Benih
Samuel Mulia ; Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
25 Januari 2015
Saya sedang menikmati acara makan siang di sebuah rumah
makan dekat kantor. Tepat di meja yang bersebelahan, duduk seorang wanita
tua, wanita muda, dan seorang anak laki-laki kira-kira berusia delapan tahun.
Saya berasumsi bahwa itu adalah seorang nenek, putri atau menantu serta anak
sekaligus cucunya.
Terbiasa
Tak lama kemudian, si kecil meminta pertolongan kepada
wanita tua itu, dan wanita tua itu menolak untuk memberikan pertolongan
karena tampak ia sedang bermaksud mengajarkan sesuatu kepadanya.
Tapi, yang membuat tercengang dan makan siang saya
terganggu, melihat reaksi si kecil yang naik pitam dan langsung menoyor dan
menampar ringan pipi wanita tua itu. Dan lebih membingungkan lagi, wanita
muda yang ternyata ibu si kecil hanya bereaksi dengan berkata, ”Ayo...
(menyebut nama anak), jangan gitu.”
Beberapa minggu setelah kejadian itu, saya berada di dalam
lift. Di lantai ke sekian, lift terbuka dan sepasang suami istri bersama
bayinya yang duduk di dalam kereta dorong bermaksud untuk masuk ke dalam
lift.
Tiba-tiba, ketika mulut kereta dorong itu mencapai mulut
lift, seorang pria dewasa, tinggi, secara tiba-tiba menyelak masuk ke dalam
lift tanpa berniat untuk mempersilakan pasangan dan bayinya untuk masuk
terlebih dahulu.
Pria ini seperti ketakutan untuk tidak mendapat tempat di
dalam lift sehingga ia tampak tak peduli. Mungkin ia berpikir, yang penting
saya masuk dulu. Saya kemudian melihat reaksi wajah si ibu yang kesal, tapi
tak berani menegur menyaksikan kejadian yang baru saja dialaminya.
Kedua kejadian itu membuat saya berpikir bagaimana anak
kecil dan pria dewasa itu mampu melakukan hal yang demikian. Bagaimana pria
dewasa itu bisa berpikir bahwa keputusannya untuk menyelak adalah suatu hal
yang benar dan santun untuk dilakukan?
Di manakah ia letakkan perasaan dan pemikirannya ketika ia
sedang diam berdiri menatap ketiga makhluk itu masuk ke dalam lift dengan
sedikit bersusah payah? Di manakah letak perasaan si ibu muda melihat anaknya
menampar pipi neneknya hanya dengan berkata ”jangan gitu”, sambil tetap
menyantap makan siangnya itu tanpa merasa bersalah?
Kemudian seperti biasa, otak saya mulai berpikir. Kalau
seseorang mampu melakukan hal seperti kedua kejadian di atas, mungkin mereka
telah melakukan itu berulang kali banyaknya. Pengulangan perilaku itu
melahirkan kebiasaan.
Kebiasaan mengeluarkan kalimat ”jangan gitu”, kebiasaan
terlalu mencintai cucu, anak, menantu, secara tidak bijak. Kebiasaan
menyelak, kebiasaan melatih untuk menjadi egois, kebiasaan mendapat perilaku
yang tidak adil di masa lalu. Kebiasaan menabur benih di masa kecil di tanah
yang tidak tepat sehingga semua itu mampu membutakan nurani di masa dewasa.
Latihan suara hati
Ketika perasaan kesal telah reda dari hati setelah melihat
kedua kejadian itu, maka sejuta pertanyaan datang menghampiri saya. Bagaimana
mungkin seseorang yang telah mampu berpikir sebagai makhluk dewasa, artinya
ketika seseorang mampu mengetahui salah dari benar, mengetahui sopan dari
tidak sopan, mampu melihat dan membaca sejuta peraturan dalam menjalani
kehidupan sosial, mereka masih bisa melakukan hal yang demikian?
Apakah ketika manusia menjadi dewasa, ketika otaknya
seharusnya bisa menolongnya berpikir dengan benar, dan ternyata ia masih
tetap mampu melakukan ketidakbenaran, maka itu terjadi karena benih yang
ditanam di masa lalu itu, memegang peranan yang jauh, jauh lebih penting,
ketimbang otak dewasanya?
Benar bahwa seseorang bukan anak kecil lagi, tetapi apakah
eksekusi yang dilakukan di masa dewasa ternyata adalah manifestasi dari benih
yang ditabur di tanah yang tidak subur di masa kecilnya dahulu?
Ketika otaknya mampu berpikir, bahkan berpikir dengan
tingkat IQ di atas rata-rata, ketika ia mendapat pengalaman dan pendidikan
yang cukup dalam hidup ini, itu sama sekali tak menjamin bahwa ia akan
melakukan pertanggungjawaban sebagai makhluk dewasa.
”Masa kecil gue juga gak dapat asupan yang baik. Mana gue
kagak pernah tahu babe gue siapa. Tapi gue tahu kok sopan santun.” Demikian
cerita teman saya dengan suaranya yang tinggi ketika ia selesai mendengar
cerita saya itu.
Sungguh saya tak tahu, yang mana benar dan yang mana
salah. Saya hanya berpikir, asupan jasmani dan rohani boleh saja tidak cukup
atau cukup, otak boleh saja tidak encer atau encer sekali, tetapi mungkin
latihan mendengar suara hati adalah kunci segalanya.
Latihan itu
perlu karena suara hati memang memberitahu kebenaran, tetapi otak dengan
sejuta alasan sering kali memanipulasi. Mungkin kedua peristiwa di atas
sebuah bukti bahwa latihan mendengar suara hati masih perlu dilakukan lebih
sering lagi meski benih yang ditabur di masa lalu kadang mematahkan semangat
melakukan latihan itu. Mungkin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar