Promosi
yang Abaikan Etika
Victor Silaen ; Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
|
KORAN
SINDO, 22 Januari 2015
Status hukum
sebagai terdakwa ternyata tak menghalangi karier Hasban Ritonga
dipemerintahan. Pada 14 Januari lalu, ia dilantik sebagai sekda Provinsi
Sumatera Utara berdasarkan Keppres No 214/M/ 2014 per 29 Desember 2014.
Pelantikan
Hasban menjadi sorotan karena saat ini statusnya sebagai terdakwa di
pengadilan dalam kasus penyalahgunaan wewenang dalam sengketa lahan sirkuit
Jalan Pancing, Medan dengan PT Mutiara Development. Gubernur Sumut Gatot Pujo
Nugroho mengatakan bahwa pelantikan tersebut sudah melalui berbagai
pertimbangan. Dia mengaku hanya mengamankan kebijakan presiden.
Sementara di
Provinsi Banten, Plt Gubernur Rano Karno melantik Sutadi, tersangka korupsi
dalam proyek pembangunan Jembatan Kedaung, Kota Tangerang, senilai Rp23,42
miliar, sebagai staf ahli gubernur bidang pembangunan, pada 17 Januari lalu.
Rano mengatakan, tujuan pelantikan para pejabat eselon II ini sebagai upaya
percepatan berupa penyediaan daya dukung pelaksanaan APBD Tahun 2015 sehingga
program yang telah ditetapkan dapat segera dilaksanakan untuk hasil optimal
bagi kesejahteraan masyarakat.
Rano tercatat
juga pernah mengangkat tersangka korupsi menjadi asisten daerah 1 (asda) di
Pemprov Banten, yakni Ling Suwargi, yang sebelumnya menjabat sebagai kepala
dinas sumber daya air dan permukiman. Ling ditetapkan sebagai tersangka oleh
Polda Banten dalam kasus dugaan korupsi pada proyek Pembangunan Prasarana
Pengaman Pantai Normalisasi Muara Pantai Karangantu di Desa Banten, Kecamatan
Kasemen, Kota Serang senilai Rp4,8 miliar.
Dari
Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT), ada juga
tersangka korupsi, Vinsensius Saba, kepala dinas pendidikan pemuda dan
olahraga/PPO), yang dimutasi kejabatan baru sebagai kepala badan kepegawaian
daerah, 6Januarilalu. Padahal, ia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh
Kejaksaan Negeri Kefamenanu, dalam kasus korupsi dana alokasi khusus (DAK)
bidang pendidikan senilai Rp47,5 miliar.
Terkait itu,
Wakil Bupati TTU Aloysius Kobes mengatakan sepanjang belum ada keputusan
pengadilan yang punya kekuatan hukum tetap maka mereka masih bisa dapat
jabatan. “Proses hukum tetap kita harus hormati, tetapi ini soal birokrasi
tetap harus berjalan karena ini berkaitan dengan hak-hak pegawai negeri sipil
yang perlu dipenuhi,” ujarnya.
Pertanyaannya,
apa artinya Indonesia hari ini dipimpin oleh Jokowi, yang pernah menerima
Bung Hatta Anti Corruption Award (2010), jika di masa pemerintahannya ada
sejumlah tersangka koruptor yang malah dipromosikan sebagai pejabat
pemerintah? Bukankah ini ironis di negara hukum yang mencanangkan perang
terhadap korupsi ini? Betul bahwa yang harus dijadikan pegangan adalah
putusan pengadilan yang telah inkrah.
Tapi harus
diingat bahwa di atas hukum ada etika dan moralitas yang merupakan roh dari
hukum itu sendiri. Itu sebabnya ada beberapa partai politik yang sudah
memberlakukan kebijakan internal mereka: setiap kader yang dinyatakan sebagai
tersangka koruptor oleh pengadilan, langsung dicopot dari jabatan publik yang
sedang dipegangnya, hingga akhirnya kemudian dipecat sebagai kader partai
saat putusan pengadilan sudah inkrah.
Adalah para
doks bahwa dinegeri yang religius ini etika dan moralitas diabaikan begitu
saja. Padahal, keduanya sudah tercakup dalam Tap MPR VI Tahun 2001 tentang
Etika Kehidupan Berbangsa. Jadi sebenarnya asas praduga tidak bersalah yang
dikenakan pada sejumlah pejabat yang tersangkut kasus korupsi hanya dalih
belaka.
Ketetapan MPR
ini dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat Indonesia di awal Reformasi
1998. Saat itu muncul berbagai persoalan bangsa sebagai kelanjutan dari
krisis moneter tahun 1997. Krisis moneter berkembang menjadi krisis
multidimensial. Maka dirumuskanlah etika kehidupan berbangsa yang bersumber
dari ajaran agama yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa
yang tecermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap,
dan bertingkah laku di tengah kehidupan berbangsa.
Pertanyaannya,
apakah Indonesia hari ini masih layak disebut bangsa yang religius? Mengapa
kian lama kekayaan dan jabatan tinggi seakan lebih dihargai daripada
kejujuran? Tak heran jika korupsi seolah telah menjadi banal-dianggap sesuatu
yang biasa. Mungkin karena jumlah pelakunya justru makin meningkat.
Bukankah
suatu kejahatan niscaya dianggap biasa jika yang melakukannya kian lama kian
banyak? Sanksi hukum yang lemah dan tak efektifnya pengawasan membuat korupsi
juga menjadi sesuatu yang memesona. Seandainya tertangkap pun, proses hukum
sulit berjalan lancar karena pelakunya berpotensi menyeret banyak orang lain,
termasuk para pejabat di institusiinstitusi penegakan hukum.
Dengan hati
yang miris kita bertanya: mampukah Indonesia memerangi korupsi sampai ke
akar-akarnya? Ketua Eksekutif Economic and Financial Crimes Commission (EFCC)
Nigeria Mallam Nuhu Ribadu pernah berkata: “Kita punya masalah sama: kita
cenderung memberi hormat kepada orang yang justru tak layak dihormati. Kamu
melecehkan dirimu, kamu melecehkan kebijakanmu.
Kamu punya
kesempatan yang baik, tapi kamu membuat para pencuri itu tetap jadi pencuri
karena kecenderungan itu. Ini masalah tentang manusia, jadi jangan ada
toleransi bagi para koruptor itu. Bawa mereka ke depan hukum. Di Nigeria,
kami menangkap para koruptor kakap dan ini membuat trickle down effect“.
Sementara Pascal Couchepin, konsuler federal sekaligus menteri dalam negeri
Swiss, memberi resep: jadikan korupsi musuh bersama dan jangan pernah
berkompromi menghadapinya.
Tak heran
jika Swiss selalu dikategorikan Transparency International sebagai negara
yang “bersih dari korupsi”. Akan halnya Jeffrey Winters, seorang
indonesianis, mengatakan bahwa demokrasi yang berkembang di Indonesia saat
ini adalah demokrasi kriminal: demokrasinya bergerak maju, tapi hukumnya
lemah dan etika para pemimpinnya luntur.
Alhasil,
korupsi tak pernah berhasil diberantas secara signifikan. Tak pelak, harus
ada perubahan untuk menjadi bangsa yang tahu diri. Untuk itu Presiden Jokowi
harus belajar dari Presiden Brasil Dilma Rousseff. Sejak menjadi presiden
tahun 2011, Rousseff gencar mengampanyekan perang melawan korupsi setelah
sejumlah pejabat tinggi dalam pemerintahannya dituding melakukan kejahatan
luar biasa itu.
Di bawah
kepemimpinannya yang belum genap dua tahun, kepala staf kepresidenan serta
menteri pertanian, menteri pariwisata, menteri tenaga kerja, menteri
pertahanan, dan menteri transportasi juga dipaksa mundur dari jabatan mereka
akibat tudingan korupsi. Padahal, semua pejabat negara itu belum divonis
pengadilan. Mereka hanya tak tahan mendapat tekanan dari masyarakat dan
sorotan pers yang begitu gencarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar