Parpol
Jangan Terbelah
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45,
Makassar
|
KORAN
SINDO, 30 Desember 2014
Konflik
internal dua partai politik besar belakangan ini menjadi ukuran bahwa di
negeri ini belum sepenuhnya dewasa dalam membangun demokrasi. Dua partai
tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya
(Golkar) yang sebetulnya bisa disebut “partai senior” karena merupakan partai
yang sudah eksis sejak Orde Baru.
Seharusnya
mereka lebih matang dalam menata organisasi dan pergantian kepemimpinan,
bukan malah terjebak pada permainan dan kepentingan kelompok. Salah satu
penyebab kedua partai itu berkonflik lantaran terjebak antara mendukung atau
tidak mendukung pemerintahan baru.
Dua
kelompok elite parpol saling mengklaim kebenarannya sendiri untuk
memperebutkan Ketua Umum dengan beragam kepentingan. Jika dilihat perjalanan
sejarahnya, PPP dan Golkar punya prestasi di saat Orde Baru. PPP berhasil
dengan posisinya yang selalu di luar pemerintahan, meski beberapa kali ada
kadernya dijadikan menteri oleh penguasa Orde Baru. Sedangkan Golkar begitu
kokoh menjadi pendukung pemerintah (the ruling party) selama hampir 32 tahun.
Tetapi
kisruh internal kali ini malah dibelah oleh keinginan untuk masuk dalam
jajaran koalisi partai pemerintah di bawah kendali Koalisi Indonesia Hebat
(KIH). Kelompok lainnya bertekad di luar kekuasaan di bawah Koalisi Merah
Putih (KMP). Wajar jika ada tudingan pemerintahan Jokowi-JK punya andil dari
terbelahnya soliditas partai yang sejak awal mendukung calon Presiden Prabowo
Subianto.
Jaga Soliditas
PPP
terbelah setelah dua kubu melakukan muktamar. Kubu Romahurmuziy (Romy)
bermuktamar di Surabaya, sedangkan kubu Suryadharma Ali memilih Jakarta
sebagai tempat muktamar dengan memilih Djan Faridz sebagai Ketua Umum.
Kepengurusan Muktamar Surabaya di bawah pimpinan Romy yang didaftarkan di
Kementerian Hukum dan HAM dinyatakan tidak boleh melakukan kegiatan, setelah
digugat di PTUN oleh kubu Djan Faridz.
Akibatnya,
tidak sedikit pengurus DPW PPP menjadi korban pemecatan dari Ketua Umum PPP
versi Muktamar Surabaya lantaran mendukung kubu Muktamar Jakarta. Bagi Golkar
yang ikut-ikutan terbelah, setelah Aburizal Bakrie (ARB) terpilih kembali
dalam musyawarah nasional (munas) di Bali, kemudian kubu Agung Laksono juga
melakukan munas tandingan di Ancol, Jakarta.
Kedua susunan pengurus DPP sudah didaftarkan di Kementerian Hukum dan
HAM, tetapi dikembalikan ke Mahkamah Partai untuk diselesaikan melalui
rekonsiliasi secara musyawarah dan mufakat, sesuai Pasal 32 Ayat (3) UU Nomor
8/2008 tentang Parpol. Pihak yang tidak menerima keputusan itu dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan negeri (Pasal 32 Ayat 2 UU Parpol).
Fenomena dualisme kepengurusan cukup menghantui sejumlah partai jelang
masa akhir jabatan tahun 2015, terutama partai yang tergabung dalam KMP.
Partai Gerindra, PAN, dan PKS harus hati-hati dari kemungkinan perpecahan
internal. Meski ketiga parpol itu punya tokoh sentral yang punya karisma
menenteramkan kader dan elite parpol dalam perbedaan pendapat, tetapi tidak
tertutup adanya celah yang bisa dimasuki orang luar untuk memecah belah
kesolidan mereka.
Gerindra ada Prabowo Subianto yang punya karisma untuk menangkal isu
mendukung pemerintah yang bisa menimbulkan perpecahan. Begitu pula PAN, ada
Amien Rais sebagaipemegang kebijakan partai, bahkan PAN punya sistem kuat
dalam pergantian kepemimpinan.
Bagi PKS yang dikenal partai kader dengan jenjang pengaderan dari
tingkat bawah sampai DPP, sehingga soliditas mereka sangat kuat dan tidak
mudah dipecah. Meski begitu, harus tetap waspada dan menjaga soliditas kader
agar tidak mudah dibenturkan. Kita ingin parpol yang kuat, sebab dualisme
kepengurusan di PPP dan Golkar jelas tidak kondusif bagi pembangunan
demokrasi ke depan.
Regenerasi
dan Kaderisasi
Salah satu yang sering disoroti pada sebagian besar parpol adalah soal
regenerasi dan kaderisasi. Pimpinan parpol selalu tidak sadar akan hal itu.
Biasanya barulah tersentak tentang pentingnya regenerasi dan kaderisasi saat
menyusun calon anggota legislatif (caleg) menjelang pemilu.
Partai kelimpungan mencari caleg untuk memenuhi ketentuan
undang-undang, sehingga banyak caleg yang dipasang tidak dikenal reputasinya.
Hanya sekadar memburu kepentingan sesaat dengan mengandalkan kemampuan
finansial dan elektabilitas belaka.
Masih kuatnya dominasi tokoh senior (tokoh tua) pada pucuk kepemimpinan
parpol, menjadi indikasi kalau parpol sedang krisis regenerasi dan
kaderisasi. Sebut saja, Megawati Soekarnoputri di PDIP, ARB di Partai Golkar,
Prabowo Subianto di Partai Gerindra, Surya Paloh di Partai Nasdem, Wiranto di
Partai Hanura, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat.
Tetapi karena tokoh itu masih dibutuhkan sebagai pemersatu yang
karismatik dan panutan kader, posisinya sangat sulit digantikan oleh kader
muda. Salah satu penyebab krisis regenerasi yang dialami sebagian besar
parpol ialah tidak adanya upaya maksimal melakukan pengaderan untuk
dipersiapkan menjadi pemimpin.
Calon pemimpin diukur melalui lamanya menjadi pengurus dan jabatan apa
yang pernah dipegang, serta mampu memengaruhi pemilik suara yang ada di
kepengurusan daerah. Bahkan ada yang bisa jadi ketua umum parpol tanpa pernah
menjadi pengurus teras, tanpa melalui jenjang pengaderan, tetapi hanya karena
punya kekuasaan dan uang. Kader muda potensial di parpol sepertinya kurang
mendapat ruang yang memadai.
Apalagi kalau berpikiran progresif untuk perubahan sesuai kehendak
rakyat, yang kadang tidak sejalan dengan kebijakan dan pemikiran elite
partai. Padahal, pemikiran kaum muda senantiasa berkumandang di balik setiap
episode penting perjalanan bangsa. Sangat beralasan apabila tiap parpol
berani mempromosikan kader muda di levelkepemimpinannasional.
Tokoh senior elite parpol diharapkan cepat menyadari hal ini betapa
urgennya keterlibatan tokoh muda dalam jajaran kepengurusan partai. Jika
parpol ingin tetap eksis dalam jangka panjang dan tidak terbelah oleh
konflik, tuntutan untuk melahirkan generasi politik muda merupakan sesuatu
yang niscaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar