Ulah
Migran di Negeri Voltaire
Aboeprijadi Santoso ; Wartawan di Amsterdam
|
KORAN
SINDO, 23 Januari 2015
Penjaga pompa bensin asal Aljazair di Desa Dumartin, dekat
Bandara Charles de Gaulle, itu ogah diwawancarai koran Le Parisien. "Aku tak peduli ulah mereka,"
ujarnya tentang tiga teroris yang membantai sepuluh redaktur dan dua agen
polisi pada mingguan satire Charlie Hebdo. Lalu, dengan nada keras, dia
mengumpat: "Dua belas mati?! Anda
tahu berapa ribu orang mati setiap hari di Libya, berapa ratus ribu di
Suriah, dan entah berapa lagi di tempat lain."
Ungkapan itu bak sepotong cermin dari sebuah gambar besar.
Paris juga ibu kota dari sebuah imperium dengan tangan-tangan kuasa yang ikut
bermain di berbagai pergolakan di Timur Tengah dan Afrika Utara. Nasib
Palestina dan Gaza, aniaya ala Abu Ghraib, dan-yang terbaru-lautan pengungsi
Suriah dan Libya menjadi simbol-simbol tragedi kekinian yang berkontras tajam
dengan kejayaan peradaban masa silam. Kontras-kontras yang dihayati seperti
itulah yang, menurut sejarawan Karen Armstrong, mengendap dalam sanubari dan
melatarbelakangi ulah kekerasan kelompok-kelompok muslim radikal-seperti juga
di kalangan migran di Eropa.
Di atas semua itu, Aljazair merupakan pengalaman
pasca-kolonial tersendiri. Di Prancis mereka merupakan warisan dari perang
pembebasan pada 1950-an dan kemelut politik pasca-kolonial yang traumatik.
Bukan kebetulan, empat dari lima pelaku teror di Paris itu, termasuk seorang
perempuan yang lolos, adalah asal Aljazair. Kaum Aljir-Prancis inilah bagian
terbesar (5 juta) dari migran muslim terbesar (6 juta dari 60 juta penduduk
Prancis) di Eropa.
Tujuh tahun silam, sosiolog Prancis, Olliver Roy-yang saya
tulis di kolom ini (Tempo, 7 April 2008)-mencari
latar belakang rangkaian teror di Eropa pada proses akulturasi migran yang
gagal. Kini, krisis Suriah dan Irak menjadi pukulan balik, memusnahkan
harapan yang tersisa pada "Musim Semi Arab", menyulut api baru di
Afrika Utara dan Tengah, serta mengakibatkan dua juta pengungsi tumpah-ruah
di seluruh kawasan. Dalam kurun hanya dua tahun, semua itu memperkenalkan
sebuah fenomena baru: Eropa yang "merapat" ke kancah pergolakan
membuat penguasa Eropa pusing dan masalah integrasi migran jadi kedaluwarsa.
Ratusan dari mereka memilih menjadi mujahidin-dalam
istilah Barat: jihadist, yang hilir-mudik dari Eropa lewat Turki menuju ajang
perang di Alepo, Suriah Utara, serta ladang minyak Kurdi dan Irak. Eropa
dengan demikian menyediakan sumber daya baru yang menciptakan kekuatan
politik sejak para migran muslim radikal menukar kegalauan mereka selaku
minoritas dalam penghidupan yang marginal di Eropa, dengan komitmen juang dan
aksi untuk kelompok-kelompok Al-Qaidah, Al-Nusra atau demi cita-cita dari
suatu konglomerat politik yang mereka namakan "Khilafah ISIS"
(Negara Islam Suriah dan Levant). Paling sedikit 900-an
sukarelawan-cum-mujahidin dari Jerman, Belanda, Belgia, Inggris, dan Prancis
telah terjun ke medan perang. Sebagian kembali, sebagian tewas di sana.
Keempat pelaku teror di Paris itu pun semuanya terlibat persiapan dan
infrastruktur "misi" tersebut.
Walhasil, kelompok migran itu tak lagi terbenam dan
terhina di satu dunia, melainkan bangkit serentak di dua dunia. Apa boleh
buat, selaku minoritas besar, mereka tak terwakili di parpol, di parlemen,
maupun melalui media massa Prancis. Tapi mereka menyimpan kepedulian di kedua
dunia mereka. Mirip kakak-adik Tsarnaev yang mencium sikon Chechnia dan
Dagestan sebelum mengguncang maraton di Boston, Amerika Serikat, dua tahun
silam, Kouachi bersaudara di Paris itu pun bukan serigala-serigala liar yang
bergerak sorangan (lone wolves),
melainkan bagian dari suatu keterlibatan berjarak-jauh (long-distance engagement) yang intens. Boleh jadi, mereka bukan
bagian dari gerakan sektarian dan ekstremis yang sama. Namun, meski
dibesarkan di Eropa, keterlibatan berjarak itu "membebaskan" mereka
dari kemarginalan di bawah ketiak Republik Prancis.
Mingguan Charlie Hebdo, yang hidup dengan satire,
mengolok-olok penguasa, politikus, dan setiap figur otoritas, termasuk paus,
nabi, dan siapa pun yang diperlakukan "sakral" berkat otoritasnya,
menjadi sasaran. Bagi anak-cucu Voltaire dan Emile Zola, kemerdekaan itu tak
bisa ditawar-tawar-sekalipun asas yang sakral bagi yang satu bisa melahirkan
provokasi bagi yang lain, meski itu pun tak selalu (dan tak perlu) bermakna
penghinaan. Tragisnya, benturan antara kartunis yang berdalih kebebasan
berekspresi dan mereka yang membajak nama agama itu menjadi niscaya ketika
kedua pihak berimajinasi tentang sebuah sosok simbolik yang sama,
"Mahomet", yang sesungguhnya tak seorang pun tahu seperti apa wujud
sebenarnya. Dengan kata lain, benturan itu tak perlu terjadi karena dia sebenarnya
terjadi atas dasar ilusi belaka.
Dunia tak
serta-merta menyamakan ulah para teroris itu dengan "Islam" dan
waspada bahwa parade "kebebasan berbicara" itu menyimpan banyak
hipokrisi. Hipokrisi dari seruan "Je Suis Charlie" (Saya Charlie)
di Paris, tapi membiarkan teror negara, menindas demokrasi dan kemerdekaan
berbicara di negeri sendiri, hingga hipokrisi yang mengabaikan tangan-tangan
mereka yang memainkan intervensi politik dan bisnis senjata di
kawasan-kawasan Timur Tengah dan Afrika, yang pada gilirannya turut menyulut
bara di Paris. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar