Minggu, 25 Januari 2015

Sindrom Wanita Manis Budi dan Feminin

Sindrom Wanita Manis Budi dan Feminin

Sawitri Supardi Sadarjoen  ;   Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
KOMPAS, 25 Januari 2015

                                                                                                                                     


Bila kita ingin mendapat sebutan ”wanita yang manis budinya dan feminin”, bagaimanakah sebaiknya berperilaku? Dalam situasi yang memicu kemarahan, wanita dituntut untuk bersikap tenang, manis, atau paling-paling air mata boleh meleleh, menyalahkan diri sendiri, atau merasakan sakit hati yang tiada tara.
Bila kita sebagai wanita marah, kita akan menyimpan kemarahan itu dalam diri kita agar kemungkinan konflik dengan lingkungan dapat kita hindari. Namun, ternyata kita tidak hanya menahan kemarahan dalam diri kita, tetapi juga menghindarkan diri dari upaya membuat pernyataan yang jelas tentang apa yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan.

Apalagi, bila kemudian kita menduga bahwa penjelasan yang kita lakukan bisa membuat orang lain tersinggung, merasa tidak nyaman, dan membuat kita tampak sangat berlainan dengan orang-orang yang berada di sekitar kita, atau bahkan memicu konflik terbuka dengan lingkungan. Dengan demikian, pada dasarnya kita selalu dituntut untuk melindungi perasaan orang lain untuk menjaga harmoni relasi sambil serta-merta menahan diri dan tidak menjelaskan apa yang sebenarnya kita pikirkan dan kita rasakan.

Ketahuilah sikap tersebut secara akumulatif akan membuat kita tidak mengenali siapa diri kita dan apa maunya kita karena energi mental kita dihabiskan untuk membuat orang lain merasa nyaman dan merasa tidak terganggu. Lama-kelamaan kita akan kehilangan keahlian dalam mengenali pikiran, perasaan, dan keinginan-keinginan kita yang sebenarnya.

Wanita yang manis budi adalah wanita yang tidak pernah marah. Definisi itu mendorong kita untuk secara a-sadar selalu menekan kemarahan dan kekecewaan dalam gudang energi mental negatif dalam kehidupan internal psikologis kita. Tentu saja, sebagai wanita kita seolah dilarang untuk mengalami rasa marah secara langsung karena wanita yang feminin adalah wanita yang bukan wanita pemarah.

Nah, andai gudang tersebut menjadi penuh, pada suatu saat akan berubah menjadi bom waktu yang meledakkan emosi negatif yang tidak rasional, bahkan terkesan destruktif, sehingga serta-merta kita akan mendapat julukan sebagai wanita neurotik, sakit jiwa, atau histeris.

Wanita manis budi adalah sekaligus wanita yang feminin, untuk itu lingkungan sosial berharap agar wanita juga menjadi sosok yang memberikan pelayanan emosi positif, seperti sabar, tenang, dan mendukung lingkungan di mana dia berada. Karena itu, wanita seyogianya memiliki sikap untuk selalu melayani kebutuhan orang lain. Padahal, tuntutan sebagai pelayan lingkungan sangat berlawanan dengan bangkitnya rasa marah yang keberadaannya dipicu perlakuan lingkungan pula.

Ketidakmampuan melaksanakan tugas pelayanan sosial yang tidak terpenuhi secara optimal tersebut ternyata mengembangkan perasaan bersalah (guilty feelings) yang besar pada diri wanita, yang sering memicu munculnya kondisi depresi mental pada wanita.

Kiranya perlu kita ketahui bahwa untuk mengatasi rasa bersalah tersebut, wanita harus mendapatkan kesempatan memanfaatkan rasa marah yang selama ini tertahan masuk ke gudang tersebut sehingga kita mendapat kesempatan untuk mengenali diri kita dan mampu mempertanyakan apa yang baik dan tepat serta wajar bagi kebangkitan jati diri kita.

Sesaat itu pula, kita sampai pada titik awal pengenalan diri kita, tetapi apa yang terjadi selanjutnya? Serta-merta kita akan mendapat cercaan lingkungan sebagai wanita yang ”semau gue”, ”tidak dewasa”, ”egosentrik”, ”tidak bertanggung jawab”, ”tidak feminin”, ”neurotik”, ”kurang sosial”, ”dingin”, atau ”penghambat”. Jadilah kita wanita yang kehilangan daya tarik, yang juga akan kehilangan popularitas.

Guna mematuhi peran femininitas yang manis budi, wanita dituntut untuk tidak mengungkap rasa marah sehingga tidak bisa melihat sesuatu dengan jernih serta berpikir dengan tepat atau mengingat dengan bebas. Hal ini menyebabkan energi psikis untuk daya kreasi, daya intelektual, dan daya seksual terbelenggu oleh kebutuhan menahan kemarahan. Betapa tidak terhitung pengorbanan emosi wanita untuk bisa memenuhi persyaratan lingkungan agar bisa menjadi wanita yang feminin dan menarik.

Sungguh memprihatinkan….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar