Runyam…
James Luhulima ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
24 Januari 2015
PEKAN lalu, kita disuguhi adegan politik yang sangat
hiruk-pikuk. Tanggal 9 Januari 2015, Presiden Joko Widodo mengajukan nama
Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri kepada DPR untuk
menggantikan Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman.
Banyak yang mempertanyakan, mengapa Presiden Jokowi
mengajukan nama Komjen Budi Gunawan, mengingat nama tersebut sebelumnya
pernah dikaitkan dengan kasus rekening gendut polisi? Disebut-sebut bahwa
nama Komjen Budi Gunawan itu diajukan oleh mantan Presiden Megawati
Soekarnoputri. Budi Gunawan, saat berpangkat komisaris besar, sempat menjabat
sebagai ajudan Presiden Megawati (2001-2004).
Persoalan menjadi runyam ketika Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), 13 Januari 2015, menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai
tersangka karena dugaan transaksi mencurigakan atau tidak wajar. Menurut
Ketua KPK Abraham Samad, penyelidikan mengenai kasus yang menjerat Budi
Gunawan telah dilakukan sejak Juli 2014.
Akan tetapi, proses pencalonan Komjen Budi Gunawan tetap
berjalan di DPR. Dan, pada 14 Januari 2015, setelah melakukan uji kelayakan
dan kepatutan, Komisi III DPR menyetujui penetapan Komjen Budi Gunawan
sebagai Kepala Polri. Akibatnya, tekanan berada di pundak Presiden Jokowi. Di
tengah keriuhan itu, akhirnya pada 16 Januari 2015, Presiden Jokowi menunda
pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Dan, menetapkan Wakil Kapolri
Badrodin Haiti sebagai Pelaksana Tugas Kepala Polri.
Langkah yang diambil Presiden Jokowi itu dinilai sebagai
langkah kompromi terbaik yang dapat dilakukannya untuk menghormati proses
politik di DPR, proses hukum di KPK, dan aspirasi masyarakat. Pertanyaannya,
mengapa Presiden Jokowi sampai membiarkan dirinya berada dalam posisi itu?
Jika kita amati dengan saksama, munculnya nama Komjen Budi
Gunawan, Kepala Badan Pendidikan Kepolisian Negara Republik Indonesia,
sebagai calon Kapolri itu ”tidak muncul begitu saja dari langit”. Komjen Budi
Gunawan adalah salah satu dari lima calon Kapolri yang diusulkan oleh Komisi
Kepolisian Nasional (Kompolnas) kepada Presiden Jokowi.
Empat calon lain adalah Wakil Kepala Polri Komjen Badrodin
Haiti, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Suhardi Alius, Inspektur
Pengawasan Umum Polri Komjen Dwi Priyatno, dan Kepala Badan Pemelihara
Keamanan Polri Komjen Putut Eko Bayu Seno.
Presiden Jokowi, yang ditemui wartawan di selasar Wisma
Negara, 14 Januari 2015, mengungkapkan, pengajuan Komjen Budi Gunawan sebagai
calon Kapolri dimulai dari adanya usulan Kompolnas. Jika Komjen Budi Gunawan
memang bermasalah karena dugaan transaksi mencurigakan atau tidak wajar,
mengapa Kompolnas mengajukan namanya sebagai salah satu calon Kapolri?
Menurut Presiden Jokowi, hasil klarifikasi dan penyelidikan Kompolnas,
transaksi di rekening Komjen Budi Gunawan adalah wajar. Itu sebabnya,
Presiden mengajukan surat pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri
kepada DPR.
Lalu, mengapa KPK menjadikannya sebagai tersangka karena
dugaan transaksi mencurigakan atau tidak wajar?
Tidak dibuka
Untuk mencari jawabannya, kita harus mundur lima tahun ke
belakang, yakni ke 2010. Pada 2010, sempat muncul isu soal 17 rekening gendut
yang dimiliki perwira Polri. Nama Budi Gunawan dan Badrodin Haiti termasuk di
antaranya.
Polri kemudian melakukan pemeriksaan internal terhadap
pemilik rekening gendut tersebut. Pemeriksaan itu dilakukan oleh Badan
Reserse Kriminal (Bareskrim). Indonesia
Corruption Watch (ICW) menuntut agar pemeriksaan yang dilakukan Polri itu
dilakukan secara terbuka atau transparan, tetapi Markas Besar Polri, dengan
berbagai alasan, menolak permintaan tersebut.
Ketika hasil pemeriksaan dan klarifikasi rekening gendut
milik 17 perwira Polri itu selesai, ICW meminta agar hasil pemeriksaan dan
klarifikasi tersebut dibuka kepada publik. Namun, permintaan itu kembali
ditolak.
ICW pun meminta kepada Majelis Komisioner Komisi Informasi
Pusat (KIP) untuk menyatakan informasi itu tidak tergolong sebagai informasi
rahasia dan bisa diakses publik. KIP menganggap alasan Mabes Polri menolak
untuk membuka informasi itu lemah. Pasal 18 Ayat (2) Huruf b Undang-Undang RI
Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada intinya, antara
lain, menyebutkan bahwa pengungkapan informasi tidak dapat dikecualikan jika
seseorang menduduki jabatan publik.
Ternyata, Budi Gunawan telah memegang surat dari Bareskrim
Polri tertanggal 20 Oktober 2010 yang menyatakan rekeningnya tergolong wajar.
Dan, surat tersebut berklasifikasi rahasia. Oleh karena surat itu bersifat
rahasia, tak banyak orang yang mengetahuinya. Akan tetapi, melihat karier
Budi Gunawan yang mulus di lingkungan Polri, tidak sedikit orang yang
menganggap kasus rekening gendut itu tidak terbukti.
Namun, tidak sedikit pula orang di luar sana yang
meragukan pemeriksaan internal Polri yang dilakukan secara tertutup tersebut.
Merekalah yang bersuara nyaring ketika Komjen Budi Gunawan dicalonkan menjadi
Kepala Polri.
Proses
pemeriksaan yang dilakukan secara tertutup itu jelas merugikan, terutama bagi
Komjen Budi Gunawan. Ia tidak jadi dilantik sebagai Kapolri pada 16 Januari
2015. Jika lima tahun lalu proses pemeriksaan rekening gendut dilakukan
secara terbuka, kemungkinannya bagi Budi Gunawan hanya dua. Kariernya
berakhir di Polri karena tuduhan terhadap dirinya terbukti atau menjadi
Kapolri karena tuduhan tidak terbukti. Tidak tersandera seperti apa yang
terjadi sekarang…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar