Dunia
Tanpa Islam
Agus Hasan Bashori ; Penasihat Majelis Intelektual
dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Malang Raya
|
REPUBLIKA,
23 Januari 2015
Teori "Benturan Peradaban (The Clash of Civilizations)" dari Prof Bernard Lewis yang
kemudian disebarluaskan oleh Samuel P Huntington seolah menjadi gambaran dari
kebijakan politik Barat, khususnya Amerika terhadap dunia Islam. Dr Adian
Husaini melalui bukunya, Wajah Peradaban Barat, menyebutnya dengan istilah
baru, yaitu konfrontasi permanen antara Islam dan Barat.
Menurut Adian Husaini, meskipun Barat sudah menjadi
sekuler-liberal, sentimen-sentimen keagamaan terus mewarnai kehidupan mereka.
Jika dalam masa kolonialisme klasik mereka mengusung jargon gold, gospel, dan
glory, di era modern ini kita mendapatkan invasi Amerika terhadap Irak pada
2003 dan dukungannya kepada Israel tidak terlepas dari jargon tersebut. Bukti
yang nyata adalah menguatnya sentimen Islamofobia di sebagian kalangan saat
ini.
Di masa klasik, seorang misionaris legendaris Henry Martyn
menyatakan bahwa Perang Salib telah gagal. Karena itu, menurutnya, untuk
menaklukkan dunia Islam, dia mengajukan resep: gunakan "kata, logika,
dan cinta (kasih)". Ucapan Henry Martyin ini terbukti memiliki kaitan
yang erat dengan upaya Barat dalam memerangi dunia Islam hingga tergulingnya
Khilafah Turki Utsmani.
Kekuatan kata "freedom dan liberalisme" dan
kekutan "kasih" dalam bentuk bantuan yang mengikat terbukti sangat
ampuh dalam menggulung kekuatan-kekuatan Islam, yang biasanya disimbolkan dengan
ungkapan tidak simpatik, seperti "ortodoks", "beku",
"berorientasi masa lalu", "emosional",
"intoleran", "radikal", dan terakhir
"terorisme".
Memerangi Islam dan melanggar kedaulatan negara Islam atas
nama memerangi terorisme dimulai dari momentum runtuhnya dua gedung WTC pada
11 September 2001 yang menewaskan 2.977 orang (ditambah 19 "pembajak
pesawat" yang dikaitkan dengan Alqaidah pimpinan Usamah bin Ladin) dan
melukai lebih dari 6.000 orang. Sejak itulah, babak baru hubungan Barat-Islam
dimulai.
Kampanye membasmi teroris pun digelar oleh Amerika Serikat
dan sekutunya, dan Islam dijadikan sebagai kambing hitam. Islam dikesankan
sebagai yang melahirkan radikalisme dan terorisme sampai bangsa Palestina
yang dijajah oleh Israel pun tidak luput dari upaya untuk disebut sebagai
teroris.
Setelah peristiwa penyerangan gedung WTC, kini dunia
dihebohkan oleh penyerangan terhadap kantor majalah Charlie Hebdo di Paris
pada Rabu 7 Januari 2015. Dua orang
bersenjata menyerbu kantor majalah yang menghina Nabi Muhammad tersebut,
menewaskan 12 orang dan melukai 10 orang. Begitu aksi ini terjadi, dunia
langsung bersuara mengutuknya dan mengaitkan dengan Islam.
Menariknya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang
menggempur Gaza dan menewaskan 2.500 Muslim dalam penyerbuan terakhir, ikut
hadir mengutuk aksi terorisme, seolah dia bersih dari terorisme. Pada Ahad
(11/1), Benjamin Netanyahu ikut long march di Paris yang diikuti 50 pemimpin
dunia dan hampir empat juta orang. Tujuannya adalah untuk menyatakan solidaritasnya
terhadap korban penyerangan yang menghina Nabi SAW dan untuk mendukung
kebebasan mengungkapkan pendapat, termasuk menghina Nabi SAW dan untuk
memberantas lagi-lagi "terorisme".
Di tengah arus Barat memojokkan Islam ini, ternyata ada
arus lain yang menyuarakan bahwa terorisme tidak dilahirkan oleh Islam,
tetapi oleh kezaliman Barat. Arus ini disuarakan lantang oleh Profesor
Amerika Graham E Fuller. Mantan wakil ketua Badan Sentral Intelijen Amerika
Serikat atau CIA itu menyatakan, "Kalau bukan karena Islam, niscaya
dunia ini miskin peradaban, kebudayaan, dan intelektual. Bahkan jika Islam
tidak ada pun, Barat akan berada dalam konflik dan perang, khususnya antara
gereja-gereja Barat dan Timur." Karena itu, menurutnya, "Barat
tidak boleh membebankan kepada Islam dosa konflik antara Timur dan Barat atau
yang disebut benturan peradaban."
Pernyataan ini ada dalam bukunya yang berjudul, A World
Without Islam, yang dalam versi Arabnya berjudul ’Alam bi-la Islam (Dunia
tanpa Islam). Fuller menyerang kebijakan negaranya yang bersifat
menghancurkan Timur Tengah. Fuller mengajukan sembilan solusi untuk
menghentikan konflik Barat-Islam. Fuller meminta agar Barat melaksanakan, di
antaranya adalah Amerika Serikat harus menarik diri dari wilayah Arab dan
Islam yang didudukinya.
Selain itu, menyelesaikan masalah Palestina secara adil,
tidak melanggar kedaulatan negara-negara (Arab dan Islam) atas nama mengejar
para teroris, dan Barat harus mau menerima kemenangan umat Islam (aktivis
Islam) dalam pesta demokrasi mereka di negara mereka tanpa syarat dan tanpa
intervensi.
Fuller menolak tuduhan bahwa dirinya membela Islam. Dia
menegaskan, hanya membela kebenaran dan keadilan dalam konteks sejarah dan
upaya menyuguhkan pemahaman yang lebih baik dalam memahami peristiwa yang
terjadi sekarang ini.
Penulis buku yang terjemahannya dalam bahasa Arab akhirnya
diterbitkan Dar Suthur ini mengatakan, "Sejarah tidak dimulai dari 11
September 2001 sebagaimana disangka oleh banyak orang Barat." Dia
beragumentasi bahwa "Sebelum Islam ada dua imperium: Sassania (Persia)
dan Rumania (kemudian Bizantium). Antara keduanya telah meletus perang selama
seratus tahun. Jadi, masalah Timur dan Barat sudah ada sebelum Islam yang
tecermin dalam konflik Yunani Persia, kemudian Rumania Persia, kemudian
Bizantium Persia. Sama saja apakah orang-orang Muslim atau non-Muslim, maka
mereka pasti akan melawan Amerika Serikat dan akan menolak kolonialisme
Prancis, imperialisme Inggris, kolonialisme Italia, dan lain-lain. Semua ini
disebabkan oleh penjajahan Eropa kemudian usaha hegemoni Barat atas
dunia."
Buku ini
membantah dengan tegas klaim dan tuduhan Barat, terutama Amerika Serikat
terhadap Islam tentang munculnya terorisme. Penulis mengingatkan sejarah kuno
Barat dan modern tentang perang-perang Eropa yang bersifat agama dan sekuler
yang merenggut nyawa ratusan juta manusia dan hal itu tidak ada hubungannya
sama sekali dengan Islam. Justru, menurutnya, "Tanpa Islam, dunia miskin
peradaban, kebudayaan, dan intelektual." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar