Hukuman
Mati
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 22 Januari 2015
Ini dongeng
klasik China. Begini kisahnya. Fu Tun adalah seorang tokoh yang sangat
terkenal di China. Ia penganut ajaran Mohisme (didirikan oleh Mo Tze, inti
ajarannya tentang cinta yang universal) dan abdi setia Raja Qin.
Suatu ketika,
anak tunggal Fu Tun terlibat perkelahian dengan penduduk setempat sampai
lawannya meninggal dunia. Anak Fu Tun ditangkap. Aturan yang berlaku ketika
itu, siapa yang membunuh, dia harus dibunuh. Namun, karena Fu Tun adalah
pejabat yang loyal, Raja Qin memutuskan untuk mengembalikan persoalan kepada
Fu Tun. Kata Raja Qin, “Oleh karena pengabdianmu selama ini dan dengan
pertimbangan anakmu adalah anak tunggal, akuberi kelonggaran kepadamu untuk
menangani kasus ini.”
Fu Tun
tertegun. Dia menjawab, “Saya adalah orang yang menghargai dan menempatkan
hukum di atas segala-galanya. Secara pribadi, saya sangat menghargai
keputusan Raja dan saya juga sangat mencintai anak saya.” Setelah terdiam
sejenak dan menarik napaspanjang, FuTunmelanjutkan, “Tapi, sekali lagi, hukum
tidak mengenal keluarga, tidak mengenal teman, atau siapa pun.
Meski
kejadian ini merupakan pukulan berat, saya berharap Baginda Raja tetap
menjalankan peraturan yang sudah ditetapkan. Itu lebih besar manfaatnya bagi
bangsa dan negara ini.” Mendengar jawaban Fu Tun, sang anak pun meraung-raung
memohon ampun kepada ayahnya dan Raja Qin. Namun Fu Tun bergeming. Dengan
berurai air mata, pejabat itu menyaksikan anak tunggalnya terpaksa dihukum
mati.
Mandat
Kehidupan
Bicara
tentang hukuman mati, negara kita baru saja melakukannya. Tentu ada rasa
tidak nyaman di hati sebagian kita. Apalagi enam terpidana mati karena kasus
narkoba itu di-blow-up terus sepanjang hari sejak sebelum eksekusi dilakukan
pada Minggu (18/1) di hadapan regu tembak. Tapi mungkin ada gunanya juga untuk
menimbulkan sinyal agar tidak sembarangan terlibat dalam bisnis haram ini.
Melalui
televisi, kita bisa menyaksikan liputan detik-detik menjelang dilakukannya
eksekusi tersebut. Di antaranya liputan tentang iring-iringan mobil yang
mengangkut para terpidana menuju titiktitik tempat mereka bakal dieksekusi.
Saya, terus terang, tercekam oleh liputan tersebut. Sulit bagi saya untuk
membayangkan bagaimana perasaan para keluarga terpidana saat menyaksikan
liputan tersebut.
Iring-iringan
tersebut mengangkut kerabat mereka yang beberapa saat lagi bakal dijemput
oleh malaikat maut. Kalau saya saja tercekam, mereka tentu lebih lagi. Dan
kita masih akan menyaksikan lagi liputan serupa dalam beberapa waktu ke
depan. Sebab untuk tahun ini akan ada 68 narapidana narkoba yang akan
dieksekusi. Sebagian di antara mereka adalah warga negara asing sehingga
bakal memicu masalah diplomatik tersendiri.
Menyaksikan
liputan tersebut, saya jadi teringat dengan kalimat pertama dalam buku saya,
Self Driving (2014). Bunyinya begini: “Kita semua adalah pemegang mandat
kehidupan. Sewaktu dilahirkan, Tuhan hanya bersabda, Inilah hidupmu. Setelah
itu kita menjalani kehidupan kita sendiri.” Enam terpidana narkoba yang telah
dieksekusi tentu menerima mandat kehidupan yang sama dengan kita.
Hanya mereka
memilih jalan kehidupannya sendiri yang pada akhirnya mengantar mereka sampai
ke hadapan regu tembak. Kita tentu prihatin. Siapakah kita sehingga berhak
mencabut hak hidup orang lain? Hukuman mati tersebut juga membuat negara kita
dinilai mundur beberapa tahun ke belakang.
Saat ini
jumlah negara yang telah menghapus hukuman mati sudah jauh lebih banyak
ketimbang yang mempertahankannya. Dari 197 negara, sebanyak 129 di antaranya
sudah menghapuskan hukuman mati. Jadi, melaksanakan hukuman mati sama dengan
perbuatan yang melawan arus. Tapi, menurut saya, saat ini kita masih
memerlukan pemimpin yang berani melawan arus. Mengapa?
Kondisi
Darurat
Semasa
remaja, saya kebetulan kenal beberapa anak sekitar kampung yang sebagian
menganggap saya sebagai kakak. Atau setidak-tidaknya saya dianggap lebih tua.
Ketika anak-anak itu tumbuh menjadi remaja, saya juga masih mengenalinya.
Bahkan beberapa kali kami masih bertegur sapa.
Dalam satu
dua kesempatan saat bergosip dengan tetangga di kanan-kiri, saya mendengar
beberapa dari mereka terjerat sebagai pengguna narkoba. Saya mengelus dada.
Lalu, tibalah masanya. Satu per satu dari mereka dipanggil menghadap Ilahi.
Mereka meninggal dunia. Rupanya narkoba bukan hanya membuat mereka kecanduan,
tetapi juga merusak organ-organ dalam tubuhnya.
Jantung
rusak, pembentukan sel-sel darah terganggu, terjadi pula gangguan otak,
gangguan tulang, gangguan pembuluh darah, gangguan pencernaan, gangguan paru,
gangguan sistem saraf, dan sebagainya. Itu baru gangguan fisik. Belum
ditambah dengan gangguan mental dan kejiwaan. Dengan gangguan sebanyak itu,
tak mengherankan kalau Ilahi akhirnya memanggil mereka.
Itu fenomena
yang saya lihat dalam skala sangat mikro. Di kampung-kampung. Dalam skala
makro, fenomenanya lebih mengerikan. Data Badan Narkotika Nasional (BNN)
menyatakan, setiap hari 50 penduduk Indonesia meninggal karena penyalahgunaan
narkoba. Masih dari data BNN. Selama tahun 2014, jumlah pecandu narkoba di
negara kita sudah mencapai 4,5 juta jiwa dengan 1,2 juta di antaranya sudah
tidak bisa direhabilitasi.
Untuk tahun
2015, jumlah pecandu ini diperkirakan naik menjadi 5,8 juta jiwa. Dan, ini
yang patut dicatat, sebanyak 75% pecandu tersebut adalah kalangan pelajar dan
kelompok penduduk usia produktif. Lalu, dari lalu lintas peredaran narkoba di
kawasan ASEAN, sebanyak 43% ada di negara kita. Maka, tak aneh kalau ada
anggapan, Indonesia adalah surga para bandar narkoba.
Kalimat
“Indonesia darurat narkoba” jelas tidak berlebihan. Bayangkan, dulu hukuman
mati itu begitu mengerikan kalau kita dengar terjadi di Malaysia. Tapi entah
mengapa sekarang banyak beredar barang haram itu dari Malaysia? Seorang oknum
polisi kita yang ditangkap di Malaysia belum lama ini ternyata bukannya
dieksekusi oleh pengadilan Malaysia dengan hukuman mati, malah dipulangkan ke
Tanah Air.
Ada apa? Di
Bandara Ngurah Rai Denpasar belum lama ini petugas Bea Cukai memberi tahu
saya bahwa ia baru saja menangkap seorang guru perempuan yang ketahuan
membawa dadah. Mulanya ia diundang oleh organisasi guru di sana dan setelah
itu ia pun digarap menjadi kurir. Sekali lagi, mengapa Malaysia kini menjadi
begitu terkesan tidak tegas? Lalu apakah kecanduan kaum muda terhadap narkoba
di sana juga sama seperti di sini? Rasanya tidak.
Maka, saya
bangga punya pemimpin yang berani melawan arus dengan tetap menerapkan
hukuman mati. Sonna cosa nostra, kata Don Corleone dalam novel The Godfather
. Artinya, biarlah kita yang mengurus urusan kita sendiri. Bukan orang atau
negara lain. Semua bangsa perlu menjaga kaum mudanya agar kita tumbuh menjadi
bangsa yang kompetitif, sehat, dan bersatu.
Bukan yang
cacat, penyakitan, dan lumpuh karena narkoba. Hanya, kalau boleh memilih,
saya tentu akan jauh lebih bangga kalau suatu saat kelak negara kita tak
perlu lagi menerapkan hukuman mati. Baik untuk kasus-kasus narkoba,
pembunuhan sadis, atau perbuatan kriminal lain termasuk korupsi, tentunya,
meski belum ada satu pun koruptor di negara ini yang dihukum mati. Atau,
jangan-jangan, mungkin, kita perlu menerapkannya satu-dua kali dulu supaya
betul-betul jera? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar