Sesat Hitung Ambang Batas Pilkada
Refly Harun ; Praktisi dan Pengamat Hukum Tata Negara;
Mengajar di Program Pascasarjana
UGM
|
DETIKNEWS,
17 Januari 2016
Proses pemeriksaan
pendahuluan permohonan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala
daerah (pilkada) sudah memasuki tahap akhir. Senin (18/01/16) besok, Mahkamah
Konstitusi (MK) akan melaksanakan sidang dengan agenda membacakan putusan
dismissal apakah permohonan yang masuk dapat dilanjutkan ke proses
pemeriksaan persidangan atau tidak.
Berbagai syarat formil
pengajuan permohonan akan menjadi barometer MK untuk memutuskan suatu
permohonan layak dilanjutkan atau cukup sampai pemeriksaan pendahuluan saja.
Salah satunya syarat terpenuhi atau tidaknya ambang batas pengajuan
permohonan penyelesaian perselisihan sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU
No. 8/2015 dan Pasal 6 Peraturan MK No 1/2015 sebagaimana diubah dengan
Peraturan MK No. 5/2015. Berdasarkan syarat itulah, 147 permohonan
penyelesaian perselisihan hasil pilkada serentak 2015 akan disaring untuk
masuk ke tahap selanjutnya.
Salah satu hal menarik
yang terjadi selama pemeriksaan pendahuluan berlangsung adalah terdapatnya
perbedaan cara penghitungan angka ambang batas dalam sejumlah permohonan.
Pada sebagian kasus, penghitungan ambang batas dilakukan berbasis pada
distribusi total suara sah secara keseluhan (seratus persen suara sah).
Setiap calon ditentukan terlebih dulu berapa persen perolehan suaranya
terhadap seratus persen suara sah. Setelah itu barulah bisa ditentukan berapa
persen selisih antara pemenang dan pihak yang mengajukan permohonan.
Sementara sebagian
permohonan lainnya mendasarkan pada penghitungan berdasarkan persentase dari
total suara yang diperoleh peraih suara terbanyak. Selisih persentase yang
dibolehkan dalam undang-undang (antara 0,5 % hingga 2 %) dikalikan dengan
suara calon yang memperoleh suara terbanyak. Hasilnya menjadi batas maksimal
selisih yang diperbolehkan. Penghitungan terakhir ini adalah versi yang
ditetapkan PMK No. 5/2015.
Ambil contoh konkret
Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Perbedaan suara antara pemenang dan peraih
suara terbanyak nomor dua hanya 819 suara dari 101.181 suara sah.
Perinciannya, pemenang pertama mendapat 38.726 suara (atau 38,27 % dari total
suara sah), pemenang kedua 37.907 (37,66 %), dan pemenang ketiga 24.548
(24,26 %). Perbedaan suara antara pemenang pertama dan kedua 38,27 % - 37,66
% = 0,61 %. Karena penduduk Kabupaten Barru kurang dari 250 ribu maka selisih
persentase yang diperbolehkan adalah 2 %. Dengan demikian, pemenang kedua
masih memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan.
Namun, bila
menggunakan penghitungan gaya MK, selisih suara yang dibolehkan untuk
mengajukan permohonkan hanya 775 suara. Cara menghitungnya, 38.726 (suara
terbanyak) x 2 % (selisih persentase yang diperbolehkan) = 775 suara. Dengan
demikian, pemenang kedua, yang berselisih 819 suara dengan peraih suara
terbanyak, tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan. Padahal, perbedaan 819 suara tersebut
termasuk kecil. Perhitungan suara ulang di dua TPS saja bisa berpengaruh
terhadap hasil pilkada.
Bila penghitungan cara
MK ini yang dipakai – yang menurut saya tidak lazim dan bukanlah maksud dari
pembentuk undang-undang – maka hanya 9 dari 147 permohonan saja yang bisa lanjut
ke tahap pemeriksaan persidangan. Ruang gelap pilkada yang ditandai masih
maraknya pelanggaran-pelanggaran bahkan kejahatan-kejahatan tidak akan
terungkap.
Dintinjau Kembali
Setidaknya ada tiga
catatan penting yang mesti direnungkan lebih dalam oleh hakim konstitusi
sebelum mengetukkan palunya esok hari. Pertama, perbedaan pengggunaan basis
penentuan selisih suara antara Pasal 158 UU No 8/2015 dan Peraturan MK No.
5/2015 berimplikasi pada semakin sempitnya ruang peserta pilkada untuk
mengajukan permohonan kepada MK, termasuk untuk lanjut pada proses
pemeriksaan persidangan. Bila dibandingkan, perbedaan penentuan selisih suara
antara UU Pilkada dan Peraturan MK lebih dari 50%. Artinya, jika persentase
dihitung berdasarkan undang-undang, terdapat selisih suara tidak lebih dari
2%, sementara dengan menggunakan Peraturan MK, selisih suara akan berkisar
pada angka 4% hingga 5%. Dengan demikian, permohonan yang seharusnya memenuhi
syarat berdasarkan Pasal 158 UU 8/2015 akan dinyatakan tidak memenuhi syarat
bila dihitung berdasarkan peraturan MK.
Permohonan
penyelesaian perselisihan hasil pilkada Kabupaten Barru, Kapuas Hulu, dan
Rokan Hulu, sekadar menyebut beberapa di antaranya, merupakan sengketa yang
amat potensial jadi korban ketidakpastian basis penentuan selisih suara. Jika
selisih suara hasil pemilihan di tiga daerah tersebut dihitung menggunakan
Pasal 158 UU Pilkada, permohonan penyelesaian perselisihan hasil pilkada
harusnya dinyatakan memenuhi syarat, karena tidak lebih dari 2%. Namun, jika
menggunakan Peraturan MK, permohonan di tiga daerah tersebut sudah tidak lagi
memenuhi syarat, karena selisih suara sudah lebih dari 2 %.
Kedua, dari aspek
keadilan bagi setiap peserta pilkada, penentuan selisih berdasarkan total
suara sah peraih suara terbanyak tidak tepat. Sebab, dengan mendasarkan
penghitungan selisih dari total suara calon peraih suara terbanyak, suara
yang diperoleh calon-calon lainnya jadi tidak diperhitungkan dalam penentuan
selisih suara. Padahal, suara mereka merupakan suara sah hasil pemilihan yang
harus tetap dihitung dalam menentukan apapun dalam pilkada, termasuk selisih.
Dalam konteks ini, jika bertahan pada Pasal 6 ayat (3) Peraturan MK No.
5/2015, MK sesungguhnya tengah menegasikan arti dari suara pemilih yang
diberikan kepada calon selain yang memperoleh suara terbanyak. Pilihan
kembali pada substansi Pasal 158 UU No. 8/2015 jauh lebih baik dan konsisten
dalam memosisikan suara pemilih dalam pilkada.
Ketiga, dari aspek
bentuk hukum, peraturan MK tentu tidak boleh mengubah substansi UU No. 8/2015
yang mendasari pembentukannya. Sebagai peraturan pelaksana, peraturan MK
hanya diperkenankan mengatur lebih lanjut, bukan mengubah hal yang secara
jelas dan tegas telah diatur undang-undang. Basis penentuan persentase
selisih suara sebagaimana diatur dalam Peraturan MK No. 5/2015 layak ditinjau
kembali dalam putusan penyelesaian perselisihan hasil pilkada.
Menerobos Ambang Batas
Dalam pandangan
penulis, dibandingkan mempersempit cara penentuan selisih suara melalui
Peraturan MK No 5/2015, mengenyampingkan Pasal 158 UU No. 8/2015 untuk
kasus-kasus tertentu yang yang signifikan mempengaruhi hasil pilkada jauh
lebih bijak. Misalnya kasus-kasus tidak terpenuhinya persyaratan pencalonan
yang baru diketahui belakangan atau terjadinya pelanggaran terstruktur,
sistematis, dan masif. Sikap ini, selain konsisten dengan putusan-putusan MK
selama ini yang lebih mengedepankan keadilan substantif ketimbang keadilan prosedural, juga tidak
menghapuskan peran MK sebagai penjaga konstitusi (the guardiant of the
constitution) dalam setiap kasus yang ditangani. Dalam konteks pilkada, MK
harus betul-betul menjaga moral konstitusi bahwa pilkada harus dilakukan
secara demokratis (Pasal 18 ayat [4] UUD 1945) serta jujur dan adil (Pasal
22E ayat [1] UUD 1945).
Sebagai penjaga
konstitusi, selama ini MK menolak menjadi "mahkamah kalkulator",
yang mengadili sengketa pilkada hanya didasarkan pada hitungan-hitungan angka
belaka, apalagi angka yang sudah dibatasi.
Mudah-mudahan sikap itu tercermin pula dalam putusan-putusan MK mulai
senin besok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar