Cicak
Versus Buaya, Lagi
Hifdzil Alim ; Peneliti di PUKAT FH UGM
|
KORAN
TEMPO, 24 Januari 2015
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat serangan. Kata
serangan ini tak menggunakan tanda kutip. Artinya, serangan dalam arti yang
sebenarnya. Tanpa basa-basi, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menangkap
Bambang Widjojanto, pemimpin KPK, sesaat setelah mengantarkan anaknya ke
sekolah, Jumat pagi (23/1/2015).
Padahal, belum berselang lama, sudah ada serangan dari
Mabes Polri. Bukan satu, tapi dua sekaligus. Pra-peradilan atas kebijakan KPK
diajukan karena Komisaris Jenderal Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka
korupsi dan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan KPK.
Sekarang sedang terjadi lagi pentas Cicak versus Buaya
jilid ketiga. Dan, eskalasinya semakin besar. Setidaknya ada tiga
indikasinya. Pertama, konflik kelembagaan yang saat ini muncul dibawa dari
konflik personal secara pribadi. Sejarah sudah lama mengajarkan.
Tengok saja kasus Anggodo Widjojo (2009) dan Djoko Susilo
(2012). Koran Tempo (21/1), misalnya, memberikan informasi. Pada kasus
Anggodo, dua anggota KPK waktu itu, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah,
pernah dipersangkakan dalam kasus dugaan suap Rp 5,1 miliar. Hubungan Mabes
Polri dan KPK hampir retak. Dugaan kasus tersebut ternyata abal-abal. Sebab,
Presiden SBY membentuk Tim Delapan guna memeriksa kasus terkait. Hasilnya,
pimpinan KPK tak terbukti terima duit haram dari Anggodo. Kasus selesai.
Pada kasus Djoko Susilo, Mabes Polri-melalui Polda Lampung
dan Metro Jaya-seperti unjuk kekuatan ke KPK dengan dalih ingin menahan
penyidiknya, Novel Baswedan. Suasana panas. Pemicunya, KPK keukeh memeriksa
jenderal bintang dua atas dugaan korupsi pengadaan alat simulasi kemudi roda
empat dan roda dua. Berdasarkan hasil pemeriksaan, mantan Kakorlantas itu
terbukti melakukan korupsi.
Dari dua kasus spesifik tersebut, meski ada sistem
(antibodi) kelembagaan antar-penegak hukum dalam menyelesaikan konflik
antar-kelembagaan, kali ini eskalasinya sangat besar. Pernyataan Presiden pun
tak memberi ketenangan. Hanya normatif belaka. Konflik yang dipicu urusan
personal tak boleh dibiarkan menghancurkan langkah pemberantasan korupsi.
Kedua, serangan ini kelihatannya buntut dari adonan
politik. Bagaimana bisa? Hal ini dimulai dari langkah Presiden Jokowi
menyodorkan nama Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon tunggal
Kapolri ke Komisi III DPR, lalu KPK menetapkannya sebagai tersangka. Namun,
DPR tetap mengafirmasi mantan Kapolda Bali itu. Terakhir, Presiden
menerbitkan keputusan untuk menunda pelantikan-bukan mencabut-calon Kapolri.
Jika dicermati dengan saksama, semua alur di atas-kecuali
penetapan tersangka-adalah alur politik. Ditambah lagi dengan ancaman DPR
yang ingin menginterplasi Presiden bila gagal melantik Budi Gunawan. Semua
tampak seperti adonan politik. Drama Cicak versus Buaya saat ini lebih besar
karena mengikutsertakan kekuasaan politik di dalamnya. Tak hanya urusan hukum
seperti drama dua dan empat tahun lalu.
Ketiga, seperti terdapat friksi dalam tubuh Mabes Polri.
Sempat muncul isu soal keberadaan mereka yang dianggap
"pengkhianat" dalam tubuh Trunojoyo. Kemudian, muncul isu tandingan
bahwa yang menuduh "pengkhianat" itu adalah pengkhianat sebenarnya.
Beberapa aib seakan membuka jendela dalam tubuh Polri bahwa sedang terjadi
friksi yang sangat kuat di antara para jenderal. Ditambah dengan mutasi
jenderal yang terkesan sangat mendadak, keadaan yang kurang harmonis semakin
terasa.
Suasana tak bahagia dalam tubuh Mabes Polri dimanfaatkan
oleh oknum tertentu untuk sekaligus memberi kode bahwa pilihan mengusik
kekuasaan mahal harganya. Dengan menangkap Bambang Widjojanto, pada bagian
ini, pesannya samar mengarah ke kejelasan. Pihak eksternal sekelas KPK saja
bisa dihantam, apalagi internal, apalagi hanya perseorangan. Di samping itu,
ada rasa politik dalam penangkapan komisioner KPK itu.
Tiga hal di atas menunjukkan bahwa potensi tumbuhnya benih
Cicak versus Buaya kali ini sangat dahsyat. Benih ini tak bisa dibiarkan
terlalu lama. Gerakan publik pemberantasan korupsi masih sangat kuat untuk
mengubur lagi benih terkutuk itu. Lihat saja, rakyat berbondong-bondong
datang ke Jalan Rasuna Said, berdiri di belakang pemberantasan korupsi.
Mereka mengecam langkah keliru polisi dalam menangkap Bambang Widjojanto.
Tidak hanya di Jakarta, di daerah seperti di Yogyakarta, rakyat tak tinggal
diam. Rakyat melawan kriminalisasi yang ditujukan ke pemberantasan korupsi.
Terlepas dari
itu, rakyat tetap berhak memiliki asa untuk mendapatkan penegak hukum,
khususnya polisi, yang jujur dan berintegritas. Jenderal Hoegeng Iman Santoso
mengajarkan, "Polisi adalah polisi, bukan politisi." Polisi perlu
tahu tentang politik, tapi tak harus ber(main) politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar