Presiden,
Bertindaklah sebagai Seorang Presiden
Kardono Setyorakhmadi ; Wartawan Jawa Pos, Alumnus Fakultas Filsafat
UGM
|
JAWA
POS, 24 Januari 2015
SEPERTI yang diduga, pidato Presiden Jokowi yang hanya
lima menit sangat mengecewakan. Dalam pidato yang nyaris tidak ada isi
signifikannya tersebut, Jokowi tidak hanya membuat banyak orang mengelus
dada, prihatin. Mantan wali kota Solo dan mantan gubernur DKI Jakarta
tersebut juga telah gagal meredam keresahan rakyat gara-gara penangkapan
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW).
Sebelumnya, penangkapan polisi terhadap BW sudah sangat
mengejutkan. Apa lagi kemudian diketahui bahwa kasus yang menjerat BW terjadi
empat setengah tahun lalu. Yakni, menyuruh orang lain memberikan kesaksian
palsu.
Saya tidak hendak berbicara mengenai konstruksi kasusnya.
Sebab, saya yakin bahwa Polri tidak akan bodoh untuk merekayasa kasus. Meski
mungkin minimalis, bukti yang ada pastilah cukup untuk sekadar menjadikan BW
sebagai tersangka.
Polri pasti akan selalu berlindung di balik argumentasi
itu. Yakni, orang ini melakukan kejahatan dan bukti-bukti yang ada memenuhi
unsur pidana. Jadi, ini tidak ada yang berkaitan dengan institusi KPK. Sebuah
argumentasi yang benar, tapi juga menjebak orang untuk terseret dalam setting-an
situasi yang telah diciptakan.
Masyarakat tidak terlalu bodoh untuk melihat bahwa
penangkapan itu merupakan bagian dari sebuah upaya sistematis lebih besar
yang meresahkan. Terlalu banyak kebetulan di sana. Penangkapan tersebut
kebetulan dilakukan Polri sehari setelah Hasto membuat dagelan tidak lucu
tentang pengungkapan keinginan Abraham Samad menjadi cawapres. Kebetulan pula
setelah penggantian mendadak Kapolri dan Kabareskrim yang tidak jelas dengan
alasan apa.
Semua tahu, meski Polri beralasan itu tidak ada yang
berkaitan dengan KPK, penangkapan BW jelas upaya melemahkan KPK. Boleh
berargumentasi apa pun. Tetapi, bila BW ditangkap (kemungkinan Abraham Samad
menyusul), situasi bakal berubah. Operasional KPK terganggu (rapat komisioner
bisa dianggap tidak kuorum dsb) dan psikis komisioner yang lain terteror.
Apalagi, setelah Kejaksaan Agung ’’jatuh’’ ke tangan
sekelompok orang, tentu jangan sampai Polri jatuh pula. Bila dua pimpinan
lembaga tersebut terkooptasi oleh pimpinan politik koalisi, itu akan sangat
berbahaya. Mempunyai Polri dan Kejagung (baca: menjadi alat) menjadikan rezim
penguasa sebagai oligarki lalim yang bisa melakukan apa saja di negeri ini.
Misalnya, mengkriminalkan siapa pun yang dikehendaki, menyingkirkan siapa pun
yang tidak berkenan. Padahal, siapa pejabat di negeri ini yang tidak punya
salah?
Inilah yang membuat resah. Inilah yang membuat banyak
kekuatan sipil berusaha menentang penangkapan BW. Bukan karena sosok BW-nya
yang dibela, tetapi sebuah simbol yang menjadi pengimbang dan pengontrol
kelakuan buruk penguasa. KPK mungkin tidak bersih. KPK mungkin juga pernah
salah. Tetapi, setidaknya kode etik yang berlaku di dalamnya masih jauh lebih
tinggi daripada institusi penegak hukum yang lain. Setidaknya, dalam
pandangan masyarakat, KPK menjelma sebagai simbol kedaulatan rakyat.
Penangkapan BW memang bisa jadi benar secara legal formal
(tentu saja sesuai dengan konstruksi kasus ala Polri). Namun, susah
membayangkan penangkapan itu tidak bertujuan melemahkan KPK.
Plt Kapolri Komjen Pol Badrodin Haiti boleh bilang
berjuta-juta kali bahwa tidak ada unsur politis dan tidak ada masalah KPK
dengan Polri. Itu sebuah bentuk pertahanan dan strategi terbaik Polri. Yakni,
tidak mau bergeser dari legal formal. Tetapi, itu hanya menunjukkan sebuah
bentuk kebebalan polisi, atau justru tidak kuasanya Polri menghadapi tekanan
pihak lain. Dalam menangani kasus, polisi bisa dan sangat biasa menghitung
dimensi sosial, politik, dan filosofis sebuah kasus.
Jika hanya memandang legal formal, seharusnya orang Papua,
orang Bali di pedalaman, suku-suku lain, pengunjung di pantai-pantai yang
mengenakan pakaian ala kadarnya karena adat, ditangkap karena jelas-jelas
melanggar UU Antipornografi. Banyak hal di masyarakat yang bila dipandang
dari satu sisi legal formal saja melanggar aturan dan pelakunya harus
ditangkap. Tetapi, kan tidak. Sebab, polisi memandang dimensi yang lain.
Begitu pula halnya dengan kasus BW. Semakin bertahan dengan berargumentasi
hanya dari satu sisi legal formal semakin menunjukkan Polri tidak independen.
Dengan situasi ini, kesan Polri menjadi alat penguasa
terasa begitu kental. Kepada Presiden Jokowi, saat pilpres lalu, saya memilih
Anda. Hingga detik ini pun, saya tidak pernah menyesali. Tetapi, sungguh Anda
benar-benar sangat mengecewakan bila memilih cari aman dengan mengeluarkan
pernyataan-pernyataan normatif tanpa makna seperti yang telah Anda tunjukkan.
Kini saatnya
Anda harus menunjukkan bahwa Anda adalah presiden. Bertindaklah sebagai
presiden. Yang milik rakyat dan bekerja untuk rakyat. Bukan hanya milik PDIP
dan segelintir baron politik yang seperti mendapat blank cheque kekuasaan
yang amat besar. Juga jangan mengambil tindakan yang dilakukan hanya untuk
menyenangkan semua pihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar