Tahun
Baru Tanpa Harapan
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 29 Desember 2014
Apa
gunanya tahun baru kalau masa depan sama gelapnya dengan masa lalu? Masa
depan yang dekat gelap. Masa depan yang masih jauh dan belum kelihatan pun
kegelapannya sudah terasa.
Soalnya,
di depan sana tidak ada apa-apa yang bisa menjadi harapan bersama. Dengan
kata lain, masa depan sama saja dengan masa lalu. Semua yang terjadi pada
masa yang sudah lama lewat itu suasana gelap gulitanya, pedih, dan duka
nestapanya seperti baru terjadi kemarin. Kita tahu karena kepedihan tak
mungkin membiarkan kita lupa. Masa lalu tidak menjadi kenangan menyejukkan,
tapi merupakan trauma menakutkan.
Apa
gunanya organisasi yang bernama negara dan pemimpinpemimpin yang dipilih
dengan hati gembira kalau masa depan sama gelapnya dengan masa lalu? Apa
gunanya jaminan konstitusi kalau jaminan itu hanya merupakan selembar cek
kosong, tanpa isi, tanpa arti? Tahun lalu hanya menjadi riwayat. Dengan
catatan, di dalamnya hanya ada apa yang pedih. Tahun lalu merupakan riwayat
kepedihan.
Bagaimana
kepedihan dikenang? Mungkin kita mengenang secara khusus untuk melupakannya.
Janji-janji yang tak pernah dipenuhi, kita lupakan. Hati kita memang selebar
tujuh samudera raya, ditambah tujuh kali yang sudah ada itu. Kita melupakan
semua kesalahan masa lalu dengan jiwa besar. Jauh lebih besar dari sejuta
pohon beringin, ditambah sebanyak itu pula.
Jiwa
kita besar tak terkira. Karena begitu, masa depan berlalu dan segenap
kesalahan kita lupakan. Kita menghadap ke depan dengan harapan siapa tahu
masa depan lebih baik. Tapi, kenyataannya masa depan sama buruknya dengan
masa lalu. Para pemimpin hanya sibuk berebut kursi. Ketika kursi belum
diperoleh, kekuasaan belum di tangan, betapa indah mereka punya janji.
Tapi,
begitu masa depan itu sehari demi sehari berlalu dan tahu-tahu sudah menjadi
masa lalu, kita hanya bertemu omong kosong. Ada kalanya kita bertemu para
pemimpin yang dikirim ke penjara oleh KPK. Kita tidak tahu, apakah itu
jawaban atas cita-cita atau harapan kita? Kita berharap makmur, tapi yang
kita jumpai hanya para pencuri kemakmuran kita yang dipenjara.
Dapatlah
kita merasa makmur hanya karena pencuri-pencuri ditangkap, ditahan, dan
dipenjara? ”O, memang bukan kemakmuran yang kita jumpai, tapi keadilan.”
”Dapatkah kita merasa telah memperoleh keadilan, hanya karena para pencuri
diadili?” ”Seharusnya bisa” ”Seharusnya? Siapa yang mengharuskan? Pencuri
dihukum mungkin cermin keadilan.
Tapi, warga negara yang punya hak hidup layak, cukup sandang, cukup
papan, cukup pangan, dan rasa damai, apa berarti semuanya telah kita dapatkan
ketika seorang pencuri, atau beberapa puluh pencuri, diadili dan dihukum?”
Negara hanya sibuk mengurus dirinya sendiri. Tata negara punya aturan dan
hukumhukum yang mengatur hidup kenegaraan yang baik. Tapi, kesibukan di
bidang itu tak berarti bahwa negara atau para pejabat negara telah mengatur
kehidupan rakyat.
Dalam kesadaran para
penyelenggara negara, rakyat itu tidak ada. Bagi mereka, yang ada negara dan
aturanaturan ketatanegaraan yang ruwet itu. Selebihnya, yang ada diri mereka
sendiri. Mereka yang mengatur kemakmuran dan diri mereka sendiri yang
diutamakan. Mereka menjadi yang paling utama, tapi belum cukup. Pencurian
besar-besaran masih terus terjadi. Penyelenggara negara tak perlu merasa
malu.
Di masyarakat, terutama di kalangan masyarakat politik, kalau ada
pejabat tertangkap, dia dianggap bodoh. Di sini urusannya jelas: bodoh
berarti tidak rapi, tidak cermat, tidak hati-hati, dan ceroboh karena
meninggalkan jejak. Seharusnya mereka lebih lihai lagi. Tidak ada yang
berkata: seharusnya sudah cukup dengan gaji yang ada. Seharusnya lebih dari
cukup untuk hidup dengan kekayaan yang ada. Atau, seharusnya kita menjaga
kredibilitas moral dan keluhuran agama.
Pencurian tidak disesali karena itu salah, tapi karena pencuri yang
tertangkap itu ceroboh. Pencurian tidak ada sangkut pautnya dengan etika
bahwa pencuri menodai hak hidup orang banyak. Pencurian tak dilihat sebagai
dosa sosial, dosa politik, dosa kemanusiaan, dan dosa keagamaan. Di
masyarakat politik dan di dalam lingkungan birokrasi pencurian tidak ada
hubungannya dengan etika dan agama atau hukum.
Sekali lagi, pencurian disesali karena tidak terampil, tidak hati-hati,
dan tidak cermat. Pak Jokowi. Kita tahu Sampean itu pemimpin yang tulus,
lebih dari yang lain-lain. Tapi, tulus jangan disimpan di hati. Tulus jangan
hanya dibawa ke Tanah Suci dan di rumah-rumah suci yang Sampean kunjungi.
Tahun baru tak membawa harapan. Pejabat-pejabat baru tak menjanjikan
kebersihan diri untuk tak mencuri. Bagi mereka, mencuri salah hanya kalau
tertangkap. Kalau cermat, lihai, dan profesional, mencuri tak ada masalah.
Uang negara boleh dirampok semua. Negara boleh bangkrut, tapi pencuri harus
tak ketahuan.
Ketulusan itu ”kapital”. Pak Jokowi harus ”mengapitalisasikannya”
dengan baik dan berani. Bukankah Sampean tidak takut berjuang demi negara dan
rakyat di dalamnya supaya rakyat hidup lebih baik, lebih makmur, lebih adil?
Sampean presiden. Tugas presiden mengubah yang gelap menjadi terang.
Menciptakan suasana tanpa harapan menjadi sebaliknya. Selebihnya Pak,
orang tulus, yang apa adanya, dan tak berharap yang bukan-bukan, bisa
mengubah masa lalu yang gelap menjadi masa depan yang terang. Masa lalu tidak
sama dengan masa depan.
Masa lalu boleh gelap, tapi masa depan tidak. Pak Jokowi, jangan
biarkan tahun baru dan masa depan tanpa harapan. Tapi, jangan pula hanya
memberi harapan karena meskipun tanpa harapan itu mengecewakan, kalau harapan
sekadar harapan, itu membunuh kemanusiaan dan keadilan.? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar