Pak
Jokowi, Selamatkan KPK
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat
Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS,
24 Januari 2015
MESKIPUN Presiden Joko Widodo berupaya memilih jalan
tengah dengan cara menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan, silang-sengkarut
proses pengisian jabatan Kepala Kepolisian Negara RI masih jauh untuk dapat
dikatakan selesai.
Melihat tanda-tanda yang ada, hari-hari ke depan potensial
menghadirkan ketegangan lebih luas. Tak hanya di sekitar kepolisian dan KPK,
situasi bisa meluas ke lembaga lain. Paling tidak, langkah Sekjen PDI-P Hasto
Kristiyanto mengungkap isu sensitif ihwal langkah Abraham Samad di sekitar
proses penentuan bakal calon wakil presiden mengonfirmasi wilayah sensitif
tersebut. Terlepas dari benar-tidaknya soal ini, kisruh di sekitar pencalonan
BG tengah memasuki wilayah politik yang jauh lebih sensitif.
Bahkan, lebih jauh dari itu, perkembangan mutakhir,
langkah polisi menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto merupakan
bentangan fakta betapa besarnya kepentingan di sekitar pengusulan BG. Dengan
kejadian ini, hampir nyaris dipastikan segala kemungkinan akan dapat terjadi
di ranah penegakan hukum. Satu hal yang pasti, KPK tengah berada dalam
ancaman amat serius.
Sebetulnya, dalam batas penalaran yang wajar, sekiranya
semua pihak memiliki kearifan untuk menghadirkan situasi yang lebih kondusif,
ketegangan di sekitar proses pengisian jabatan Kapolri pengganti Sutarman
tidak perlu terjadi. Ketidakarifan paling awal muncul dari sodoran nama BG ke
DPR. Jikalau Jokowi sensitif dan mendengar suara-suara minor yang berada di
sekitar bekas ajudan Megawati ini, kontroversial ini tidak perlu terjadi.
Ketidakarifan masih tidak muncul ketika status tersangka
tidak menjadi alasan bagi Jokowi menarik kembali usulan yang telah diajukan
kepada DPR. Padahal, sejak status hukum itu dirilis KPK, Presiden memiliki
waktu lebih dari cukup untuk menarik kembali usulan BG. Dalam posisi begitu,
alasan menentukan sikap setelah proses politik di DPR dapat dikatakan sebagai
pilihan membiarkan kekeliruan berjalan memasuki wilayah kerumitan yang
teramat sangat.
Begitu pula dengan DPR, lembaga ini dengan segala
kemungkinan perhitungan politik yang mengitarinya tak mau keluar dari logika
formal, tetap meneruskan proses uji kelayakan dan kepatutan BG. Sekiranya mau
mengambil langkah lebih arif dengan sedikit keluar dari logika formalitas,
dengan status tersangka jauh lebih masuk akal mengembalikan usulan kepada
Presiden. Bagaimanapun, dengan status itu, DPR kehilangan alasan menilai Budi
proper menjadi calon Kapolri.
Begitu Komisi III menerima usulan dan Paripurna DPR
meneguhkannya, pilihan apa pun yang diambil Presiden pasti memiliki
konsekuensi yang tak sederhana. Bagi sebagian pihak, pilihan menunda
pelantikan BG lebih pada menempatkan moralitas sebuah kebijakan dengan maksud
agar kepolisian sebagai institusi penegak hukum tidak dipimpin sosok yang
menyandang status hukum tersangka.
Bahkan, di tengah badai kontroversial, situasi bisa
menjadi jauh lebih kondusif bilamana BG bersedia memilih langkah arif
mengundurkan diri sejak awal pencalonan. Tak hanya sebatas menurunkan potensi
ketegangan, jikalau langkah itu dipilih, dapat dicegah kemungkinan terjadi
gesekan antara KPK dan institusi kepolisian. Dengan mengundurkan diri, yang
bersangkutan juga dapat berkonsentrasi menghadapi proses hukum di KPK.
Praperadilan
Secara hukum, langkah pembelaan diri BG tentu menjadi
bagian dari proses hukum. Meskipun demikian, melakukan praperadilan yang
seolah-olah menempatkan institusi kepolisian berada di balik semua ini dapat
merusak hubungan antara institusi kepolisian dan KPK. Bahkan, sikap
kepolisian memberikan bantuan hukum kepada BG amat mungkin memperhadapkan
kedua institusi penegak hukum ini. Mestinya, jikalau hendak menjunjung tinggi
penegakan hukum, BG harus dinon-aktifkan dari kepolisian.
Terlepas dari itu semua, perlawanan berupa pengajuan
praperadilan tak perlu dilakukan. Secara hukum, bagi tersangka, praperadilan
dapat dilakukan hanya untuk mempersoalkan sah-tidaknya penangkapan atau
penahanan. Bagi yang berkepentingan untuk penegakan hukum dan keadilan, upaya
ini dapat dilakukan guna menyoal sah-tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan. Sebagai orang yang telah begitu lama bekerja di ranah
penegakan hukum, BG pasti paham betul proses praperadilan.
Melihat pengaturan yang amat jelas dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), semestinya institusi kepolisian tak
memberikan dukungan kepada BG mengajukan praperadilan. Selain berpotensi
memperlama proses hukum, langkah ini dapat memicu ketegangan antara
kepolisian dan KPK. Sekiranya ini terjadi, secara keseluruhan berpotensi
merusak wajah penegakan hukum negeri. Andai pilihan mengajukan praperadilan
tak bisa dicegah, biarkan BG melakukan secara personal tanpa perlu melibatkan
institusi kepolisian. Celakanya, jangankan mendorong menjadi personal, hampir
semua upaya yang dilakukan BG mendapat apresiasi dari anggota kabinet. Bukti
apresiasi itu, misalnya, bisa dilacak dari sejumlah pernyataan Menteri Hukum
dan HAM setelah Jokowi menunda pelantikan BG. Semestinya, dari mana pun
anggota kabinet berasal, dukungan terhadap kebijakan presiden tidak boleh
terbelah.
Penangkapan Bambang
Isu di sekitar penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto telah mulai berembus sejak beberapa waktu belakangan. Sebagai
salah satu pihak yang memberikan perhatian terhadap sejumlah ketegangan yang
pernah terjadi antara KPK dan kepolisian, segala macam dalil sangat mungkin
digunakan untuk melakukan kriminalisasi terhadap mereka yang bekerja di
lembaga anti-rasuah ini. Paling tidak, kita bisa melacak kembali kasus yang
pernah menimpa Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Hal serupa bisa juga
bisa dilacak dari peristiwa yang menimpa penyidik KPK, Novel Baswedan.
Sebagai orang yang pernah menjadi advokat, dapat
dipastikan polisi akan lebih mudah menemukan ruang untuk menjadikan Bambang
sebagai tersangka. Pada kasus ini, peran Bambang dalam penyelesaian sengketa
pemilihan kepala daerah Kabupaten Kota Waringin Barat merupakan isu yang
telah berulang-ulang dikapitalisasi. Selama ini, ketika Bambang menunjukkan
peran pentingnya dalam mengungkap kasus korupsi di KPK, perannya ketika
menjadi advokat tersebut selalu dimunculkan ke permukaan.
Apabila benar Bambang berperan dalam pemalsuan keterangan
ketika bersidang di MK, pilihan menangkap dengan cara yang ”tidak senonoh”
begini hampir pasti memiliki motivasi lain di luar penegakan hukum. Karena
ini merupakan rangkaian yang tak mungkin dipisahkan dengan penetapan
tersangka BG, sulit mengatakan penangkapan Bambang tidak terkait sama sekali
dengan penetapan tersebut.
Di tengah
situasi yang jauh dari menguntungkan ini, yang ditunggu adalah sikap tegas
Jokowi. Langkah awal yang harus dilakukan adalah menghentikan kemungkinan
pihak-pihak tertentu menggunakan institusi kepolisian melakukan serangan
balik atas penetapan BG sebagai tersangka. Selain itu, Jokowi harusnya
memastikan kepolisian tak menahan Bambang secara sewenang-wenang. Jauh lebih
penting dari itu semua, Jokowi harus memastikan bahwa tak akan terjadi lagi
kriminalisasi terhadap berbagai pihak di KPK. Di tengah situasi genting yang
melanda KPK, saat ini waktu tepat menagih janji Jokowi menyelamatkan
pemberantasan korupsi. Caranya, dengan menyelamatkan KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar