Rabu, 13 Januari 2016

Monyet

Monyet

Putu Setia   ;  Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                     TEMPO.CO, 08 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TAHUN 2016 dalam kalender Cina disebut Tahun Monyet. Masih ditambah "api" sehingga lengkapnya menjadi Monyet Api. Perwatakan tahun ini—harus disebutkan konon—melambangkan jiwa yang gesit dan tak terduga.

Monyet api tak bisa dikaitkan dengan Hanoman, kera perkasa pengikut Rama dalam kisah Ramayana. Hanoman memang gesit dan lewat ekornya, yang sengaja dibakar, ia menghanguskan Kota Alengka. Ribuan tahun kemudian, jika Ramayana dianggap bukan sekadar dongeng, kita saksikan Alengka menjadi kota modern bernama Sri Lanka.

Apakah membakar kota bukan perbuatan jahat, karena kota bisa dibangun lebih dahsyat lagi? Saya sulit mewawancarai Hanoman. Tapi mungkin ini yang menginspirasi hakim Parlas Nababan di Pengadilan Negeri Palembang yang membebaskan pengusaha pembakar hutan dengan alasan "bakar hutan tak merusak lingkungan karena hutan masih bisa ditanami".

Keputusan hakim haruslah dihormati. Jika dicela, apalagi sampai menyinggung masalah pribadi, bisa berurusan dengan Bareskrim Polisi. Namun jangan berharap rumah Pak Hakim boleh dibakar karena toh bisa dibangun lagi. Kekesalan pun tak boleh dilakukan dengan menghujat, misalnya mengumpat Yang Mulia Parlas dengan "monyet, lu". Saya sering mendengar umpatan itu dari seseorang yang kesal. Monyet, selain perlambang kegesitan, memang sering dijadikan perlambang buruk.

Kegesitan monyet dan langkah tak terduganya sudah merasuki manusia di bumi. Tak usah jauh mencari contoh. Sebut saja Setya Novanto, tokoh tergesit di negeri ini. Ia bebas dari hukuman Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) karena gesit bak monyet. Di saat ia mencium anggota MKD akan menghukumnya, ia meminta pendukungnya di MKD memberikan vonis berat. Dengan vonis itu, kasus pun akan berlama-lama karena harus ada "hakim panel". Tapi itu juga meleset. Takut ada voting di MKD, Novanto segera membuat surat pengunduran diri sebagai Ketua DPR. Dengan dalih "sudah mundur", pimpinan MKD pun memutuskan tak perlu lagi ada sidang.

Si gesit Novanto secara tak terduga ditunjuk menjadi Ketua Fraksi Golkar. Sidang paripurna DPR 11 Januari nanti akan memutuskan apakah Novanto sah sebagai Ketua Fraksi atau tidak. Namun Novanto tak peduli, belum sah sebagai ketua fraksi, ia merombak pimpinan fraksi. Juga mengangkat wakil pemimpin MKD menjadi Ketua Banggar DPR—jabatan teramat basah.

Di mana ada orang segesit Setya Novanto, belum sah menjadi ketua fraksi sudah merombak fraksi dengan tanda tangannya sendiri? Apalagi di saat Partai Golkar tinggal badan hukumnya, sementara pengurus partai dianggap kosong karena masih merengek meminta pengesahan pemerintah. Bukankah ajaib? Inilah perwatakan Tahun Monyet, gesit dan tak terduga. Namun mari hindari umpatan "dasar monyet, lu".

Oh ya, Tahun Monyet Api belum saatnya. Itu baru saat Imlek, 8 Februari nanti. Bahwa perwatakannya sudah mendahului, itu hal lumrah. Reshuffle kabinet, yang baru "tahap sinyal" dengan bergabungnya Partai Amanat Nasional ke Presiden Jokowi, juga didahului berbagai manuver. Ada menteri yang teganya menilai kinerja kementerian tetangga dengan nilai rendah, sementara kementeriannya sendiri bernilai tinggi. Ini pun kegesitan yang "membakar", sampai Presiden Jokowi berujar: "Yang menilai menteri itu presiden, ini prinsip."

Ada yang bilang menteri yang gesit itu melanggar etika. Saya tak setuju. Alasannya, kalau dianggap melanggar etika, larinya membentuk MKM (Mahkamah Kehormatan Menteri) dan buntutnya semakin banyak ada Yang Mulia. Ini saya tak mau. Biarlah sebutan Yang Mulia hanya untuk Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar