Moment
of Truth bagi Polri
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi Forensik, The University of
Melbourne
|
KORAN
SINDO, 24 Januari 2015
“Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.”
Kalau mau konsekuen dengan perkataan Allah bahwa manusia adalah gudangnya
alpa, maka masyarakat semestinya tidak bisa menganggap Wakil Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto sebagai manusia bertabiat
nabi.
Begitu pula jika mau berpedoman pada mazhab behaviorism
bahwa manusia bisa belajar sepanjang hayat, maka publik sepatutnya tidak bisa
menolak mentah-mentah langkah hukum yang Polri ambil terhadap wakil ketua KPK
itu. Tidak tertutup kemungkinan operasi kilat kemarin pagi itu adalah wujud
membaiknya profesionalitas Polri. Namun, faktanya sedemikian benderang.
Bisa dibilang, apa pun yang KPK lakukan, dukungan masif
langsung mengalir. Demikian pula ketika petinggi dan personel komisi
antirasuah itu disebut-sebut bermasalah hukum, barikade fisik, dan opini
serta-merta tegak berdiri menjaga mereka. Di seberangnya adalah korps
Tribrata.
Terlebih manakala bersangkut paut dengan penindakan kasus
korupsi, hingga kini masih terdapat skeptisisme besar terhadap kesungguhan
Polri. Khalayak cenderung abai terhadap kenyataan bahwa, sebagaimana
dinyatakan Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad, niscaya ada personel-personel
Tribrata yang berwatak lurus dan bertentangan dengan stigma negatif Polri.
Cara pandang di atas memang sarat bias. Komunitas
psikologi menyebutnya sebagai availability bias. Bias semacam itu terbentuk
antara lain akibat ekspos media. Polri tampaknya lebih sering ditampilkan
dengan penekanan pada serbaneka sisi negatifnya,sedangkan KPK lebih sering
ditangkap pengindraan pemirsa dengan rupa-rupa kegemilangannya menggilas
koruptor.
Pewartaan tersebut pada gilirannya membentuk keyakinan
publik pada “realita sosial” bahwa KPK adalah baik dan Polri adalah tidak
baik. Kalangan yang yakin bahwa pola pikir terbaik harus berbasis pada
rasionalitas sempurna, tentu akan menilai pemikiran bias sebagai cacat
kognitif yang akan berujung pada kekeliruan.
Semakin
banyak data atau informasi tentang suatu hal, semakin akurat pula keputusan
dihasilkannya. Sebaliknya, ada pula kelompok pemikir yang menganggap
rasionalitas sempurna sebagai kemustahilan. Manusia, dalam teori mereka,
hampir selalu untuk tidak mengatakan selalu berpola pikir jalan pintas atau
heuristic.
Pola pikir
jalan pintas, karena bersifat kodrati, tidak bermutu rendah. Heuristic,
berdasarkan banyak riset, justrukerapmenghasilkan simpulan ataupun putusan
yang lebih berkualitas daripada rasionalitas sempurna. Rasionalitas versus
heuristic; membawanya ke dalam konteks penangkapan Bambang Widjojanto (baca:
pertikaian KPK dan Polri), pola kognitif mana yang sebaiknya dikenakan?
Kendati
masyarakat luas tak terkecuali saya angkat topi terhadap kinerja KPK, kurang
baik apabila dukungan terhadap KPK ditegakkan di atas proses berpikir jalan
pintas. KPK harus terus dikawal secara kritis. Setali tiga uang, sikap kontra
terhadap kerja Polri tidak elok dibangun di atas bias. Polri patut terus
memperoleh kepercayaan untuk maju. Karena Polri adalah lembaga penegakan
hukum, korps tersebut perlu diberikan kesempatan untuk menjalankan fungsinya
itu terhadap Bambang Widjojanto.
Polri pantas
diberikan tantangan bahwa mereka tidak bermain api, apalagi menjadi instrumen
politik, saat menangkap sosok yang sudah sedemikian gigih memerangi korupsi.
Konkretnya, karena Polri mengaku telah memiliki tiga alat bukti, maka
semestinya tidak butuh waktu terlalu lama bagi Polri untuk mematahkan syak
wasangka publik lewat terselenggaranya persidangan atas Bambang.
Hanya dengan
mekanisme seperti itulah masyarakat dapat diajak untuk berpikir secara
rasional sempurna sekaligus mengesampingkan sentimen apriori mereka. Apabila
proses hukum benarbenar membuktikan bahwa Bambang bersalah, Polri patut
menerima apresiasi. Ibarat pemain akrobat sirkus, mereka mampu menegakkan
kebenaran dengan meniti tipisnya tali dukungan publik yang membentang di atas
kobaran api antipati.
Tetapi
sebaliknya, andaikan Polri gagal membuktikan apa yang mereka tuduhkan
terhadap Bambang, bahkan justru menelanjangi diri mereka sendiri seiring
terkuaknya berbagai rekayasa hukum, maka institusi tersebut pantas menerima
ganjaran keras. Sanksi terberatnya adalah, seperti yang dilakukan otoritas
Veracruz di Meksiko pada 2011 silam, pembubaran institusi kepolisian.
Di wilayah
tersebut, seluruh petugas kepolisian dan staf administrasi diberhentikan
sebagai cara untuk membersihkan lembaga kepolisian dari korupsi.
Pengambilalihan peran polisi oleh militer telah beberapa kali dilakukan di
sana. Namun, baru kali itulah pembubaran total diambil sebagai solusi.
Setelah
di-PHK, mantan polisi dan staf administrasi bisa melamar serta memperoleh
pekerjaan kembali, asalkan berhasil melalui proses seleksi yang jauh lebih
ketat. Dan selama itu belum berhasil direalisasikan, tentara terus ditugasi
untuk bekerja laiknya polisi. Waldo City Council, Amerika Serikat tahun lalu
pun menunjukkan ketegasan serupa berupa pembubaran institusi kepolisian
setempat.
Penyebabnya,
lagilagi, adalah penyalahgunaan kewenangan yang kronis oleh kepolisian.
Berabad sebelum itu, Gubernur Hong Kong Sir Henry Pottinger juga memutuskan
pemberhentian seluruh personel polisi Hong Kong dan menjadikan tentara
sebagai penggantinya.
Pembubaran lembaga kepolisian memang tidak
melulu disebabkan oleh masalah dekadensi moral organisasi dan personel (institutional reason). Contingency reason, berupa pengetatan
anggaran, juga merupakan faktor lain. Namun seiring perjalanan waktu,
tuntutan besar akan pembubaran institusi kepolisian memang kian didominasi
oleh masalahmasalah terkait tindaktanduk buruk aparat kepolisian.
Langkah
revolusioner sedemikian rupa memang dapat berisiko pada meningginya frekuensi,
variasi, dan intensitas kejahatan. Namun jika militer memiliki kesiapan untuk
mengantisipasi rangkaian problem susulan tersebut, pemvakuman lembaga
kepolisian untuk sementara waktu tetap merupakan sebuah opsi yang patut
dipertimbangkan guna memurnikan organisasi tersebut.
Tentu, hanya
pemerintah dan DPR yang tangguh lagi istikamah yang siap meletakkan opsi
tersebut di atas meja. Pembubaran institusi kepolisian adalah harga mahal.
Luar biasa mahal. Namun, simpulan riset Jennifer Marek (2013) dapat menjadi
penggedor semangat. Bahwa, persepsi publik akan korupnya lembaga kepolisian
berhubungan secara signifikan dengan pandangan masyarakat bahwa pemerintah
mereka pun bergelimang dalam kebusukan yang sama. Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar