Meneropong Wajah
Kemaritiman Nasional 2015
Siswanto Rusdi ; Direktur The National Maritime Institute
(NAMARIN)
|
KORAN
SINDO, 30 Desember 2014
Kita
akan meninggalkan 2014 menuju 2015. Dalam menyongsong Tahun Baru biasanya
kita melakukan kilas balik atas perjalanan yang dilakukan setahun ke belakang
sambil merencanakan apa yang akan diperbuat dalam satu tahun di hadapan.
Lalu,
bagaimanakah perjalanan bidang kemaritiman nasional selama setahun lalu? Dan,
seperti apa kira-kira wajahnya di tahun depan? Kemaritiman adalah satu bidang
yang secara umum mencakup pelayaran (shipping)
yang didukung oleh pelabuhan, galangan kapal, pelaut dan perbankan serta
asuransi yang kuat. Ada anggapan di masyarakat kita bahwa kemaritiman itu
identik dengan perikanan, pariwisata bahari, riset kelautan dan sejenisnya.
Ada juga
asumsi yang mengatakan bahwa kemaritiman adalah bagian dari kelautan, ini
dipegang oleh Dewan Kelautan Indonesia (Dekin). Jika ingin mengilas balik dan
memproyeksi bidang kemaritiman nasional, hal yang menjadi objeknya adalah
shipping dan hal-hal yang terkait dengannya. Tentu bidang kelautan juga akan
dikomentari. Adapun tolok ukurnya adalah pencapaian (achievement) dari apayangsudah direncanakan sebelumnya.
Kinerja 2014
Selama
2014 sektor kemaritiman nasional tidak banyak mengalami perkembangan yang
cukup berarti dibanding 2013. Achievement besar hampir tidak ada sepanjang
2014 karena para pelaku hanya memutar roda bisnisnya sebagaimana biasanya (business as usual).
Di
sektor pelayaran misalnya, pengusaha pelayaran sepertinya sudah merasa
berhasil dalam upaya mereka menaikkan populasi armada nasional hingga
mencapai lebih dari 13.000 unit kapal saat ini dari sebelumnya yang sedikit
di atas 6.000 kapal pada 2005. Semua ini dimungkinkan karena diberlakukannya
asas cabotage sejak 2005. Tentu
pencapaian itu patut diapresiasi.
Hanya,
setelah mampu mendongkrak jumlah kapal tidak terdengar lagi apa yang menjadi
“mainan” operator kapal yang bergabung dalam Indonesian National Shipowners Association (INSA). Memang, ada
upaya untuk menggenapkan kesuksesan penerapan asas cabotage dengan menguasai pelayaran lepas pantai. Tetapi belum
berhasil hingga akhir tahun ini.
Sementara itu, gagasan beyond
cabotage yang diklaim INSA sebagai program besar mereka setelah asas cabotage terlihat berjalan di tempat
jika tidak mau disebut tidak bergerak sama sekali. Padahal, dengan program
inilah kita sebetulnya bisa menghadapi penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) di bidang transportasi laut. Sektor kepelautan selama 2014 juga jalan
di tempat, terutama dalam hal ratifikasi Maritime
Labor Convention (MLC).
Entah apa alasannya, mengapa
peraturan internasional yang mengatur hakhak pelaut itu belum juga disahkan
oleh Indonesia. Yang jelas, INSA sudah menolak keinginan ini dengan alasan
kapal-kapal mereka belum siap. Pemerintah sebagai pihak yang paling berwenang
melakukan ratifikasi MLC tidak memberikan alasan resmi mengapa aturan
tersebut belum juga diratifikasi.
Bisa jadi, jika MLC diratifikasi, muncul efek domino di sektor-sektor
lain di luar kepelautan. Meratifikasi berarti mengakui adanya upah minimum
sektoral, padahal kebijakan ini tidak dikenal di Indonesia. Jika untuk pelaut
diberlakukan standar pengupahan khusus, tentulah sektor pekerjaan lain juga
akan meminta perlakuan yang sama. Akibatnya kita tahu: negara ini akan disapu
demonstrasi setiap hari oleh seluruh pekerja dari seluruh sektor yang ada.
Ini tentu berbahaya bagi negara. Sebab lain, kuatnya ego sektoral
kementerian yang mengurus pelaut/buruh. Leading
agency dalam ratifikasi MLC adalah Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, tapi instansi ini hampir tidak pernah bersinggungan langsung
dengan pelaut.
Pihak yang intensif berhubungan dengan profesi itu adalah Kementerian
Perhubungan, namun dalam ratifikasi konvensi tersebut Kemenhub boleh dibilang
tidak memiliki peran yang signifikan. Situasi ini diperparah dengan tidak
jalannya koordinasi antara kedua lembaga. Tentu, penolakan oleh INSA tadi
menjadi bahan pertimbangan pula mengapa MLC belum juga diratifikasi.
Wajah
2015
Yang menarik selama 2014 adalah geliat yang terjadi di sektor
kepelabuhanan dengan dibesutnya ide tol laut dan poros maritim oleh Presiden
Joko Widodo sejak berkampanye dalam pemilihan presiden lalu. Begitu kuatnya
geliat kedua gagasan itu, sampai-sampai masyarakat kini dijangkiti “demam
maritim”. Gejalanya, semua orang merasa bisa bicara kemaritiman walaupun
mereka tidak mengerti dan memiliki pemahaman yang cukup untuk itu.
Bagaimanakah wajah kemaritiman pada 2015? Bukan hendak pesimis, wajah
kemaritiman Indonesia masih saja akan tetap sama dengan 2014, bahkan boleh
jadi lebih buruk dibanding tahun lalu. Pasalnya, ada program yang konsep
dasarnya sudah keliru di samping faktor eksternal yang dihadapi bidang
kemaritiman nasional juga tidak mendukung. Ambil contoh, asas cabotage.
Dikaitkan dengan program poros maritim yang ada, kebijakan ini bisa
jadi akan mengganjalnya. Dalam poros maritim (baca: International Maritime
Center/IMC) pemerintah amat diharapkan memberikan aneka fasilitas,
infrastruktur dan regulasi yang dapat menarik minat kalangan pelayaran
internasional dan komunitas maritim lain untuk mendatanginya dan dapat
menjalankan bisnis yang meng-untungkan di Indonesia.
Namun, dengan asas cabotage tidak ada tempat untuk pemain asing. Untuk
perbandingan, sebagai salah satu IMC di dunia, Singapura menjadi lokasi
berkantornya lebih dari 4.200 multinational corporations dan 26.000
perusahaan mancanegara lain. Dari jumlah itu, ada ratusan perusahaan
pelayaran asing di samping pelayaran milik Kota Singa itu sendiri, yakni
Neptune Orient Line (NOL).
Sanggupkah pelayaran nasional kita “berdamai” dengan asing? Sepertinya
sulit karena asas cabotage kita hanya sedikit memberi ruang untuk itu.
Masalah yang ada bukan tidak bisa diselesaikan. Caranya, mari kita duduk
bareng, merembukkan hal-hal yang saling bertentangan itu dan mencari jalan
keluar terbaik. Kita memang belum pernah duduk bersama membahas kemaritiman
dengan tuntas. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar