Membaca (Lagi) Manuver Politik PKS
Firman Noor ; Peneliti Utama LIPI
|
REPUBLIKA,
12 Januari 2016
Pascasowannya pimpinan
PKS ke Presiden Jokowi Desember lalu, banyak kalangan yang mengira bahwa
partai ini telah "takluk" dan bersedia membuka peluang bekerja sama
dengan lebih sejalan dan intens lagi dengan pemerintah. Bahkan, ada pula yang
meyakini hal itu merupakan sinyal akan masuknya PKS dalam jajaran kabinet
Jokowi.
Pandangan itu sekilas
ada benarnya mengingat tengah berkembangnya wacana akan dilakukannya
reshuffle jilid II oleh Presiden dalam waktu tidak terlalu lama lagi. Setelah
itu muncullah nama-nama fungsionaris PKS yang disebarkan entah oleh siapa
yang digadang masuk dalam jajaran kabinet baru Jokowi, semisal Al Muzammil
Yusuf untuk jaksa agung/menkumham, Taufik Ridho untuk menkominfo/menpora atau
Zulkieflimansyah untuk menteri perindustrian/BUMN.
Publik kemudian
semakin yakin akan kejinakan PKS setelah ada rencana mencopot Fahri Hamzah
dari posisi wakil ketua DPR. Di tengah berbagai dugaan dan asumsi itu, belum
lama ini Wakil Ketua Majelis Syura PKS Hidayat Nur Wahid menegaskan bahwa PKS
tetap akan dalam posisi oposisi loyal, tidak berorientasi masuk kabinet, dan
tetap di dalam Koalisi Merah Putih (KMP).
Sikap PKS yang
disuarakan oleh Hidayat itu merupakan hal biasa dan normal saja bagi partai
ini. Dilihat dari catatan sejarahnya, berada di luar pemerintahan dan
berkarakter oposisi sudah merupakan bagian dari partai ini.
Jika dirunut ke
belakang, embrio partai ini telah ada pada awal tahun 1980-an, sebagian malah
mengatakan sejak pertengahan akhir 1970-an, saat partai ini masih dalam rahim
sebuah gerakan yang kemudian dikenal umum sebagai gerakan Tarbiyah.
Dalam masa-masa itu,
yang dalam perspektif gerakan dikenal sebagai masa pembentukan kesadaran
individual (mihwar tanzimi). Gerakan ini bergerak di tataran masyarakat
dengan amat hati-hati mengingat keberadaan rezim Orde Baru yang masih
menganut fobia terhadap Islam politik. Rezim tak segan memberangus kalangan
yang dilabel sebagai ekstrem kanan dengan keras.
Beberapa ulama,
misalnya, masuk hotel prodeo hanya karena menyuarakan pandangan kritis
berdasarkan perspektif Islam. Dalam nuansa itu gerakan Tarbiyah bergerak
dengan dinamis meski bersifat bawah tanah (underground). Jaringan dikembangkan dengan kekuatan sendiri
berlandaskan komitmen ideologis individu per individu.
Karakter oposan
sedemikian tertempa dengan baik mengingat baru sekitar tiga dekade kemudian
gerakan ini mendapat kesempatan untuk berkiprah di atas permukaan dalam
kancah politik. Hasilnya, tetap pembawaan untuk tidak tergiur dalam
pemerintahan dan sikap kritis khas oposisi tidak mudah tergerus. Masih kita
ingat bahwa PKS adalah partai yang menolak bergabung dalam Kabinet Megawati,
meski bersama-sama partai lain turut berperan dalam mendorong dilakukannya impeachment terhadap almarhum Presiden
Gus Dur.
Publik juga mungkin
masih ingat bagaimana partai ini "konsisten untuk tidak konsisten"
mendukung Pemerintahan SBY dengan bolak-balik melakukan otokritik terhadap
pemerintah yang didukungnya. Sehingga, banyak kalangan yang menghendaki PKS
keluar saja dari koalisi pemerintahan SBY, yang sebenarnya turut didukungnya
sejak saat putaran kedua pilpres 2004.
Saat ini posisi
politik yang diambil PKS sebenarnya jelas. Bahwa sejak awal PKS berkomitmen
mendukung Prabowo Subianto, dengan konsekuensi manakala kandidatnya kalah,
partai ini akan berkhidmat menjadi oposisi. Sikap itu sudah dirancang dan
dimantapkan menjelang pilpres 2014.
Jaringan PKS kemudian
menjadi motor yang tangguh, dan paling tangguh di antara partai-partai
pendukung Prabowo, dalam upaya memenangkan kandidatnya, meski tidak cukup
tangguh untuk melawan gugus relawan Jokowi-JK. Komitmen PKS untuk all out mengindikasikan adanya nuansa
kepentingan ideologis yang cukup kental. Tidak mengherankan jika bagi
sebagian kalangan sikap politik saat pilpres hingga kini tetap bernapaskan
ideologis.
Bagi partai seperti
PKS, persoalan ideologis adalah persoalan mendasar dan sulit ditawar. Memang
tidak sepenuhnya mampu dijalankan secara konsisten, tapi untuk mengatakan
partai ini murni pragmatis seperti partai lain pada umumnya adalah tidak juga
tepat. Setidaknya dalam konteks politik di level nasional karakter ideologis
ini coba untuk tetap dipertahankan.
Kenyataannya saat ini secara
internal partai dikendalikan oleh mereka yang ingin melakukan pemurnian
ideologi dan mencanangkan sikap untuk back to basic. Hal ini menandai adanya
perubahan aksentuasi ideologi dari pengendali partai sebelumnya yang
cenderung bersikap pragmatis dan fleksibel dalam melakukan manuver
politiknya.
Dalam nuansa ini
justru aneh jika PKS dibayangkan akan mau bekerja sama mengingat penguasa
dalam partai saat ini jauh lebih "puritan" dan terbiasa dengan
hal-hal yang tidak berbau "kesejahteraan". Peluang untuk masuk
dalam kabinet sebenarnya justru lebih terbuka pada masa kepengurusan
sebelumnya, tapi justru pada masa itu pun PKS tetap tidak tergoda untuk masuk
kabinet.
Dengan demikian,
pernyataan PKS untuk sekadar melakukan komunikasi politik secara langsung
kepada Presiden, untuk menunjukkan sikap dapat bekerja sama kepada pemerintah
sejauh menguntungkan bagi rakyat, bukanlah mengada-ada. Komunikasi politik
yang baik antara oposisi dan pemerintah semacam itu dalam negara demokratis
wajar adanya. Di sana hubungan personal dapat terawat dengan baik, meski
dalam perdebatan di parlemen baik pemerintah dan oposisi dapat saling
menyerang dengan garang.
Bagi sebagian
kalangan, sikap ini juga ditafsirkan sebagai upaya menunjukkan wajah ramah
terhadap pemerintah sebagaimana yang ditunjukkan oleh partai-partai lain.
Apalagi, sebagai sebuah partai Islam, ada semacam kewajiban moral untuk
berlaku santun, meski bagi sebagian lainnya juga dirasa tidak perlu, terutama
manakala menghadapi kemungkaran.
Sikap inilah yang tampaknya
akan dibangun oleh pengendali partai saat ini, meski hal itu tidak berarti
mencairkan komitmen ideologis yang telah dicanangkan. Pada akhirnya sekali
lagi manuver politik PKS akhir tahun menegaskan bahwa PKS mengakui dan
mendukung pemerintah dalam kapasitas sebagai oposisi. Tidak lebih dan tidak
kurang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar