Belajar
Introspeksi Charlie Hebdo
Chusnan Maghribi ; Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
|
SUARA
MERDEKA, 23 Januari 2015
SERANGAN berdarah teroris bersaudara (Sherif dan Said
Kouachi) terhadap kantor redaksi majalah mingguan satire Charlie Hebdo yang
menewaskan 10 awak majalah itu plus dua polisi di Paris (7/1/2015) rupanya
tidak membuat manajemen majalah itu takut atau kapok.
Buktinya, meski mendapat serangan maut, edisi 7 Januari
2015 majalah itu tetap terbit. Sepekan kemudian bahkanmemuat ulang kartun
Nabi Muhammad saw di sampul depan. Dari segi ekonomi bisnis, penerbitan dua
edisi Charlie Hebdo setelah serangan maut memang mendatangkan keuntungan
finansial cukup besar lantaran tingginya permintaan masyarakat di Prancis dan
dunia Barat.
Untuk edisi 14 Januari 2015 misalnya, agenagen koran di
Prancis kebanjiran permintaan hinggga nenuntut redaksi majalah tersebut
beberapa kali mencetak ulang edisi itu. Setelah mencetak 3 juta eksemplar
pada 14 Januari lalu, edisi itu kembali dicetak ulang tiap hari sekitar 1
juta eksemplar (SM, 18/1/15). Namun, dari aspek moral spiritual, penerbitan
majalah itu dengan mengekspose ulang kartun provokatif ofensif Nabi Muhammad,
cenderung merepotkan.
Pengeksposan ulang kartun Nabi saw itu langsung diprotes
oleh umat Islam di sejumlah negara berpenduduk mayoritas muslim semisal
Pakistan dan Niger hingga menelan sejumlah korban jiwa. Selain itu, mendorong
publik Prancis khususnya kembali memperdebatkan penting tidaknya membatasi
kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang publik.
Bagi kalangan penganut kebebasan tanpa batas tentulah
kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang publik bagi tiap orang tidak
perlu dibatasi. Pasalnya, kebebasan itu adalah hak sah bagi setiap individu
sebagai manifestasi praktik demokrasi (liberal) yang mereka anut di tengah
kehidupan sehari-hari.
Bagi mereka, kebebasan tanpa batas dianggap sebagai salah
satu cara untuk mencapai kepuasan diri dalam kehidupan dunia. Karenanya,
kebebasan tanpa batas mereka anggap segala-galanya. Tetapi, kalangan moralis
spiritualis berpandangan sebaliknya: kebebasan berpendapat dan berekspresi
bagi individu di tengah masyarakat (mutlak) perlu dibatasi.
Di balik hak sah tiap individu untuk berpendapat dan berekspresi
di ruang publik, terdapat hak individu ataupun komunitas lain yang mesti
dijaga dan dihormati. Hal itu supaya tidak terjadi ketersingggungan antara
satu dan lainnya sehingga bisa meminimalisasi, bahkan menghindari konflik
antarsesama.
Kalangan moralis spiritualis memandang orang ataupun
kelompok masyarakat yang memilih kkebebasan tanpa batas untuk berpendapat dan
berekspresi berisiko berpendapat ataupun berekspresi ”gila”. Maka, tidaklah
berlebihan bila Ahok, sapaan Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta pun
berpendapat pemuatan ulang kartun Nabi Muhammad pada sampul depan Charlie
Hebdo edisi 14 Januari 2015 sebagai tindakan gendheng (gila).
Di Prancis pun sebenarnya tidak sedikit warga negara
menyesalkan pemuatan ulang kartun Nabi Muhammad pada majalah itu edisi medio
Januari lalu. Jajak pendapat yang dilakukan Ifop, sebagaimana dikutip Harian
Le Journal du Dimanche edisi 18 Januari 2015 menyebutkan 42 persen responden
menolak pemuatan kembali kartun Nabi Muhammad oleh Charlie Hebdo.
Perlu Rambu
Itu berarti, meski warga Prancis yang menggandrungi
kebebasan tanpa batas bagi tiap individu tampak kuat, tetap memerlukan rambu.
Artinya mereka yang mendambakan kebebasan berpendapat dan berekspresi perlu
batasan yang juga cukup kuat.
Lantas, apa yang mesti dilakukan manajemen majalah itu
sekarang? Di tengah kontroversi pemuatan ulang kartun Nabi Muhammad pada
edisi 14 Januari 2015, alangkah bijak bila manajemen majalah satire tersebut
mau melakukan introspeksi seobjektif mungkin.
Upaya itu sekaligus mengevaluasi kebijakan redaksionalnya
yang sejauh ini cenderung provokatif ofensif dan kerap menyinggung harga diri
umat Islam di dunia, semisal mellaui pemuatan kartun Rasulullah. Bagi umat
Islam, Nabi Muhammad merupakan anutan yang selalu dihormati sepanjang zaman.
Mengggambar sosok Nabi haram hukumnya. Kemarahan umat Islam terhadap Charlie
Hebdo sesungguhnya mudah dimengerti karena majalah satire tersebut tidak
hanya sekali dua melecehkan dan menghina Nabi dengan menggambar sekaligus
mengeksposenya, tapi berulang kali.
Pada November 2011 misalnya, majalah itu menggambar Nabi
Muhammad serta memosisikannya sebagai pemimpin redaksi. Karenanya, sekali
lagi, cobalah manajemen majalah satire tersebut mawas diri sekaligus belajar
memahami perasaan umat Islam yang berkeyakinan luhur seperti itu tentang Nabi
Muhammad.
Sesudah itu,
akhirilah kebijakan redaksionalnya yang provokatif, baik menyangkut kartun
maupun tulisan (berita dan artikel), khususnya terhadap umat Islam. Andai
redaksi majalah itu secara sadar mau melakukannya, teror ataupun kekerasan
umat Islam terutama terhadap majalah yang bermarkas di Paris tersebut
kemungkinan besar berakhir dengan sendirinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar