Kembalikan
Roh UU Adpem
W Riawan Tjandra ; Pengajar Hukum Administrasi Negara
FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KOMPAS,
23 Januari 2015
SETELAH lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, harapan publik sangat besar akan lahirnya budaya
administrasi baru di kalangan para pejabat administrasi pemerintahan. UU
Administrasi pemerintahan (Adpem) dalam telaah hukum administrasi negara
telah mengisi ruang kosong hukum administrasi materiil umum alias nonsektoral
yang belum pernah dimiliki selama puluhan tahun sejak negeri ini merdeka.
Selama ini, praktik birokrasi administrasi pemerintahan
lebih banyak bersandar pada UU Administrasi Sektoral yang tumbuh dan
berkembang mengikuti skema kebutuhan ”pasar pelayanan administrasi”.
Akibatnya, telah dikenal luas bahwa negeri ini telah menjelma menjadi
belantara administrasi sektoral yang tak jarang bersifat tumpang tindih atau
justru bersifat antinomi antara satu sektor dan sektor yang lain.
Keberadaan menteri koordinator yang selalu muncul dengan
jumlah bervariasi pada setiap rezim pemerintahan hanya memiliki kesahihan
melakukan koordinasi pada aras pejabat dan pada permukaan kebijakan yang
disusun oleh berbagai kewenangan sektoral. Namun, tak tuntas dalam mengonstruksi
sinkronisasi dan koordinasi pada level substansi kebijakan dan
implementasinya.
Akibatnya, eksekusi kebijakan yang sudah dibuat tak jarang
berbenturan satu dengan lain. Maka, UU Adpem mengonsiderasikan bahwa
kehadiran UU tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Meskipun kehadiran UU Adpem diyakini berkontribusi positif
meningkatkan kualitas penyelenggaraan administrasi pemerintahan untuk
melengkapi UU Peradilan Tata Usaha Negara sebagai hukum formalnya, ternyata
UU itu juga memaknai administrasi pemerintahan sekadar sebagai tata laksana
dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat
pemerintahan. Itu pun secara paradigmatik.
Padahal, mekanisme pengambilan keputusan dan/atau tindakan
administrasi pemerintahan tak sekadar melibatkan para pejabat administrasi
pemerintahan yang bekerja berdasarkan sistem karier. Sebab, yang justru
sangat berperan di dalamnya adalah para pejabat politik, baik itu menteri,
gubernur, maupun bupati/wali kota. UU Adpem belum membidik secara serius
perlunya pengaturan mengenai larangan bagi pejabat-pejabat yang dipilih dan
diangkat melalui proses politik untuk mengintervensi proses administrasi
pemerintahan yang dijalankan oleh para pejabat administrasi pemerintahan.
Keunggulan sistem administrasi pemerintahan di Jerman yang
menjadi negara rujukan dalam proses pembuatan UU Adpem adalah imunitas para
pejabat administrasi pemerintahan dalam melaksanakan otoritas administratif
dari pengaruh/tekanan eksternal di luar sistem administrasi/birokrasi
pemerintah. Tak mengherankan jika di Jerman administrasi pemerintahan
ditempatkan sebagai pilar keempat pembagian kekuasaan negara di samping
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Tak satu pun pasal dalam UU Adpem yang secara tegas
mengatur prinsip imunitas administratur pemerintahan dalam melaksanakan
fungsi pemerintahan. Di titik inilah sejatinya UU Adpem hanya akan sibuk
berkutat di ranah kewenangan administratif. UU ini gagal melaksanakan
perlindungan hukum bagi para administratur tersebut terhadap pengaruh/tekanan
eksternal yang selama ini tak jarang menyeret para birokrat dalam pusaran
politik transaksional, baik di ranah perebutan jabatan publik maupun eksekusi
kebijakan administratif.
Roh UU Adpem
sejatinya adalah merekatkan kembali kedudukan administrasi negara sebagai
pelayan masyarakat yang merupakan kodrat administrasi negara. Maka, konteks
pelaksanaan UU Adpem tak boleh dilepaskan dari konsep dasarnya untuk menopang
fungsi administrasi pemerintahan, yang dalam bahasa Latin dikenal sebagai
administrare, yaitu pelayan dan abdi masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar