Monyet
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
08 Januari 2016
TAHUN 2016
dalam kalender Cina disebut Tahun Monyet. Masih ditambah "api"
sehingga lengkapnya menjadi Monyet Api. Perwatakan tahun ini—harus disebutkan
konon—melambangkan jiwa yang gesit dan tak terduga.
Monyet api tak
bisa dikaitkan dengan Hanoman, kera perkasa pengikut Rama dalam kisah
Ramayana. Hanoman memang gesit dan lewat ekornya, yang sengaja dibakar, ia
menghanguskan Kota Alengka. Ribuan tahun kemudian, jika Ramayana dianggap
bukan sekadar dongeng, kita saksikan Alengka menjadi kota modern bernama Sri
Lanka.
Apakah
membakar kota bukan perbuatan jahat, karena kota bisa dibangun lebih dahsyat
lagi? Saya sulit mewawancarai Hanoman. Tapi mungkin ini yang menginspirasi
hakim Parlas Nababan di Pengadilan Negeri Palembang yang membebaskan
pengusaha pembakar hutan dengan alasan "bakar hutan tak merusak
lingkungan karena hutan masih bisa ditanami".
Keputusan
hakim haruslah dihormati. Jika dicela, apalagi sampai menyinggung masalah
pribadi, bisa berurusan dengan Bareskrim Polisi. Namun jangan berharap rumah
Pak Hakim boleh dibakar karena toh bisa dibangun lagi. Kekesalan pun tak
boleh dilakukan dengan menghujat, misalnya mengumpat Yang Mulia Parlas dengan
"monyet, lu". Saya sering mendengar umpatan itu dari seseorang yang
kesal. Monyet, selain perlambang kegesitan, memang sering dijadikan
perlambang buruk.
Kegesitan
monyet dan langkah tak terduganya sudah merasuki manusia di bumi. Tak usah
jauh mencari contoh. Sebut saja Setya Novanto, tokoh tergesit di negeri ini.
Ia bebas dari hukuman Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) karena gesit bak
monyet. Di saat ia mencium anggota MKD akan menghukumnya, ia meminta
pendukungnya di MKD memberikan vonis berat. Dengan vonis itu, kasus pun akan
berlama-lama karena harus ada "hakim panel". Tapi itu juga meleset.
Takut ada voting di MKD, Novanto segera membuat surat pengunduran diri
sebagai Ketua DPR. Dengan dalih "sudah mundur", pimpinan MKD pun
memutuskan tak perlu lagi ada sidang.
Si gesit
Novanto secara tak terduga ditunjuk menjadi Ketua Fraksi Golkar. Sidang
paripurna DPR 11 Januari nanti akan memutuskan apakah Novanto sah sebagai
Ketua Fraksi atau tidak. Namun Novanto tak peduli, belum sah sebagai ketua
fraksi, ia merombak pimpinan fraksi. Juga mengangkat wakil pemimpin MKD
menjadi Ketua Banggar DPR—jabatan teramat basah.
Di mana ada
orang segesit Setya Novanto, belum sah menjadi ketua fraksi sudah merombak
fraksi dengan tanda tangannya sendiri? Apalagi di saat Partai Golkar tinggal
badan hukumnya, sementara pengurus partai dianggap kosong karena masih
merengek meminta pengesahan pemerintah. Bukankah ajaib? Inilah perwatakan
Tahun Monyet, gesit dan tak terduga. Namun mari hindari umpatan "dasar
monyet, lu".
Oh ya, Tahun
Monyet Api belum saatnya. Itu baru saat Imlek, 8 Februari nanti. Bahwa
perwatakannya sudah mendahului, itu hal lumrah. Reshuffle kabinet, yang baru
"tahap sinyal" dengan bergabungnya Partai Amanat Nasional ke
Presiden Jokowi, juga didahului berbagai manuver. Ada menteri yang teganya
menilai kinerja kementerian tetangga dengan nilai rendah, sementara
kementeriannya sendiri bernilai tinggi. Ini pun kegesitan yang
"membakar", sampai Presiden Jokowi berujar: "Yang menilai
menteri itu presiden, ini prinsip."
Ada yang bilang menteri yang
gesit itu melanggar etika. Saya tak setuju. Alasannya, kalau dianggap
melanggar etika, larinya membentuk MKM (Mahkamah Kehormatan Menteri) dan
buntutnya semakin banyak ada Yang Mulia. Ini saya tak mau. Biarlah sebutan
Yang Mulia hanya untuk Tuhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar