih suara antara UU Pilkada dan Peraturan MK lebih dari 50%. Artinya, jika persentase dihitung berdasarkan undang-undang, terdapat selisih suara tidak lebih dari 2%, sementara dengan menggunakan Peraturan MK, selisih suara akan berkisar pada angka 4% hingga 5%. Dengan demikian, permohonan yang seharusnya memenuhi syarat berdasarkan Pasal 158 UU 8/2015 akan dinyatakan tidak memenuhi syarat bila dihitung berdasarkan peraturan MK.
 
Permohonan penyelesaian perselisihan hasil pilkada Kabupaten Barru, Kapuas Hulu, dan Rokan Hulu, sekadar menyebut beberapa di antaranya, merupakan sengketa yang amat potensial jadi korban ketidakpastian basis penentuan selisih suara. Jika selisih suara hasil pemilihan di tiga daerah tersebut dihitung menggunakan Pasal 158 UU Pilkada, permohonan penyelesaian perselisihan hasil pilkada harusnya dinyatakan memenuhi syarat, karena tidak lebih dari 2%. Namun, jika menggunakan Peraturan MK, permohonan di tiga daerah tersebut sudah tidak lagi memenuhi syarat, karena selisih suara sudah lebih dari 2 %.

Kedua, dari aspek keadilan bagi setiap peserta pilkada, penentuan selisih berdasarkan total suara sah peraih suara terbanyak tidak tepat. Sebab, dengan mendasarkan penghitungan selisih dari total suara calon peraih suara terbanyak, suara yang diperoleh calon-calon lainnya jadi tidak diperhitungkan dalam penentuan selisih suara. Padahal, suara mereka merupakan suara sah hasil pemilihan yang harus tetap dihitung dalam menentukan apapun dalam pilkada, termasuk selisih. Dalam konteks ini, jika bertahan pada Pasal 6 ayat (3) Peraturan MK No. 5/2015, MK sesungguhnya tengah menegasikan arti dari suara pemilih yang diberikan kepada calon selain yang memperoleh suara terbanyak. Pilihan kembali pada substansi Pasal 158 UU No. 8/2015 jauh lebih baik dan konsisten dalam memosisikan suara pemilih dalam pilkada.  

Ketiga, dari aspek bentuk hukum, peraturan MK tentu tidak boleh mengubah substansi UU No. 8/2015 yang mendasari pembentukannya. Sebagai peraturan pelaksana, peraturan MK hanya diperkenankan mengatur lebih lanjut, bukan mengubah hal yang secara jelas dan tegas telah diatur undang-undang. Basis penentuan persentase selisih suara sebagaimana diatur dalam Peraturan MK No. 5/2015 layak ditinjau kembali dalam putusan penyelesaian perselisihan hasil pilkada.

Menerobos Ambang Batas

Dalam pandangan penulis, dibandingkan mempersempit cara penentuan selisih suara melalui Peraturan MK No 5/2015, mengenyampingkan Pasal 158 UU No. 8/2015 untuk kasus-kasus tertentu yang yang signifikan mempengaruhi hasil pilkada jauh lebih bijak. Misalnya kasus-kasus tidak terpenuhinya persyaratan pencalonan yang baru diketahui belakangan atau terjadinya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif. Sikap ini, selain konsisten dengan putusan-putusan MK selama ini yang lebih mengedepankan keadilan substantif  ketimbang keadilan prosedural, juga tidak menghapuskan peran MK sebagai penjaga konstitusi (the guardiant of the constitution) dalam setiap kasus yang ditangani. Dalam konteks pilkada, MK harus betul-betul menjaga moral konstitusi bahwa pilkada harus dilakukan secara demokratis (Pasal 18 ayat [4] UUD 1945) serta jujur dan adil (Pasal 22E ayat [1] UUD 1945).

Sebagai penjaga konstitusi, selama ini MK menolak menjadi "mahkamah kalkulator", yang mengadili sengketa pilkada hanya didasarkan pada hitungan-hitungan angka belaka, apalagi angka yang sudah dibatasi.  Mudah-mudahan sikap itu tercermin pula dalam putusan-putusan MK mulai senin besok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar