Terorisme dan Semiotika Sewenang-wenang
Teuku Kemal Fasya ; Dewan Pakar NU Aceh;
Mengajar Antropolinguistik di
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
|
KOMPAS,
19 Januari 2016
Teror bom Thamrin 14
Januari 2016 telah beralih dari sebuah peristiwa menjadi kata, tafsir, dan
wacana. Sebagai tafsir tentu saja peristiwa bom Thamrin baik untuk
dielaborasi secara kritis, terbuka, dan demokratis. Ia perlu diuji dengan
tafsir lain secara santun. Jangan berhenti dalam klaim pembenaran ala negara–Kultuurstaat, memakai istilah
Friedrich Nietzsche—yang bisa membekukan gairah intelektual hingga menjauh
dari hasrat menemukan kebenaran (the
will to truth).
Berbeda dengan negara
(Menko Polhukam, Polri, dan BIN) yang menggunakan bukti forensik, politik, dan
intelijendalam menjelaskan tafsirnya, tulisan ini menggunakan instrumen
semiotika—berupa teks dan bahasa visual—yang bisa digunakan untuk memberikan
pemahaman dan kesadaran tentang peristiwa itu.
”Simulacra”
Sejak menit pertama
disiarkan televisi, beberapa kesimpulan telah dibuat, tetapi hanya simulacra,
berasal dari keterampilan bahasa tanpa indikator, apropriasi, dan bukti
material.
Pertama, benarkah bom
Thamrin adalah replika bom Paris 13 November 2015, seperti yang berkembang di
media?
Secara jumlah, korban
tewas bom Paris 153 orang, sedangkan bom Thamrin ”hanya” tujuh, sebagian
besar malah pelaku. Bom Paris direncanakan sangat detail, meneror beberapa
sisi kota termasuk di lokasi Presiden Francois Hollande. Bom Thamrin? Hanya
terjadi di seputaran Jalan MH Thamrin dan dilakukan para amatiran. Terbukti
tembakan mereka yang tidak mematikan dan ledakan bom yang malah membunuh
mereka dibandingkan orang lain. Informasi bom meledak di Slipi, Cikini, dan
Palmerah untuk menganalogikan dengan Paris ternyata hoax.
Kedua, peneror mencoba
menyerang simbol-simbol Amerika Serikat. Kesimpulan ini juga terlalu
prematur, apakah Starbucks cukup kuat merepresentasikan AS? Di situ ada
Burger King, KFC, dan McDonald’s yang lebih kuat simbol kapitalisme Amerikanya. Bahkan Kedutaan Besar AS atau
Kantor Perwakilan PBB di sekitar itu lebih kuat sebagai jantung dan darah AS
dan sekutunya. Salah satu pelaku, Afif, menggunakan topi Nike, bercelana
jins, dan bersepatu kets, tipikal fashion anak muda Amerika. Pesan semiotis anti
AS mana yang mau dijelaskan?
Ketiga,
kesewenang-wenangan pemilihan tempat. Gedung Sarinah sesungguhnya sama sekali
tidak relevan dengan sejarah kapitalisme AS. Nama Sarinah diambil dari
pengasuh Presiden Soekarno, didirikan pada 17 Agustus 1962 dari pampasan
perang Jepang. Pesan semiotisnya, ekonomi Indonesia mampu berdikari tanpa
bantuan Barat. Soekarno termasuk tokoh ”anti Nekolim” dan pengkritik AS.
Keempat, bom ini
didalangi oleh Bahrun Naim. Padahal, sebelumnya muara kesimpulan mengarah ke
Aman Aburrahman yang sedang dipenjara di Nusakambangan. Bahkan satu jam
thriller muncul di televisi, beberapa pengamat teroris hakul yakin otaknya
adalah kelompok teroris Poso, Santoso.
Secara linguistik,
kesimpulan ini berada dalam turbulensi wacana transit, hadir dari proses
simulacra ketika teks riilnya masih tersembunyi entah di mana. Wacana itu
dihadirkan untuk menenangkan publik yang berhasrat pada kebenaran, tetapi
tontonan telah usai. Roland Barthes (dalam Jonathan Culler, 2003: 105)
menyebutkan, wacana seperti itu hadir untuk ”beristirahat karena kelelahan” (respireer À vos pieds).
Dalam tradisi
kritisisme lama—dan negara masih menggunakannya—hal itu diterima begitu saja
(taken for granted). Namun, dalam
situasi supra-informasi seperti saat ini, publik tentu memiliki alternatif
untuk membaca yang terlihat dan tersirat, menilai apa yang dikatakan pejabat
publik melalui pilihan kata dan gesturnya, kelantangan atau kegugupannya
ketika menyampaikan situasi ini.
Kelima, teror Thamrin
gagal mengonotasikan pesan. Alih-alih menjadi takut, masyarakat sekitar malah
menjadikannya tontonan gratis. Dua jam setelah kejadian, penjual sate, tukang
kopi keliling, dan penjual kacang rebus mendapatkan ”berkah” dari ekses teror
itu. Parole ”bom” dan langue ”ketakutan” gagal menjadi
wacana, lebih banyak menjadi hiburan bahkan pusat turisme dadakan.
Radikalisme Islam
Pada beberapa
bagiannya, tragedi Thamrin menjadi wacana yang tidak tegak-lurus. Sempat
muncul kesimpulan ini berhubungan dengan kelompok radikal Islam. Kesimpulan
itu bertautan dengan ”selip lidah” tokoh intelijen dua tahun lalu, bahwa
pesantren menjadi sarang perekrutan teroris.
Teks teror ini harus
menjadi jelas dan tegas (clara et
distincta) antara fakta dan tuduhan. Apakah gramatika ”semua kelompok radikal
adalah kelompok teroris”, benar? Apakah Bahrun Naim dan keluarga di Lamongan
yang menjual rumah untuk ke Suriah, kebetulan pernah mengenyam pendidikan di
Muhammadiyah, dan dengan demikian bisa disimpulkan Muhammadiyah adalah embrio
radikal-terorisme? Itu kecerobohan induktif-ekstrem untuk sebuah realitas
sosial-humaniora yang kompleks.
Pesantren di NU, baik
terpadu dan salafiah, adalah penganjur Islam toleran (at-tassammuh). Pendidikan di pesantren mengajarkan Islam ”di
sini” dengan tradisi dan kebudayaan Nusantara (at-turats wa as-tsaqaafah) tanpa membabi buta mengabsorsi budaya
dan pemikiran Arab. Demikian pula Muhammadiyah. Secara historis-normatif
tujuannya mendidik umat Islam berpikir rasional dan modern, bukan
ekstrem-radikal.
Kata radikal juga
mengalami de-positioning. Dalam
KBBI kata radikal tidak pernah merujuk secara khusus pada agama. Radikal
berhubungan dengan hasrat berpikir secara prinsipiil atau sikap politik amat
keras mengubah undang-undang dan pemerintahan. Kamus Webster mengartikan
radikalisme, ”the opinions and behavior of people who favor extreme changes
especially in government: radical political ideas and behavior”.
Kata radikal dan
radikalisme secara generik berhubungan dengan pemikiran politik atau gerakan
kiri. Namun, sepanjang dua dekade kata itu mengalami ”peledakan wacana”
seolah-olah anak kandung Islam. Pada pertengahan 1990-an, Budiman Sudjatmiko,
Nezar Patria, dan Desmon J Mahesa adalah pemuda radikal yang berhasrat
mengubah ”konstitusi ala Orde Baru”. Mereka kelompok kiri, bukan religius.
Sekarang, mereka menjadi moderat, tenang, dan realistis dengan kondisi
politik nasional.
Teror Thamrin dan
teror-teror lain harus dimaknai secara kritis dan proporsional. Sebagian
besar teror—seperti kesimpulan konferensi internasional Radikalisasi dan
Deradikalisasi di Goethe Institute Jakarta, 24-26 November 2015—tidak
berhubungan dengan ideologi agama (Islam), tetapi masalah psikologi melihat
dunia. Radikalisme bersemi menjadi terorisme ketika kesumpekan politik global
turun ke konteks nasional, tanpa pernah direvisi akar masalahnya.
Makanya, konteks
gerakan deradikalisasi harus diubah, dari pendekatan ideologis-represif ala
negara kepada pendekatan psikologi dan remediasi, termasuk kepada mereka yang
mendadak menjadi ”pelaku” karena terisap oleh jaringan terorisme. Bisa jadi
sebagian besar mereka hanya korban, bukan pelaku sungguhan. Mereka terseret
situasi tak tentu dan mati tanpa tujuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar