Memberadabkan
Kembali Negara
Umbu TW Pariangu ; Dosen Fisipol Undana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Januari 2015
SEBUAH tulisan di Kompasiana
(17/1), berjudul Rumah Kaca Abraham Samad memantik kontroversi. Penulisnya
menceritakan adanya pertemuan yang dilakukan Abraham dengan petinggi partai
politik terkait proses pencalonannya sebagai cawapres pada Pilpres
2014.Abraham disebut-sebut melakukan pendekatan dengan petinggi PDIP dalam
enam pertemuan rahasia untuk dijadikan cawapres Jokowi.
Abraham sudah mengklarifikasinya
dengan menganggap tulisan tersebut fitnah. Menurut juru bicara KPK Johan
Budi, tak ada yang salah bagi komisioner untuk melakukan pertemuan dengan
siapa pun. Yang penting adalah substansi pertemuan tersebut. Senada dengannya
mantan Ketua MK Mahfud MD mengatakan pertemuan tersebut sebuah kewajaran.
Hanya, menurutnya, tak baik bagi seorang penegak hukum untuk memberikan
janji-janji (Metrotvenews.com, 22/1).
Berselang waktu kemudian Plt
Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, justru membenarkan tulisan tersebut. “...bahwa banyak pertemuan yang dilakukan
sekurang-kurangnya dengan para petinggi kedua parpol (PDIP dan NasDem) dalam
kaitan dengan pencalonan Abraham Samad sebagai calon wakil presiden,“
kata Hasto di eks kantor tim sukses pemenangan Jokowi-JK, Jalan Cemara,
Jakarta Pusat (22/1). Ia pun sudah menyiapkan bukti-bukti antara lain berupa
foto-foto pertemuan yang akan di sampaikannya di Komisi Etik.
Belum reda kontroversi `rumah
kaca', sebuah kejut an mencuat terkait penangkapan mendadak terhadap
Komisioner KPK, Bambang Widjojanto (BW) oleh Badan Reserse Kriminal Polri
(23/1). BW diduga menyuruh saksi memberikan keterangan palsu di persidangan
MK terkait kasus pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, pada 2011.BW
dianggap memiliki konflik kepentingan dengan pasangan calon Bupati dan Calon
Wakil Bupati Tapanuli Tengah nomor urut tiga, Dina Riana Samosir dan Hikmal
Batubara, karena pernah menjadi kuasa hukum pasangan tersebut. Namun,
penangkapan BW dianggap menabrak prosedur karena ia belum pernah diperiksa
sebelumnya. Dalam pertemuan di Istana Bogor, Presiden Joko Widodo pun menegas
kan tak boleh ada saling gesek di antara KPK dan Polri (Metro tvnews.com, 23/1).
Publik khawatir
Mirisnya, fenomena di atas terjadi
di tengah hujan lebat dukungan publik terhadap marwah komisi
antirasywah.Publik dengan akal warasnya tentu tak ingin KPK yang selama ini
memiliki kewenangan super terseret dalam pusaran pragmatis. Kita tahu spirit
dasar terbentuknya KPK di masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri ialah
mendesain sebuah lembaga super body yang memiliki kewenangan investigasi yang
steril dari intervensi politik apa pun (Widyoko,
2012: 237).
Pada saat itu lembaga penegak
hukum konvensional yang ada masih kesulitan untuk menjalankan fungsinya. KPK
pun hadir ketika struk tur negara modern memfasilitasi produksi, distribusi
dan konsumsi material (fulus, barang, jasa) berada sepenuhnya dalam otoritas
politik atau dalam kewenangan penyelenggara negara. Pada kekuasaan yang
bersifat akumulatif ini, terjadi resiprokal kepentingan di kalangan
birokrasi, swasta, lembaga politik maupun peradilan lewat berbagai pola
upeti, balas jasa, manipulasi suara maupun metode-metode buruk lain untuk
menyelamatkan kepentingan kekuasaan.
Dengan dituntun oleh maksim
kesejahteraan diri/parsial, kalangan tersebut mendesain monopoli kewenangan
koruptif dan diskresi rawan korupsi untuk membangun jaringan yang rapi dan
terstruktur agar hubungan transaksi ilegal dapat berlangsung jangka panjang
demi keberlangsungan karier kriminal mereka (Lambsdorf, 2007). Itu sebabnya pencegahan habitus korupsi butuh
ketekunan dan militansi karena ia telah menginternalisasi di tubuh negara
sebagai sebuah way of life (cara
hidup) yang mendapat pembenaran oleh kinerja institusi hukum dan partisipasi
publik yang belum maksimal.Kini, pedang antikorupsi yang sudah diasah
bertahun-tahun oleh KPK sedang diuji ketajaman dan objektivitasnya.
Mungkin
sebagian kita tidak memercayai `demam' reputasi bisa diidap KPK dengan jejak
rekam orang-orang yang piawai hukum dan berintegritas. Namun, KPK berisi
manusia biasa juga. KPK membutuhkan afirmasi dan pengawalan publik untuk
menunjukkan sejauh mana posisinya dalam sentra pemberantasan korupsi masih on the track.
Yang pasti, fenomena di atas
membantu kita untuk memungut dua hikmah penting. Pertama, maraknya indikasi
politisasi hukum dalam berbagai kasus korupsi merupakan kelemahan dari spirit
pemberantasan korupsi kita yang selalu merujuk pada `tekanan' good governance (Khan, 2006 dan Putra 2009).
Pemberantasan korupsi dijadikan
sebagai proyek yang menekankan efisiensi, efektivitas, dan kemurnian
kompetisi dalam pasar. Korupsi harus ditekan agar tercipta ruang bagi terja
minnya investasi. Korupsi diberantas bukan karena memang ia dapat merusak
moral termasuk kohesivitas dan modal sosial, tetapi supaya investor dapat
dengan mudah menanamkan investasinya sehingga bisa memberikan profit bagi
negara (kekuasaan) termasuk bagi kaum prokapitalis.
Akibatnya, gerak penindakan
korupsi tidak pernah mampu mengembalikan kerugian negara secara maksimal
karena dilakukan secara tidak tulus dan diskriminatif. Banyak produk hukum
yang terlihat sumbing dan menggerogoti rasa keadilan publik karena lebih
mencerminkan kepentingan ideologis dan politik. Ke depan, selain dibutuhkan
institusionalisasi pencegahan, eliminasi korupsi juga butuh transformasi
gerakan kolektif akar rumput yang mengontrol dan menekan elite struktur
kekuasaan untuk menjalankan prinsip pemerintahan yang bersih. Ia semacam
patungan keringat seluruh elemen masyarakat untuk melawan berbagai praktik
ketidakadilan dalam pelayanan publik yang merupakan embrio lahirnya korupsi.
Dengan demikian, habitus korupsi tidak sekadar menjadi kesadaran mekanik,
tetapi menjadi sebuah kesadaran kolektif yang berdaya tahan lama.
Sinergis
Kedua, segala persekongkolan
kepentingan yang coba disembunyikan kelak akan tersibak juga di tengah arus
besar demokrasi yang kian kencang mencari titik pelembagaannya. Karena itu,
dua dugaan kasus di atas perlu dicarikan solusi yang cepat dan bijak. Dalam
kontroversi `rumah kaca' perlu diungkap seterang-terangnya agar tak ada dusta
di antara para pejabat publik dan politisi. Sebab jika tidak, ia bisa menjadi
bola salju liar yang berpotensi melahirkan kegaduhan dan perseteruan di
antara lembaga negara.Saran Editorial Media Indonesia (22/1), terkait
perlunya komisi etik, untuk mengungkap seterang-terangnya dugaan pelanggaran
tersebut sangat tepat agar masalah ini tidak menjadi bola liar di tengah
masyarakat yang tengah gundah.
Bagaimanapun semangat
pemberantasan korupsi tidak boleh dipadamkan. KPK, Polri, dan kejaksaan tanpa
spirit egosektoral, beserta seluruh elemen rakyat perlu merajut sebuah
sinergisitas baru untuk memberadabkan negara dengan menyelamatkan bangsa ini
dari perangai patologis korupsi. Nilai kebaikan dan etis hanya bisa terwujud
jika para pucuk pimpinan di tiap-tiap lembaga negara mampu mengendalikan diri
serta memberikan teladan yang positif dalam mengelola fungsi dan tanggung
jawabnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar