Benci
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo
|
TEMPO.CO,
11 Januari 2016
"Luapkan kemarahanmu. Hanya kebencianmu yang dapat
menghancurkan aku." —Darth
Vader kepada Luke Skywalker, dalam satu adegan duel dalam Return of the Jedi
Kebencian
adalah kekuatan. Kemarahan adalah tenaga. Darth Vader memahami ini. Dan
mungkin juga para perumus kata dan tindakan politik sejak abad ke-20: dari
Hitler sampai dengan Donald Trump, dari Stalin sampai dengan IS, dari Ku Klux
Klan sampai dengan Pol Pot, dari Pengawal Merah sampai dengan FPI. Mereka
kobarkan rasa marah, mereka sebar-luaskan rasa benci, dan kemudian mereka
jadikan keduanya "ideologi"—dan sejak itu entah berapa kemenangan
dirayakan dan berapa juta mayat bergelimpangan.
Kemarahan,
kebencian, kekerasan—masing-masing berbeda dan tak senantiasa punya hubungan
sebab-akibat. Tapi betapa sering kita menyaksikan ketiganya bertaut, baik
dalam sejarah maupun dalam imajinasi.
Di Indonesia
kita berkali-kali menemukan itu. Sebelum "Revolusi Sosial" di
Sumatera Timur pada 1946, sebelum "pemberantasan G-30-S/PKI" pada
1965, dalam Babad Tanah Jawi bisa kita baca bagaimana Sultan Amangkurat II
memperlakukan Trunajaya, pemberontak yang pernah jadi sekutunya dan kemudian
dikhianatinya itu. Sang sultan muda menerima sang pemberontak yang kalah di
istananya dengan sangat ramah—seakan-akan ia tak punya dendam dan benci. Tapi
segera setelah sang tamu menyambut salamnya, ia perintahkan para bupati yang
berkumpul di balairung menghunus keris mereka. Trunajaya pun ramai-ramai
ditikam. Tubuhnya hancur. Sultan memerintahkan agar bagian hatinya
dipotong-potong, untuk dibagikan kepada para bupati yang harus mengunyah dan
menelannya di situ juga. Kemudian kepala Trunajaya dipisahkan dari lehernya dan
diletakkan sebagai alas kaki di depan pintu, agar tiap orang yang
keluar-masuk menginjak bagian jasad yang bergelimang darah dan berbau anyir
itu.
Mungkin kita
perlu melihat diri sendiri di cermin dengan lebih lengkap—termasuk melihat
adegan itu sebagai bagian lanskap hidup kita. Kita punya narsisisme yang
sering jadi mithos dan filsafat. Dalam Serat Dewa Ruci dikisahkan bagaimana
Bhima menemui dewa yang misterius itu dan mendapat ajaran bahwa manusia
tinitah luwih, ditakdirkan jadi makhluk yang unggul. Tapi kemudian kita
menyaksikan, dalam Bharatayudha, perang perebutan takhta dan pembalasan
dendam itu, bagaimana sang kesatria membunuh Dursasana: ia minum darah
korbannya, lalu ia beri kesempatan Drupadi, perempuan para Pandawa itu,
mencuci rambutnya dengan darah segar itu.
Tampaknya di
sana hendak diperlihatkan, "makhluk yang unggul" tak terpisahkan
dari kebinatangan: humanisme hanyalah bentuk lain cinta diri sendiri. Selalu
ada dalih untuk kekejian: kita memaklumi mengapa Bhima dan Drupadi begitu
buas. Babad Tanah Jawi tak mengecam apa yang terjadi pada Trunajaya.
Bisa
dimengerti mengapa humanisme kemudian digugat. Dan bukan tanpa alasan. Sampai
jam ini, pembunuhan dan kebuasan tak juga usai setelah ribuan tahun
berlangsung.
Violence, the bloody sire of all the
world's value
Kata-kata
Robinson Jeffers dalam sajak dari tahun 1940 ini, setelah Perang Dunia I,
mengandung nada sarkastis—dengan rasa kecewa kepada manusia sebagai sumber
sejarah. Maka sang penyair yang meninggalkan kota dan membangun sendiri rumah
terpencil di pantai dekat Carmel, California, itu memilih:
We must unhumanize our views a little, and become confident
As the rock and ocean that we were made from.
"Menidak-manusiawi-kan
pandangan kita", bagi sang penyair, justru memperkuat kita: kita bisa
percaya diri sebagaimana batu karang dan lautan dari mana kita terjadi.
Tapi
"animisme" seperti ini tak akan didengar. Sejak manusia merasa
dipilih Tuhan. Apa beda mendasar Yoshua dan amarah Tuhan yang membantai semua
penduduk Kota Yerikho dalam Perjanjian Lama dengan pasukan IS yang
menyembelih tawanan mereka dengan kebencian yang diperam? Tidak ada.
Saya ingat
yang dikatakan Vaclav Havel dalam sebuah simposium tentang "anatomi
kebencian" di Oslo, akhir Agustus 1990: bagi seorang pembenci,
"Kebencian lebih penting ketimbang sasarannya." Ia tak membenci
seseorang tertentu, melainkan apa yang ia anggap diwakili orang itu: jalinan
hambatan untuk mencapai apa yang mutlak, "pengakuan mutlak, kekuasaan
mutlak, persamaan diri secara mutlak dengan Tuhan, kebenaran, dan ketertiban
dunia".
Tapi benci tak bisa sendiri.
Darth Vader ingin agar Luke Skywalker membenci, menghancurkan, dan kuat.
Untuk berkuasa. Tapi ia gagal. Dalam Return of the Jedi, yang menang dalam
pergulatan hati itu adalah sesuatu yang juga kuno tapi sering terselip: kasih
sayang, empati, juga pada momen yang paling mustahil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar