Sabtu, 24 Januari 2015

Hilirisasi

Hilirisasi

Arianto A Patunru  ;   Direktur Program Prisma Resource Center
KOMPAS, 24 Januari 2015

                                                                                                                                     


SEBUAH berita di harian ini diberi judul, ”Presiden Minta Hilirisasi Dipercepat” (Kompas, 28 November 2014). Diberitakan, Presiden Joko Widodo meminta ”percepatan hilirisasi industri sawit dalam negeri” karena ”menyerap lebih banyak tenaga kerja” dan ”meningkatkan nilai [tambah] dan volume ekspor produk sawit”.

Kebijakan ini bukan hanya untuk kelapa sawit. Pemerintah sering menerapkan kebijakan yang sama untuk komoditas lain. Dengan Undang-Undang Mineral dan Baubara dan turunannya, misalnya, pemerintah mendorong hilirisasi di sektor pertambangan mineral dan batu bara. Kebijakan ini juga bukan monopoli Indonesia. Negara lain, dari Afrika Selatan hingga Papua Niugini melakukan hal yang sama.

Maka, ”hilirisasi” punya banyak nama: downstreaming, beneficiation, value-adding, dan lain-lain. Semua berarti upaya meredam ekspor bahan mentah dan sebaliknya mendorong industri domestik untuk menggunakan bahan tersebut karena itu meningkatkan nilai tambah domestik (sembari menciptakan lapangan kerja). Nantinya, jika memang harus mengekspor, yang diekspor adalah barang jadi, hasil dari olahan bahan baku itu. Maka, eksporlah lipstik atau racikan kimia, bukan kelapa sawit. Eksporlah produk aluminium, bukan bauksit. Sisi ekstrem pandangan ini adalah ”lebih bagus” lagi tidak usah mengekspor apa pun, segala sesuatunya diproduksi dan dinikmati sendiri.

Apa pun namanya, hilirisasi perlu disikapi hati-hati. Salah satu pemikir awal ”teori” hilirisasi adalah Albert Hirschman (1958). Ia menganjurkan kebijakan ini dalam kerangka substitusi impor. Problemnya sekarang, substitusi impor adalah kebijakan usang yang sudah tak relevan. Dengan makin eratnya jaringan produksi regional dan global, hilirisasi langkah mundur: ia memaksakan relokasi sumber daya yang tidak sesuai dengan keunggulan komparatif negara bersangkutan.

Benar bahwa ”nilai tambah” dari logam lebih tinggi daripada nilai tambah dari bijih besi. Tapi, tambahan nilai pada tahap pemrosesan itu harus datang dari sumber lain. Dengan demikian, ada sektor lain (misalnya pakaian atau sepatu) yang dikorbankan, karena pekerja dan modalnya direlokasikan ke pemrosesan bijih besi menjadi logam (atau bauksit ke alumina ke aluminium atau dari perkebunan sawit ke pengolahan sawit).

Proses pemurnian ini perlu modal sangat besar, sesuatu yang masih berat bagi Indonesia. Sering kali, nilai tambah ”domestik” justru datang dari luar (diberitakan, misalnya, konglomerasi Rusia, Vi Holding, akan masuk ke Indonesia untuk mendirikan pabrik pemurnian bauksit jadi alumina, demi memasok pabrik aluminium Vi di Tiongkok).

Perbaiki iklim investasi

Pertimbangan lain dari hilirisasi selain peningkatan nilai tambah domestik adalah penciptaan lapangan kerja. Tapi tahun 1997 pun Athukorala dan Santosa sudah menunjukkan bahwa industri ekspor dengan keterkaitan domestik yang rendah di Indonesia justru mampu memberikan kontribusi lapangan kerja dan pendapatan ekspor yang lebih besar. Replikasi atas studi Athukorala-Santosa dengan data lebih baru (Patunru, 2014; Swasito, 2014), masih mengonfirmasi kesimpulan tersebut.

Karena itu, menghambat ekspor bahan mentah dengan tujuan peningkatan nilai tambah domestik bisa jadi kebijakan yang sangat mahal dan bertentangan dengan transformasi ekonomi yang alamiah. Kebijakan yang lebih tepat adalah perbaikan infrastruktur dan iklim investasi. Kebijakan seperti ini tidak perlu diwarnai favoritisme (identifikasi sektor tertentu dan karena itu industri bahkan pengusaha tertentu. Ia juga tak menutup kemungkinan terciptanya sektor-sektor baru yang saat ini belum ada, tetapi dimungkinkan oleh transformasi yang sesuai perkembangan keunggulan komparatif. Sementara itu, perbaikan SDM (lewat pendidikan dan sarana kesehatan yang lebih baik) memungkinkan pergerakan yang lebih mulus ke industri bernilai tambah lebih tinggi tanpa kebijakan artifisial yang dipaksakan.

Hausmann (2014) bercerita tentang Finlandia. Negara berlimpah pohon itu sukses bukan karena mengekspor perabot, tetapi justru mulai dengan mengekspor kayu. Agar bisa lebih sukses dalam ekspor kayu, orang Finlandia belajar memotong pohon dengan lebih efisien. Mereka membuat mesin pemotong pohon. Lalu mereka sadar, mereka bisa membuat mesin pemotong bahan lain, seperti logam. Lantas mereka menemukan teknik pemotongan otomatik. Dengan menguasai teknik otomatisasi, mereka mampu masuk ke industri yang lebih rumit: lahirlah Nokia.

Saat ini Finlandia sukses mengekspor mesin dan alat elektronik. Sementara itu, wilayahnya tetap hijau dengan tutupan hutan terluas di Eropa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar