Tahun Harapan Konstitusi
GKR Hemas ; Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI
|
KOMPAS,
21 Januari 2016
Desakan agar negara
kembali memiliki GBHN makin menguat. Rakernas PDI Perjuangan bahkan
merekomendasikan amandemen UUD 1945 untuk mengembalikan kewenangan MPR
mengenai hal itu.
Di DPD RI wacana ini
sudah lama berkembang dan telah tersusun rancangan amandemen yang diperlukan.
Kami menyebutnya penyempurnaan sistem ketatanegaraan. Karena itu, ide kembali
memiliki GBHN sejalan dengan perkembangan pemikiran di DPD. Kesadaran ini
juga berkembang di lembaga lain dan partai lain. Kita perlu arah yang jelas
dalam jangka panjang agar dapat menyusun rencana jangka pendek dan menengah.
Dalam konteks DPD, misalnya, pada kurun waktu satu tahun telah dihasilkan 10
RUU inisiatif di antara 57 keputusan yang dibuat. Sebuah angka yang produktif
dalam pelaksanaan tugas yang singkat.
Sepuluh RUU itu merata
dihasilkan oleh empat komite yang ada di DPD dan satu alat kelengkapan tetap
yang bernama Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU). Komite 1 menghasilkan
RUU tentang Pertanahan, Komite 2 tentang Pengadaan Barang dan Jasa serta
tentang Sistem Budidaya Tanaman. Komite 3 menghasilkan RUU tentang Ekonomi
Kreatif dan tentang Bahasa Daerah. Komite 4 mengajukan RUU inisiatif merevisi
UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Adapun PPUU
menghasilkan empat RUU inisiatif: tentang Wawasan Nusantara, tentang Hubungan
Keuangan Pusat dan Daerah, tentang Perubahan atas UU No 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan RUU tentang Perubahan Ke-2 atas
UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Jika dilihat dari
cakupan materi RUU, terlihat spektrum yang luas. Dari ekonomi sampai budaya.
Dari politik sampai hak atas tanah. Dalam jangka tiga tahun ke depan, dengan
harapan produktivitas DPD terus meningkat, dapat dihasilkan keragaman dan
keluasan lebih jauh. Ini memerlukan haluan negara dan pembangunan yang lebih
jauh dari jangkauan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) sebagaimana diamanatkan UU No 17 Tahun 2007. Sebuah
haluan ke masa depan yang operasional dalam tahap pengembangan pembangunan
masa kini.
Amandemen kelima UUD
Menghidupkan kembali
GBHN memerlukan perubahan UUD 1945 meskipun opsi lain bisa saja tersedia.
Amandemen kelima merupakan jalan terbaik yang sesungguhnya sudah dirintis
sejak periode parlemen 2009-2014. Dimulai dengan forum-forum bersama yang
diinisiasi DPD, MPR akhirnya membuka peluang melalui pembentukan Tim Kerja Kajian
Sistem Ketatanegaraan Indonesia (KKSKI) sebagai hasil Rapat Gabungan MPR RI,
19 Juli 2012. Pembentukan ini termaktub dalam Keputusan Pimpinan MPR No
5/PIMP/2012 tertanggal 1 Oktober 2012. Tujuan utama tim ini ialah
menghasilkan Rekomendasi Perubahan Kelima UUD 1945.
Tim KKSKI bekerja
dengan dasar sepuluh isu strategis hasil kajian Kelompok Anggota DPD di MPR
yang dirintis sejak akhir periode 2004-2009, yang melibatkan hampir semua
perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, tokoh-tokoh masyarakat, dan pemangku
kepentingan lainnya. Yakni, memperkuat sistem presidensial, memperkuat
lembaga perwakilan, memperkuat otonomi daerah, calon presiden perseorangan,
pemilahan pemilu nasional dan pemilu lokal (yang terlaksana mulai tahun ini),
forum previlegiatum, optimalisasi peran Mahkamah Konstitusi, penambahan pasal
hak asasi manusia, penambahan bab komisi negara, penajaman bab tentang
pendidikan dan perekonomian.
Dalam perjalanan
sekitar dua tahun, tim berhasil melakukan penajaman-penajaman yang disepakati
bersama untuk disiapkan menjadi rekomendasi. Poin menghidupkan kembali GBHN
masuk sebagai bentuk modifikasi yang direncanakan dengan bahasa resmi,
”Melakukan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional dengan model
GBHN sebagai haluan penyelenggaraan negara”. Inilah cikal bakal ”formal”
merebaknya isu GBHN perlu kembali dihidupkan, yang tercantum sebagai
rekomendasi nomor 2 dalam Keputusan MPR RI Nomor 4/MPR/2014 tentang
Rekomendasi MPR RI Masa Jabatan 2009-2014.
Rekomendasi terdiri
atas tujuh poin. Selain nomor 2 di atas, enam poin lain: (1) melaksanakan
penataan sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan UUD 1945 dengan
tetap berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai segala sumber hukum negara;
(3) melakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika secara melembaga melalui semua tingkatan pendidikan nasional
dalam rangka pembangunan karakter bangsa; (4) membentuk lembaga kajian yang
secara fungsional bertugas mengkaji sistem ketatanegaraan, UUD 1945, NKRI,
dan Bhinneka Tunggal Ika serta implementasinya.
Kemudian; (5)
mewujudkan akuntabilitas publik lembaga negara dalam melaksanakan tugas
konstitusional yang diamanatkan UUD 1945 melalui laporan kinerja pelaksanaan
tugas dalam Sidang Tahunan MPR; (6) melakukan penataan sistem peraturan
perundang-undangan berdasarkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum
negara; (7). memperkuat status hukum Ketetapan MPRS dan MPR dalam sistem
hukum Indonesia.
Rekomendasi ini
mengikat untuk ditindaklanjuti oleh MPR RI periode berikutnya, yakni periode
saat ini, 2014-2019. Untuk itu, MPR telah membentuk Badan Kajian Sistem
Ketatanegaraan Indonesia sebagai alat kelengkapan MPR yang dipimpin anggota
DPD RI, yang telah bekerja sejak akhir 2014.
Kedewasaan politik
Pembicaraan mengenai
GBHN dan Perubahan Kelima UUD 1945 yang terjadi di awal 2016 memberi harapan
terjadinya penyempurnaan sistem ketatanegaraan. Ada suasana keterbukaan dan
kedewasaan politik yang makin baik. Paling menonjol yang terjadi akhir 2015.
Penyelenggaraan pilkada serentak yang membetikkan waswas telah berjalan
dengan baik. Memang ada sejumlah catatan, tetapi persoalan-persoalan utama
masuk ke jalur hukum, lainnya terjaga dengan baik. Bukan dengan cara
represif, melainkan mengemukanya kesadaran bahwa politik bukanlah urusan
pribadi dan golongan, melainkan urusan bangsa dan negara.
Demikian juga yang
terjadi di ujung apa yang disebut kegaduhan politik. Baik yang menyangkut
orang maupun parpol, yang gaungnya luar biasa, dapat selesai dengan baik dan
tenang. Ada perkembangan positif sikap kenegarawanan yang terjadi di tingkat
nasional maupun lokal.
Sikap PDI-P
sebagaimana rekomendasi rakernasnya, yang bisa saja akan sejalan dengan
partai-partai anggota koalisinya, membuka ruang Perubahan Kelima UUD 1945,
adalah perkembangan yang menggembirakan bagi penyempurnaan sistem
ketatanegaraan Indonesia. Dengan adanya ruang itu, konstitusi kita menjadi
bersifat living constitution, suatu
bentuk konstitusi yang sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman, yang
hanya dapat dicapai oleh situasi dan kondisi tertentu, yakni tingkat
kedewasaan politik yang mencukupi. Berbagai peristiwa politik sepanjang 2015
dan awal 2016 memperlihatkan tingkat kedewasaan yang terus membaik. Itu cukup
memberi kita dasar untuk mengatakan, ini tahun yang memberikan harapan bagi
konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar