Bambang
Widjojanto dan Hilangnya Akal Sehat
Refly Harun ; Pengamat dan Pengajar Hukum Tatanegara
|
DETIKNEWS,
24 Januari 2015
Hati nurani dan rasionalitas publik sedang dicabik-cabik.
Kebenaran dan keadilan sedang dibolak-balik. Penegak hukum yang lurus dan
kredibel bisa menjadi pesakitan dalam sekejap. Tidak ada yang menyangka,
polisi akan sangat nekat: menangkap Bambang Widjojanto, sang Komisioner
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)!
Manusia yang paling bodoh pun tahu, kata seorang pengamat,
bahwa penangkapan tersebut terkait erat dengan penentapan status tersangka
Komisaris Jenderal (Komjen) Budi Gunawan dalam soal rekening gendut.
Penetapan tersangka yang telah menjegal langkah Budi Gunawan untuk menjadi
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).
Bahasa yang dipakai Presiden Jokowi saat pengumuman 16
Januari lalu memang menunda, bukan membatalkan. Namun, siapa pun tahu, tidak
mudah lolos dari jerat KPK bagi seorang yang telah dinyatakan sebagai
tersangka. Selain tidak mengenal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3),
sehingga seorang tersangka sudah pasti akan menjadi terdakwa di pengadilan
tindak pidana korupsi (tipikor), KPK juga tidak pernah kalah. Mereka yang
didakwa KPK selalu dihukum. KPK menang seratus persen di pengdilan tipikor
hingga hari ini. Tidak sulit menandai bahwa penangkapan yang terjadi terkait
erat dengan soal Budi Gunawan.
Melumpuhkan KPK
Soalnya, kemasan ‘membalas tindakan’ sangat merendahkan
logika publik. Bambang Widjojanto (BW) disangkakan atas tindakan yang terjadi
pada tahun 2010, yaitu perkara Pemilukada Kota Waringin Barat (Kobar),
Kalimantan Tengah. BW disangkakan telah mengarahkan saksi untuk menyampaikan
keterangan palsu. Kasus tersebut sudah pernah diributkan, sudah pernah
dilaporkan dan entah bagaimana penyelesaiannya, tetapi sudah lama mereda
karena, konon, pengaduan sudah ditarik pelapornya.
Tiba-tiba saja kasus muncul lagi. Kasus telah dilaporkan
kembali ke Bareskrim Mabes Polri. Tanggal yang beredar pun ada dua versi, ada
yang tanggal 15 Januari, ada yang 19 Januari. Entah mana yang benar. Yang
jelas, pada 23 Januari kemarin, BW ditangkap setelah ditetapkan sebagai
tersangka. Ketua KPK Abraham Samad juga sedang dilaporkan. Bisa jadi, bila
publik tidak marah dan mengawal, Abraham ditetapkan pula sebagai tersangka.
Menjadikan komisioner KPK sebagai tersangka saat ini – dan
kita tahu bagaimana mudahnya menetapkan status tersangka – akan menyebabkan
sang komisioner menepi. UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), menyatakan bahwa komisioner yang ditetapkan
sebagai tersangka akan diberhentikan sementara dengan keputusan presiden.
Dikaitkan dengan masa jabatan pimpinan KPK yang saat ini hanya sampai
Desember nanti, bisa dipastikan tamatlah riwayat sang komisioner KPK bila
tidak dilakukan tindakan untuk mengeluarkan SP3.
Pimpinan KPK
saat ini yang tersisa tinggal empat orang setelah Busyro Muqoddas habis masa
jabatannya dan belum dipilih penggantinya. Dengan status tersangka BW, andai
dikeluarkan keppres pemberhentian sementara, jumlah pimpinan tinggal tiga
orang. Satu orang lagi saja pimpinan KPK ditersangkakan, KPK lumpuh. Proses
hukum terhadap mereka yang sudah dijadikan tersangka terancam tidak bisa
lanjut karena keputusan KPK bersifat kolektif kolegial.
Mau tidak
mau, atas nama akal sehat dan hati nurani yang tidak pernah menolak
kebenaran, harus dikeluarkan SP3 terhadap BW agar KPK tetap bisa bekerja
dengan baik. Kasus yang disangkakan kepada BW sangat tidak signifikan untuk
membuat gaduh republik ini.
Mereka yang
pernah bersidang di Mahkamah Konstitusi (MK) pasti tahu, apa yang dilakukan
BW untuk mengarahkan para saksi sebelum diajukan ke persidangan adalah hal
yang lumrah. Saksi-saksi yang diajukan jumlahnya banyak, dalam kasus sengketa
Pemilukada Kobar berjumlah 68 orang. Tidak semuanya berpendidikan.
Menghadapi
hakim konstitusi yang mulia, yang minimal bergelar doktor, bisa jadi baru
kali itu pula mereka menginjak ruang sidang MK yang mewah, para saksi
tersebut bisa sangat nervous. Apa yang diharapkan disampaikan jadi tidak
tersampaikan karena gugup dan tidak terbiasa dengan situasi persidangan.
Jangan bandingkan dengan para lawyer yang mampu bersilat lidah dalam situasi
apa pun.
Mengantisipasi
semua itu, seorang kuasa hukum biasanya akan mem-briefing para calon saksi,
apa yang sebaiknya disampaikan apa yang tidak. Tujuannya tidak lain agar
kesaksian mereka bisa memperkuat. Terlebih waktu untuk memberikan kesaksian
sering tidak lama, bisa kurang dari lima menit. Padahal, ongkos untuk
mendatangkan saksi tersebut sering tidak murah.
Meminjam
Mahfud MD, mantan Ketua MK, dalam wawancara di televisi, sepanjang kuasa
hukum tidak mengarahkan saksi untuk berbohong, hal itu lumrah saja. Saya
yakin seyakin-yakinya, BW bukanlah tipe penasihat hukum yang mau melakukan
segala cara untuk menang.
Integritas BW
Ketika baru
lulus kuliah dan mencoba melamar menjadi reporter di sebuah televisi swasta
pada sekitar tahun 1995, ada pertanyaan tertulis yang disodorkan kepada saya
yang berbunyi kurang lebih: apa yang Anda ketahui tentang konflik internal di
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Saat itu memang terjadi
gejolak di tubuh YLBHI menyangkut suksesi kepemimpinan pengganti Adnan Buyung
Nasution. BW yang masih junior dipilih untuk menjadi pengganti Adanan Buyung. Padahal, ada beberapa tokoh yang lebih
senior dari BW yang dipandang lebih pantas menjadi nakhoda YLBHI.
Jawaban saya
saat itu agak nyeleneh. “Dari semua
orang yang saat ini membuat gonjang-ganjing YLBHI, hanya Bambang Widjojanto
yang rajin salat. Saya tahu itu karena saya sering main ke YLBHI.” Begitu
jawaban saya pada waktu itu. Kebetulan sekitar tahun 1995, untuk waktu
sekitar satu bulan saja, saya pernah menjadi asisten pribadi Adnan Buyung.
Meski BW
adalah orang yang paling ‘sulit’ saya pahami ketika menjadi ketua tim
investigasi di MK sehubungan dugaan pemerasan yang dilakukan Akil Mochtar
pada tahun 2010 – selain BW, anggota tim lainnya Adnan Buyung, Bambang
Harymurti, dan Saldi Isra – saya percaya dengan integritas BW. Tentu nobody perfect, tapi BW, saya nilai,
salah seorang hamba hukum terbaik di republik ini.
Saya ikut
bersedih ketika membaca berita BW digelandang seperti maling ke Bareskrim
Mabes Polri, tetapi ikut bangga dan terharu ketika banyak orang – orang-orang
terdidik dan tidak dikomando, apalagi dibayar—membelanya. Hingga dinihari
saat BW dibebaskan, mereka tidak beranjak dari KPK.
Kepada para
penegak hukum dan kita semua, kita bisa mencari pembenaran untuk menutupi
kebenaran, bisa menunjuk kebenaran formal dan prosedural untuk menutupi
kebenaran sesungguhnya. Namun, satu hal, hati nurani, rasionalitas, dan akal
sehat publik tidak bisa dibungkam dengan kekuatan yang paling dahsyat
sekalipun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar