Jumat, 22 Januari 2016

”C-Suites”, Perempuan, dan Teknologi

”C-Suites”, Perempuan, dan Teknologi

Dian Siswarini  ;   CEO-XL Axiata
                                                       KOMPAS, 21 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Justin Trudeau sedang jadi sorotan. Muda, ganteng, dan berkuasa. Dia adalah Perdana Menteri Kanada yang baru terpilih. Namun, bagi kaum perempuan, Trudeau punya daya tarik lebih daripada sekadar kemenangannya itu: keberpihakannya pada kesetaraan jender.

Begitu dilantik jadi perdana menteri dia langsung mengangkat 30 menteri, dengan 15 orang atau separuhnya adalah perempuan. Dia benar-benar memenuhi janji kampanyenya. Lebih menarik lagi, ayahnya, Pierre Trudeau, juga pernah menjabat sebagai perdana menteri, dikenal sebagai pria yang flamboyan, dan dikaitkan dengan banyak perempuan yang mengelilingi.

Sementara itu, di Tanah Air, angin segar bertiup ketika delapan dari 34 menteri yang diangkat di Kabinet Kerja tahun 2014 adalah perempuan. Ini rekor baru proporsi perempuan di kabinet. Keberpihakan Presiden Joko Widodo terhadap isu kesetaraan makin digenapi dengan menunjuk sembilan perempuan sebagai anggota Panitia Seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi.

Afirmasi

Angin keberpihakan terhadap keterwakilan perempuan dalam pemerintahan yang tercatat dalam angka-angka seperti itu tentu membanggakan. Apalagi terbukti kemudian bahwamenteri-menteri seperti Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan) dan Khofifah Indar Parawansa (Menteri Sosial) justru merupakan figur yang berkinerja baik di atas rata-rata dalam penghitungan berbagai survei.

Hal ini memberi konfirmasi bahwa kebijakan afirmatif untuk memberi perlakuan ”khusus” terhadap keterlibatan perempuan dalam pemerintahan yang selama ini diminta oleh kalangan yang peduli dibayar dengan lunas oleh para perempuan di pusaran pemerintahan itu. Mereka membuktikan bahwa jika dibukakan jalan, maka perempuan akan mampu menunjukkan kemampuannya, baik dalam tataran konsep maupun eksekusi.

Kontribusi positif juga terjadi di ranah bisnis. Malah bisa dikatakan bahwa, dalam lingkup swasta, sumbangan kaum perempuan justru lebih signifikan.

Sebuah penelitian dari McKinsey Global Institute awal 2015 melaporkan temuan menarik bahwa keragaman dan keterwakilan jender pada perusahaan berkaitan dengan kinerja perusahaan. Butir utama temuan mereka adalah, pertama, minimnya keragaman jender berhubungan dengan besarnya potensi kinerja yang di bawah rata-rata. Ini terjadi pada 366 sampel perusahaan di Kanada, Amerika Latin, Inggris, dan AS yang disurvei. Kedua, ketika perusahaan berkomitmen meragamkan kepemimpinannya secara jender, mereka lebih berhasil.

Penelitian lainnya dibuat oleh Dow Jones dalam ”Women At The Wheel: Do Female Executives Drive Start-Up Success?” dengan meneliti lebih dari 20.000 perusahaan yang dibiayai oleh venture capital (sering disebut start up atau rintisan usaha) dan 167.556 orang eksekutif, 11.193 di antaranya perempuan. Hasilnya menunjukkan bahwa perusahaan yang dibiayai oleh venture capital dengan perempuan pada peran eksekutif lebih mungkin sukses daripada perusahaan yang hanya memasang laki-laki pada peran eksekutif senior.

Penelitian tersebut menemukan bahwa proporsi median keseluruhan dari eksekutif perempuan adalah 7,1 persen pada perusahaan yang sukses dan 3,1 persen pada perusahaan yang tidak sukses. Ini menunjukkan: adalah menguntungkan secara potensial mengaryakan lebih banyak perempuan dalam tim manajemen.

Intinya, alih-alih membebani perusahaan dengan keharusan untuk memberikan tempat untuk keberpihakan jender dan ras, justru peningkatan kinerja perusahaan yang didapat. Hasil penelitian tersebut seharusnya menepis kekhawatiran dunia selama ini akan kepemimpinan perempuan dalam kaitannya dengan produktivitas dan kinerja. Juga akan menguatkan mereka yang masih lemah ”iman”-nya terhadap kemampuan perempuan.

Teknologi

Pemerintah sudah menunjukkan afirmasi dan keberpihakannya. Kalangan bisnis pun juga sudah mulai terbangun kesadarannya dalam memberikan perlakuan jender yang adil. Salah satu contohnya adalah Google.

Google dianggap sebagai salah satu perusahaan yang menabuh genderang soal keragaman jender. Mereka mulai dengan mengakui kelemahan dalam isu tersebut dalam sebuah laporan tahunan bertajuk ”Diversity and Inclusion”. Tahun 2014 mereka melaporkan bahwa hanya tiga karyawan perempuan untuk setiap 10 karyawan mereka. Ras Latin hanya 3 persen dan ras Afrika-Amerika hanya 2 persen, sementara 61 persennya adalah ras kulit putih. Jumlah karyawan mereka saat ini sekitar 56.000 orang di seluruh dunia.

Laporan tersebut ditindaklanjuti dengan janji Google mengalokasikan dana khusus untuk mengatasi ketakterwakilan jender. Tak tanggung-tanggung, menurut laporan USA Today edisi 6 Mei 2015, tahun 2015 mereka menggelontorkan 150 juta dollar AS untuk program tersebut, setelah sebelumnya mereka menghabiskan 115 juta dollar AS.

USA Today juga melaporkan bahwa pernyataan tentang keragaman jender itu diikuti oleh perusahaan besar lain, seperti Facebook, Yahoo, dan Apple. Jika kita amati, dan sejauh saya ”googling”, perusahaan-perusahaan teknologi merupakan pelopor keragaman jender.

Posisi puncak

Namun, sayang, praktiknya secara umum tak seindah yang terjadi pada perusahaan-perusahaan itu. Baru-baru ini Sheryl Sandberg, COO Facebook, mengekspresikan keprihatinannya atas kemajuan inisiatif keragaman jender ”Andai NASA mengirim seorang perempuan ke luar angkasa, dia bisa melewati Mars, lanjut ke Pluto, dan bolak-balik kembali ke Bumi sampai 10 kali sebelum kaumnya menduduki setengah dari jumlah jabatan C-suite yang ada,” tulisnya di Wall Street Journal. C-Suites adalah posisi-posisi manajemen puncak yang biasanya diawali dengan huruf C untuk Chief, seperti CEO, CIO, COO, dan CTO,.

Kecaman itu disampaikannya merespons hasil penelitian lembaga Lean In miliknya (bekerja sama dengan McKinsey Company) bertajuk Women in the Workplace 2015 yang merupakan penelitian atas 118 perusahaan dan hampir 30.000 karyawan di AS. Penelitian itu mengungkapkan bahwa pada level C-Suites angka keterwakilan perempuan hanya beranjak 1 persen sepanjang 2012 sampai 2015, dari 16 persen jadi hanya 17 persen.

Sheryl Sandberg sendirimerupakan satu dari segelintir perempuan dalam lingkaran C-Suites di dunia. Namanya biasanya disandingkan dengansrikandi-srikandi teknologi lainnya, seperti Meg Whitman(CEO Hewlett-Packard),Susan Wojcicki (Senior Vice President Google), Marissa Mayer (CEO Yahoo), Ginni Rometty (CEO, Chairman, dan President IBM), serta Safra Catz (Co-CEO Oracle).

Jendela di ruang domestik

Memang, bahkan di negara seliberal AS, afirmasi dan pengarusutamaan jender dalam masyarakat masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.

Di Indonesia, sebagai salah satu perempuan pelaku yang mengemban amanah berkarya di jajaran C-Suites itu, saya bisa bersaksi tentang kemampuan perempuan yang tak kalah bahkan dalam bidang yang sering dianggap maskulin. Percayakah Anda bahwa dari beberapa grup pelatihan untuk mendapatkan lisensi panjat menara BTS (base tranceiver station) yang diadakan perusahaan yang kini saya pimpin, sering kali justru peserta perempuan-lah yang terbaik? Sebagai engineer, tak ada perkecualian bagi mereka dan saya untuk tak melewati fase panjat-memanjat menara (selain juga pada saat yang sama memanjat karier dari bawah).

Berbekal secuil pengalaman itu, yang untungnya tak banyak bedanya dengan berbagai penelitian menyangkut kesetaraan kemampuan dan gap keterwakilan jender, saya cenderung menyemangati kedua ranah sekaligus, yaitu publik dan seluruh perempuan di Indonesia.

Sektor publik perlu terus disemangati agar memberi perhatian khusus pada keterwakilan jender di institusi masing-masing. Pernyataan dan inisiatif perusahaan global, seperti Facebook dan Google patut jadi inspirasi untuk bersikap dan bertindak. Pemerintahan harus didukung untuk terus mengadopsi gagasan pengarusutamaan jender melalui kebijakan dan penganggaran, agar implementasinya merata, bukan hanya di kota-kota besar.

Kaum perempuan sendiri perlu didorong mengeluarkan potensinya melampaui konstruksi jender yang ada di sekitar mereka saat ini. Sebagai orang yang berkecimpung di dunia teknologi informasi, secara khusus saya menyarankan agar memanfaatkan kesempatan akses dan peningkatan keterampilan yang disediakan teknologi tersebut.

Teknologi informasi, khususnya internet, adalah salah satu sarana paling jitu bagi perempuan untuk meningkatkan kapasitas dan produktivitas diri. Manfaat internet terbaik adalah memberikan kesetaraan kepada setiap insan, kesetaraan untuk mengakses kesempatan berkreasi. Teknologi ini bak jendela yang membuka khazanah publik hadir tepat di depan ruang domestik yang selama ini identik dengan perempuan. Namun, jangan justru terlena karena ”jendela” itu juga menyediakan kemudahan menghibur diri sepanjang hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar