Hilirisasi
Arianto A Patunru ; Direktur Program Prisma Resource Center
|
KOMPAS,
24 Januari 2015
SEBUAH berita di harian ini diberi judul, ”Presiden Minta
Hilirisasi Dipercepat” (Kompas, 28
November 2014). Diberitakan, Presiden Joko Widodo meminta ”percepatan
hilirisasi industri sawit dalam negeri” karena ”menyerap lebih banyak tenaga
kerja” dan ”meningkatkan nilai [tambah] dan volume ekspor produk sawit”.
Kebijakan ini bukan hanya untuk kelapa sawit. Pemerintah
sering menerapkan kebijakan yang sama untuk komoditas lain. Dengan
Undang-Undang Mineral dan Baubara dan turunannya, misalnya, pemerintah
mendorong hilirisasi di sektor pertambangan mineral dan batu bara. Kebijakan
ini juga bukan monopoli Indonesia. Negara lain, dari Afrika Selatan hingga
Papua Niugini melakukan hal yang sama.
Maka, ”hilirisasi” punya banyak nama: downstreaming,
beneficiation, value-adding, dan lain-lain. Semua berarti upaya meredam
ekspor bahan mentah dan sebaliknya mendorong industri domestik untuk
menggunakan bahan tersebut karena itu meningkatkan nilai tambah domestik
(sembari menciptakan lapangan kerja). Nantinya, jika memang harus mengekspor,
yang diekspor adalah barang jadi, hasil dari olahan bahan baku itu. Maka,
eksporlah lipstik atau racikan kimia, bukan kelapa sawit. Eksporlah produk
aluminium, bukan bauksit. Sisi ekstrem pandangan ini adalah ”lebih bagus”
lagi tidak usah mengekspor apa pun, segala sesuatunya diproduksi dan
dinikmati sendiri.
Apa pun namanya, hilirisasi perlu disikapi hati-hati.
Salah satu pemikir awal ”teori” hilirisasi adalah Albert Hirschman (1958). Ia
menganjurkan kebijakan ini dalam kerangka substitusi impor. Problemnya
sekarang, substitusi impor adalah kebijakan usang yang sudah tak relevan.
Dengan makin eratnya jaringan produksi regional dan global, hilirisasi
langkah mundur: ia memaksakan relokasi sumber daya yang tidak sesuai dengan
keunggulan komparatif negara bersangkutan.
Benar bahwa ”nilai tambah” dari logam lebih tinggi
daripada nilai tambah dari bijih besi. Tapi, tambahan nilai pada tahap
pemrosesan itu harus datang dari sumber lain. Dengan demikian, ada sektor
lain (misalnya pakaian atau sepatu) yang dikorbankan, karena pekerja dan
modalnya direlokasikan ke pemrosesan bijih besi menjadi logam (atau bauksit
ke alumina ke aluminium atau dari perkebunan sawit ke pengolahan sawit).
Proses pemurnian ini perlu modal sangat besar, sesuatu
yang masih berat bagi Indonesia. Sering kali, nilai tambah ”domestik” justru
datang dari luar (diberitakan, misalnya, konglomerasi Rusia, Vi Holding, akan
masuk ke Indonesia untuk mendirikan pabrik pemurnian bauksit jadi alumina,
demi memasok pabrik aluminium Vi di Tiongkok).
Perbaiki iklim investasi
Pertimbangan lain dari hilirisasi selain peningkatan nilai
tambah domestik adalah penciptaan lapangan kerja. Tapi tahun 1997 pun
Athukorala dan Santosa sudah menunjukkan bahwa industri ekspor dengan
keterkaitan domestik yang rendah di Indonesia justru mampu memberikan
kontribusi lapangan kerja dan pendapatan ekspor yang lebih besar. Replikasi
atas studi Athukorala-Santosa dengan data lebih baru (Patunru, 2014; Swasito, 2014), masih mengonfirmasi kesimpulan
tersebut.
Karena itu, menghambat ekspor bahan mentah dengan tujuan
peningkatan nilai tambah domestik bisa jadi kebijakan yang sangat mahal dan
bertentangan dengan transformasi ekonomi yang alamiah. Kebijakan yang lebih
tepat adalah perbaikan infrastruktur dan iklim investasi. Kebijakan seperti
ini tidak perlu diwarnai favoritisme (identifikasi sektor tertentu dan karena
itu industri bahkan pengusaha tertentu. Ia juga tak menutup kemungkinan
terciptanya sektor-sektor baru yang saat ini belum ada, tetapi dimungkinkan
oleh transformasi yang sesuai perkembangan keunggulan komparatif. Sementara
itu, perbaikan SDM (lewat pendidikan dan sarana kesehatan yang lebih baik)
memungkinkan pergerakan yang lebih mulus ke industri bernilai tambah lebih
tinggi tanpa kebijakan artifisial yang dipaksakan.
Hausmann (2014) bercerita tentang Finlandia. Negara
berlimpah pohon itu sukses bukan karena mengekspor perabot, tetapi justru
mulai dengan mengekspor kayu. Agar bisa lebih sukses dalam ekspor kayu, orang
Finlandia belajar memotong pohon dengan lebih efisien. Mereka membuat mesin
pemotong pohon. Lalu mereka sadar, mereka bisa membuat mesin pemotong bahan
lain, seperti logam. Lantas mereka menemukan teknik pemotongan otomatik.
Dengan menguasai teknik otomatisasi, mereka mampu masuk ke industri yang
lebih rumit: lahirlah Nokia.
Saat ini
Finlandia sukses mengekspor mesin dan alat elektronik. Sementara itu,
wilayahnya tetap hijau dengan tutupan hutan terluas di Eropa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar