Kamis, 01 Januari 2015

Meneropong Wajah Kemaritiman Nasional 2015

       Meneropong Wajah Kemaritiman Nasional 2015

Siswanto Rusdi  ;   Direktur The National Maritime Institute (NAMARIN)
KORAN SINDO,  30 Desember 2014

                                                                                                                       


Kita akan meninggalkan 2014 menuju 2015. Dalam menyongsong Tahun Baru biasanya kita melakukan kilas balik atas perjalanan yang dilakukan setahun ke belakang sambil merencanakan apa yang akan diperbuat dalam satu tahun di hadapan.

Lalu, bagaimanakah perjalanan bidang kemaritiman nasional selama setahun lalu? Dan, seperti apa kira-kira wajahnya di tahun depan? Kemaritiman adalah satu bidang yang secara umum mencakup pelayaran (shipping) yang didukung oleh pelabuhan, galangan kapal, pelaut dan perbankan serta asuransi yang kuat. Ada anggapan di masyarakat kita bahwa kemaritiman itu identik dengan perikanan, pariwisata bahari, riset kelautan dan sejenisnya.

Ada juga asumsi yang mengatakan bahwa kemaritiman adalah bagian dari kelautan, ini dipegang oleh Dewan Kelautan Indonesia (Dekin). Jika ingin mengilas balik dan memproyeksi bidang kemaritiman nasional, hal yang menjadi objeknya adalah shipping dan hal-hal yang terkait dengannya. Tentu bidang kelautan juga akan dikomentari. Adapun tolok ukurnya adalah pencapaian (achievement) dari apayangsudah direncanakan sebelumnya.

Kinerja 2014

Selama 2014 sektor kemaritiman nasional tidak banyak mengalami perkembangan yang cukup berarti dibanding 2013. Achievement besar hampir tidak ada sepanjang 2014 karena para pelaku hanya memutar roda bisnisnya sebagaimana biasanya (business as usual).

Di sektor pelayaran misalnya, pengusaha pelayaran sepertinya sudah merasa berhasil dalam upaya mereka menaikkan populasi armada nasional hingga mencapai lebih dari 13.000 unit kapal saat ini dari sebelumnya yang sedikit di atas 6.000 kapal pada 2005. Semua ini dimungkinkan karena diberlakukannya asas cabotage sejak 2005. Tentu pencapaian itu patut diapresiasi.

Hanya, setelah mampu mendongkrak jumlah kapal tidak terdengar lagi apa yang menjadi “mainan” operator kapal yang bergabung dalam Indonesian National Shipowners Association (INSA). Memang, ada upaya untuk menggenapkan kesuksesan penerapan asas cabotage dengan menguasai pelayaran lepas pantai. Tetapi belum berhasil hingga akhir tahun ini.

Sementara itu, gagasan beyond cabotage yang diklaim INSA sebagai program besar mereka setelah asas cabotage terlihat berjalan di tempat jika tidak mau disebut tidak bergerak sama sekali. Padahal, dengan program inilah kita sebetulnya bisa menghadapi penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di bidang transportasi laut. Sektor kepelautan selama 2014 juga jalan di tempat, terutama dalam hal ratifikasi Maritime Labor Convention (MLC).

 Entah apa alasannya, mengapa peraturan internasional yang mengatur hakhak pelaut itu belum juga disahkan oleh Indonesia. Yang jelas, INSA sudah menolak keinginan ini dengan alasan kapal-kapal mereka belum siap. Pemerintah sebagai pihak yang paling berwenang melakukan ratifikasi MLC tidak memberikan alasan resmi mengapa aturan tersebut belum juga diratifikasi.

Bisa jadi, jika MLC diratifikasi, muncul efek domino di sektor-sektor lain di luar kepelautan. Meratifikasi berarti mengakui adanya upah minimum sektoral, padahal kebijakan ini tidak dikenal di Indonesia. Jika untuk pelaut diberlakukan standar pengupahan khusus, tentulah sektor pekerjaan lain juga akan meminta perlakuan yang sama. Akibatnya kita tahu: negara ini akan disapu demonstrasi setiap hari oleh seluruh pekerja dari seluruh sektor yang ada.

Ini tentu berbahaya bagi negara. Sebab lain, kuatnya ego sektoral kementerian yang mengurus pelaut/buruh. Leading agency dalam ratifikasi MLC adalah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, tapi instansi ini hampir tidak pernah bersinggungan langsung dengan pelaut.

Pihak yang intensif berhubungan dengan profesi itu adalah Kementerian Perhubungan, namun dalam ratifikasi konvensi tersebut Kemenhub boleh dibilang tidak memiliki peran yang signifikan. Situasi ini diperparah dengan tidak jalannya koordinasi antara kedua lembaga. Tentu, penolakan oleh INSA tadi menjadi bahan pertimbangan pula mengapa MLC belum juga diratifikasi.

Wajah 2015

Yang menarik selama 2014 adalah geliat yang terjadi di sektor kepelabuhanan dengan dibesutnya ide tol laut dan poros maritim oleh Presiden Joko Widodo sejak berkampanye dalam pemilihan presiden lalu. Begitu kuatnya geliat kedua gagasan itu, sampai-sampai masyarakat kini dijangkiti “demam maritim”. Gejalanya, semua orang merasa bisa bicara kemaritiman walaupun mereka tidak mengerti dan memiliki pemahaman yang cukup untuk itu.

Bagaimanakah wajah kemaritiman pada 2015? Bukan hendak pesimis, wajah kemaritiman Indonesia masih saja akan tetap sama dengan 2014, bahkan boleh jadi lebih buruk dibanding tahun lalu. Pasalnya, ada program yang konsep dasarnya sudah keliru di samping faktor eksternal yang dihadapi bidang kemaritiman nasional juga tidak mendukung. Ambil contoh, asas cabotage.

Dikaitkan dengan program poros maritim yang ada, kebijakan ini bisa jadi akan mengganjalnya. Dalam poros maritim (baca: International Maritime Center/IMC) pemerintah amat diharapkan memberikan aneka fasilitas, infrastruktur dan regulasi yang dapat menarik minat kalangan pelayaran internasional dan komunitas maritim lain untuk mendatanginya dan dapat menjalankan bisnis yang meng-untungkan di Indonesia.

Namun, dengan asas cabotage tidak ada tempat untuk pemain asing. Untuk perbandingan, sebagai salah satu IMC di dunia, Singapura menjadi lokasi berkantornya lebih dari 4.200 multinational corporations dan 26.000 perusahaan mancanegara lain. Dari jumlah itu, ada ratusan perusahaan pelayaran asing di samping pelayaran milik Kota Singa itu sendiri, yakni Neptune Orient Line (NOL).

Sanggupkah pelayaran nasional kita “berdamai” dengan asing? Sepertinya sulit karena asas cabotage kita hanya sedikit memberi ruang untuk itu. Masalah yang ada bukan tidak bisa diselesaikan. Caranya, mari kita duduk bareng, merembukkan hal-hal yang saling bertentangan itu dan mencari jalan keluar terbaik. Kita memang belum pernah duduk bersama membahas kemaritiman dengan tuntas. Semoga.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar