”C-Suites”, Perempuan, dan Teknologi
Dian Siswarini ; CEO-XL Axiata
|
KOMPAS,
21 Januari 2016
Justin Trudeau sedang
jadi sorotan. Muda, ganteng, dan berkuasa. Dia adalah Perdana Menteri Kanada
yang baru terpilih. Namun, bagi kaum perempuan, Trudeau punya daya tarik
lebih daripada sekadar kemenangannya itu: keberpihakannya pada kesetaraan
jender.
Begitu dilantik jadi
perdana menteri dia langsung mengangkat 30 menteri, dengan 15 orang atau
separuhnya adalah perempuan. Dia benar-benar memenuhi janji kampanyenya.
Lebih menarik lagi, ayahnya, Pierre Trudeau, juga pernah menjabat sebagai
perdana menteri, dikenal sebagai pria yang flamboyan, dan dikaitkan dengan
banyak perempuan yang mengelilingi.
Sementara itu, di
Tanah Air, angin segar bertiup ketika delapan dari 34 menteri yang diangkat
di Kabinet Kerja tahun 2014 adalah perempuan. Ini rekor baru proporsi
perempuan di kabinet. Keberpihakan Presiden Joko Widodo terhadap isu
kesetaraan makin digenapi dengan menunjuk sembilan perempuan sebagai anggota
Panitia Seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Afirmasi
Angin keberpihakan
terhadap keterwakilan perempuan dalam pemerintahan yang tercatat dalam
angka-angka seperti itu tentu membanggakan. Apalagi terbukti kemudian
bahwamenteri-menteri seperti Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan
Perikanan) dan Khofifah Indar Parawansa (Menteri Sosial) justru merupakan
figur yang berkinerja baik di atas rata-rata dalam penghitungan berbagai
survei.
Hal ini memberi
konfirmasi bahwa kebijakan afirmatif untuk memberi perlakuan ”khusus”
terhadap keterlibatan perempuan dalam pemerintahan yang selama ini diminta
oleh kalangan yang peduli dibayar dengan lunas oleh para perempuan di pusaran
pemerintahan itu. Mereka membuktikan bahwa jika dibukakan jalan, maka
perempuan akan mampu menunjukkan kemampuannya, baik dalam tataran konsep
maupun eksekusi.
Kontribusi positif
juga terjadi di ranah bisnis. Malah bisa dikatakan bahwa, dalam lingkup
swasta, sumbangan kaum perempuan justru lebih signifikan.
Sebuah penelitian dari
McKinsey Global Institute awal 2015 melaporkan temuan menarik bahwa keragaman
dan keterwakilan jender pada perusahaan berkaitan dengan kinerja perusahaan.
Butir utama temuan mereka adalah, pertama, minimnya keragaman jender
berhubungan dengan besarnya potensi kinerja yang di bawah rata-rata. Ini
terjadi pada 366 sampel perusahaan di Kanada, Amerika Latin, Inggris, dan AS
yang disurvei. Kedua, ketika perusahaan berkomitmen meragamkan
kepemimpinannya secara jender, mereka lebih berhasil.
Penelitian lainnya
dibuat oleh Dow Jones dalam ”Women At The Wheel: Do Female Executives Drive
Start-Up Success?” dengan meneliti lebih dari 20.000 perusahaan yang dibiayai
oleh venture capital (sering disebut start up atau rintisan usaha) dan
167.556 orang eksekutif, 11.193 di antaranya perempuan. Hasilnya menunjukkan
bahwa perusahaan yang dibiayai oleh venture capital dengan perempuan pada
peran eksekutif lebih mungkin sukses daripada perusahaan yang hanya memasang
laki-laki pada peran eksekutif senior.
Penelitian tersebut
menemukan bahwa proporsi median keseluruhan dari eksekutif perempuan adalah
7,1 persen pada perusahaan yang sukses dan 3,1 persen pada perusahaan yang
tidak sukses. Ini menunjukkan: adalah menguntungkan secara potensial
mengaryakan lebih banyak perempuan dalam tim manajemen.
Intinya, alih-alih
membebani perusahaan dengan keharusan untuk memberikan tempat untuk
keberpihakan jender dan ras, justru peningkatan kinerja perusahaan yang
didapat. Hasil penelitian tersebut seharusnya menepis kekhawatiran dunia
selama ini akan kepemimpinan perempuan dalam kaitannya dengan produktivitas
dan kinerja. Juga akan menguatkan mereka yang masih lemah ”iman”-nya terhadap
kemampuan perempuan.
Teknologi
Pemerintah sudah
menunjukkan afirmasi dan keberpihakannya. Kalangan bisnis pun juga sudah
mulai terbangun kesadarannya dalam memberikan perlakuan jender yang adil.
Salah satu contohnya adalah Google.
Google dianggap
sebagai salah satu perusahaan yang menabuh genderang soal keragaman jender.
Mereka mulai dengan mengakui kelemahan dalam isu tersebut dalam sebuah
laporan tahunan bertajuk ”Diversity and Inclusion”. Tahun 2014 mereka
melaporkan bahwa hanya tiga karyawan perempuan untuk setiap 10 karyawan
mereka. Ras Latin hanya 3 persen dan ras Afrika-Amerika hanya 2 persen,
sementara 61 persennya adalah ras kulit putih. Jumlah karyawan mereka saat
ini sekitar 56.000 orang di seluruh dunia.
Laporan tersebut
ditindaklanjuti dengan janji Google mengalokasikan dana khusus untuk
mengatasi ketakterwakilan jender. Tak tanggung-tanggung, menurut laporan USA
Today edisi 6 Mei 2015, tahun 2015 mereka menggelontorkan 150 juta dollar AS
untuk program tersebut, setelah sebelumnya mereka menghabiskan 115 juta
dollar AS.
USA Today juga
melaporkan bahwa pernyataan tentang keragaman jender itu diikuti oleh
perusahaan besar lain, seperti Facebook, Yahoo, dan Apple. Jika kita amati,
dan sejauh saya ”googling”, perusahaan-perusahaan teknologi merupakan pelopor
keragaman jender.
Posisi puncak
Namun, sayang,
praktiknya secara umum tak seindah yang terjadi pada perusahaan-perusahaan
itu. Baru-baru ini Sheryl Sandberg, COO Facebook, mengekspresikan
keprihatinannya atas kemajuan inisiatif keragaman jender ”Andai NASA mengirim
seorang perempuan ke luar angkasa, dia bisa melewati Mars, lanjut ke Pluto,
dan bolak-balik kembali ke Bumi sampai 10 kali sebelum kaumnya menduduki
setengah dari jumlah jabatan C-suite yang ada,” tulisnya di Wall Street
Journal. C-Suites adalah posisi-posisi manajemen puncak yang biasanya diawali
dengan huruf C untuk Chief, seperti CEO, CIO, COO, dan CTO,.
Kecaman itu
disampaikannya merespons hasil penelitian lembaga Lean In miliknya (bekerja
sama dengan McKinsey Company) bertajuk Women in the Workplace 2015 yang
merupakan penelitian atas 118 perusahaan dan hampir 30.000 karyawan di AS.
Penelitian itu mengungkapkan bahwa pada level C-Suites angka keterwakilan
perempuan hanya beranjak 1 persen sepanjang 2012 sampai 2015, dari 16 persen
jadi hanya 17 persen.
Sheryl Sandberg
sendirimerupakan satu dari segelintir perempuan dalam lingkaran C-Suites di
dunia. Namanya biasanya disandingkan dengansrikandi-srikandi teknologi
lainnya, seperti Meg Whitman(CEO Hewlett-Packard),Susan Wojcicki (Senior Vice
President Google), Marissa Mayer (CEO Yahoo), Ginni Rometty (CEO, Chairman, dan
President IBM), serta Safra Catz (Co-CEO Oracle).
Jendela di ruang domestik
Memang, bahkan di
negara seliberal AS, afirmasi dan pengarusutamaan jender dalam masyarakat
masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.
Di Indonesia, sebagai
salah satu perempuan pelaku yang mengemban amanah berkarya di jajaran
C-Suites itu, saya bisa bersaksi tentang kemampuan perempuan yang tak kalah
bahkan dalam bidang yang sering dianggap maskulin. Percayakah Anda bahwa dari
beberapa grup pelatihan untuk mendapatkan lisensi panjat menara BTS (base
tranceiver station) yang diadakan perusahaan yang kini saya pimpin, sering
kali justru peserta perempuan-lah yang terbaik? Sebagai engineer, tak ada
perkecualian bagi mereka dan saya untuk tak melewati fase panjat-memanjat
menara (selain juga pada saat yang sama memanjat karier dari bawah).
Berbekal secuil
pengalaman itu, yang untungnya tak banyak bedanya dengan berbagai penelitian
menyangkut kesetaraan kemampuan dan gap keterwakilan jender, saya cenderung
menyemangati kedua ranah sekaligus, yaitu publik dan seluruh perempuan di
Indonesia.
Sektor publik perlu
terus disemangati agar memberi perhatian khusus pada keterwakilan jender di
institusi masing-masing. Pernyataan dan inisiatif perusahaan global, seperti
Facebook dan Google patut jadi inspirasi untuk bersikap dan bertindak.
Pemerintahan harus didukung untuk terus mengadopsi gagasan pengarusutamaan
jender melalui kebijakan dan penganggaran, agar implementasinya merata, bukan
hanya di kota-kota besar.
Kaum perempuan sendiri
perlu didorong mengeluarkan potensinya melampaui konstruksi jender yang ada
di sekitar mereka saat ini. Sebagai orang yang berkecimpung di dunia
teknologi informasi, secara khusus saya menyarankan agar memanfaatkan
kesempatan akses dan peningkatan keterampilan yang disediakan teknologi
tersebut.
Teknologi informasi,
khususnya internet, adalah salah satu sarana paling jitu bagi perempuan untuk
meningkatkan kapasitas dan produktivitas diri. Manfaat internet terbaik
adalah memberikan kesetaraan kepada setiap insan, kesetaraan untuk mengakses
kesempatan berkreasi. Teknologi ini bak jendela yang membuka khazanah publik
hadir tepat di depan ruang domestik yang selama ini identik dengan perempuan.
Namun, jangan justru terlena karena ”jendela” itu juga menyediakan kemudahan
menghibur diri sepanjang hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar