Sabtu, 24 Januari 2015

Etika Penunjukan Pejabat Publik

Etika Penunjukan Pejabat Publik

Masdar Hilmy  ;   Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel
JAWA POS, 23 Januari 2015

                                                                                                                                     


TINDAKAN Jokowi mengajukan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman menuai banyak kritik dan tanggapan. Tindakan tersebut dinilai banyak pihak dapat mencederai rasa keadilan. Namun demikian, tidak banyak yang menilai tindakan Jokowi sebagai mekanisme pertahanan diri (self-defense mechanism) untuk menangkal intervensi dan hegemoni politik dari pihak-pihak tertentu yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.

Jika dirunut ke belakang, pencalonan BG sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari cerita sukses Jokowi menjadi RI-1. Sebagaimana dimaklumi, dalam dunia politik berlaku adagium ’’nothing is free lunch’’ (tidak ada yang gratis dalam dunia politik). Tentu saja naiknya Jokowi tidak bisa dilepaskan dari dukungan tim suksesnya, termasuk para petinggi parpol. Dalam konteks inilah, Jokowi berada pada posisi dilematis, antara menerima dan menolak BG yang konon diaspirasikan salah seorang petinggi parpol.

Dalam konteks ini, mungkin saja Jokowi secara pribadi tidak berkeinginan mencalonkan BG sebagai Kapolri. Dia bukan tidak tahu sama sekali rekam jejak BG dengan kepemilikan rekening gendut dan sejumlah transaksi ilegalnya. Namun, karena tekanan dari berbagai arah, dia tidak kuasa menolak pilihan yang bukan pilihannya. Dengan kata lain, pencalonan BG dapat dimaknai sebagai ’’perlawanan elegan’’ terhadap tekanan-tekanan dimaksud. Dia tahu pilihannya pasti akan menghadapi tembok tebal KPK. Artinya, dengan sadar Jokowi telah ’’mengorbankan’’ reputasinya demi idkhal al-surur (baca: menghibur) pihak-pihak yang berkepentingan.

Alhasil, Jokowi telah mengambil langkah tepat untuk menyelamatkan wibawa hukum dengan menunda pelantikan BG sebagai Kapolri. Namun demikian, Jokowi masih membutuhkan satu langkah lagi untuk melakukan penyelamatan sempurna: membatalkan pencalonan BG untuk kemudian memilih dan melantik Kapolri definitif yang tidak tersangkut kasus hukum.

Pencalonan BG menegaskan bahwa politik tidak pernah bebas dari tarik-menarik kepentingan dan intervensi ’’tangan-tangan tak tampak’’ (invisible hands). Para penyokong Jokowi di parpol merasa telah ’’berinvestasi’’ atas kemenangan Jokowi sebagai RI-1 dan sekaranglah saatnya mereka menagih janji atas jasa-jasa yang telah ditanamkan. Salah satu cara paling populer untuk menagih janji adalah ’’meminta’’ posisi tertentu di struktur pemerintahan seperti posisi menteri atau posisi di lembaga-lembaga negara lainnya.

Pada susunan Kabinet Kerja, misalnya, PDIP sebagai parpol pengusung Jokowi merasa kecewa karena hanya mendapatkan jatah empat menteri, sama dengan PKB dan Nasdem (Jawa Pos, 27 Oktober 2014). Menurut salah seorang anggota Fraksi PDIP di DPR, Tubagus Hasanudin, sebagai parpol pemenang pemilu PDIP mestinya memperoleh lebih banyak jatah menteri ketimbang dua parpol tersebut. Berdasar perolehan suara DPR pada Pemilu Legislatif 2014, PDIP meraih 109 kursi, sementara PKB ’’hanya’’ meraih 47 kursi dan Nasdem 32 kursi. Kekecewaan semacam ini bisa saja menstimulasi sejumlah elite PDIP untuk mengintervensi presiden dalam penunjukan pejabat publik.

Intervensi parpol dalam penunjukan pejabat publik mengindikasikan belum dewasanya elite parpol kita. Jabatan publik masih dimaknai sebagai bagi-bagi kekuasaan yang sebanding dengan perolehan suara di DPR. Mestinya parpol menyadari bahwa era sudah berbeda. Konsekuensinya, jabatan publik merupakan amanah yang harus ditunaikan secara bertanggung jawab dan akuntabel, bukan untuk dibagi-bagi. Pemahaman semacam ini penting bagi elite parpol mengingat posisi Kapolri bukan jabatan yang pertama dan terakhir, tetapi akan ada banyak jabatan publik lain yang proses pemilihannya melalui hak prerogatif presiden.

Dalam konteks inilah perubahan paradigmatik dalam melihat entitas politik menjadi sine qua non bagi para elite politik kita. Politik bukan lagi medan untuk meraih kekuasaan, tetapi ’’the authoritative allocation of values’’ (David Easton, 1953: 129). Artinya, politik tiada lain adalah sarana menebarkan nilai-nilai adiluhung kepada masyarakat luas melalui pos-pos yang ada di struktur pemerintahan atau kenegaraan. Yang dimaksud dengan nilai-nilai adiluhung adalah keadilan, kejujuran, kesederajatan, persamaan hak, penghargaan terhadap sesama manusia, toleransi, dan semacamnya.

Dengan memahami posisi Jokowi dalam mencalonkan BG, bukan berarti tindakan tersebut dapat dibenarkan secara etika politik. Sebelum Jokowi menempuh proses-proses pengajuan nama, harus ada mekanisme pra pencalonan yang dapat memverifikasi tingkat kelayakan nama tersebut. Artinya, pengajuan BG sebagai calon tunggal Kapolri merupakan tindakan politik yang tidak etis. Mestinya, sebelum mengusulkan BG, Jokowi mengambil langkah serupa ketika menyusun anggota Kabinet Kerja dengan mengklarifikasi rekam jejak BG kepada KPK dan PPATK. Tetapi, langkah itu tidak dilakukan Jokowi. Buntutnya, muncullah kritik dan kontroversi.

Demi memenuhi prinsip-prinsip etis, presiden semestinya perlu mempertimbangkan tiga klaster kriteria dalam setiap penunjukan pejabat publik; (1) integritas; (2) kompetensi, dan (3) loyalitas. Prinsip integritas meliputi analisis yang serius dan mendalam terhadap rekam jejak seorang calon pejabat; apakah ditemukan unsur-unsur pelanggaran hukum selama yang bersangkutan menempati posisi sebelumnya. Ini menjadi prinsip fundamental yang dapat mengalahkan prinsip kedua, kompetensi, karena keberlangsungan hidup institusi yang dipimpinnya terletak sepenuhnya di pundak sang calon.

Jika dalam analisis presiden ditemukan unsur-unsur yang melawan hukum, presiden dapat segera mengambil tindakan tegas berupa pembatalan atau pencoretan sebelum pencalonan. Yang patut disayangkan, Jokowi bukan tidak tahu sama sekali rekam jejak BG. Tetapi, mengapa dia bersikeras mencalonkannya jika yang muncul adalah kontroversi dan kritik?

Hanya ketika seorang calon pejabat publik lolos uji integritas, presiden bisa masuk ke klaster kedua, kompetensi. Pada poin ini, presiden dapat memeriksa kecakapan seorang calon pejabat publik dalam melaksanakan tugas-tugas kelembagaannya dengan melihat rekam kinerja dan prestasi yang dia punya. Artinya, kegagalan dan kekurangan yang terekam dalam pengalaman masa lalu dapat menggugurkan seorang calon pejabat publik.

Baru ketika dua klaster dapat dilalui seorang calon pejabat publik dengan baik, selanjutnya dia diuji sejauh mana tingkat loyalitasnya terhadap negara, Pancasila, dan UUD 1945. Dalam konteks ini, loyalitas harus dimaknai sebagai loyal terhadap institusi, bukan pada orang perorang. Kondisi semacam ini memungkinkan seorang pejabat publik untuk tidak menaati pimpinan jika terdapat rasionalitas yang dibenarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar