Muda
dan Selalu Gelisah
Rhenald Kasali ; Akademisi, Praktisi Bisnis dan Guru Besar
bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
JAWA
POS, 22 Januari 2015
AKHIR 2014, saya berkunjung ke Banyuwangi. Ini adalah
kunjungan kesekian setelah lebih dari 30 tahun lalu menyeberangi Pelabuhan
Ketapang menuju Gilimanuk, Bali. Kala itu KAI masih punya rute
Jakarta–Denpasar. Berikutnya saya melakukan safari dengan mobil dari
Situbondo sampai ujung Blambangan, lalu ke Jember dan seterusnya.
Tentu saja
bayangan masa lalu tentang Banyuwangi masih melekat kuat: kecil, terpencil,
tradisional. Setelah itu, Jember dan Banyuwangi diramaikan berita tentang
perang santet. Maka, tanpa program city-branding
pun, kalau ditanyakan, pikiran orang kala itu Banyuwangi ya kota santet.
Tapi, waktu
berlalu. Semuanya berubah. Tak ada lagi kesan itu. Kini malah banyak berita
positif. Saya menemui beragam keluarga Indonesia yang memilih Banyuwangi
sebagai tujuan wisata. Rombongan pemda tak habis-habisnya melakukan studi
banding.
Waktu saya
tanya, mereka mengatakan Banyuwangi sudah memiliki sistem laporan keuangan
terpadu yang belum dimiliki pemda lain. Perencanaan sampai pengawasan sudah
IT-based, transparan, dan integrated. Ini tentu memudahkan birokrasi.
Di kaki
gunung yang menuju Kawah Ijen yang indah, saya bertemu pasangan muda dari
Prancis yang melakukan midnight hiking
untuk menyaksikan indahnya blue fire
yang diberitakan National Geographic. Saya juga ditraktir kelapa muda dan
ikan bakar di Pantai Pulau Merah, menikmati kopi Using ditemani bupati dengan
tarian gandrung di Rumah Adat Suku Using yang dikelola secara profesional,
serta menikmati sejumlah event yang diadakan pemda hampir setiap minggu untuk
menjamu wisatawan-wisatawannya.
Lebih dari itu,
geliat ekonominya bergerak begitu cepat. Banyak kawasan industri dan bangunan
baru yang bermunculan. Semuanya tertata rapi.
Berubah
Banyuwangi
bisa berubah menjadi seperti itu?
Betul, memang
kondisi di desa-desa belum seperti di kota. Tapi, jalan-jalan yang membelah
persawahan di sana sudah beraspal dan bisa dilalui kendaraan roda empat. Ini
memudahkan akses petani dalam menjual hasil-hasil pertaniannya.
Wisata di
Banyuwangi juga berkembang pesat. Lokasi-lokasi wisata di sana tertata rapi. Tidak
seperti lazimnya di banyak daerah yang dibiarkan kumuh, tak berdaya
menghadapi PKL, atau memang bupatinya tertidur. Di kawah Ijen saja, para
pemikul belerang diberi sepatu dan kaus khusus sehingga tak terlihat kumuh.
Selain Kawah
Ijen, ada Green Bay yang bisa dikombinasikan dengan hutan tropis Taman
Nasional Meru Betiri dan Pulau Tabuhan. Lalu, air terjun Lider, Watu Dodol,
dan Pantai Plengkung yang dikenal sebagai pantai terbaik untuk surfing dengan
putaran ombak tinggi yang tak pernah ada habisnya.
Belum lagi
tempat pertapaan di Alas Purwo yang terkenal mistis. Konon dulu presiden
sampai memerintahkan agar membawa pohon beringin dari hutan Alas Purwo untuk
ditempatkan di Taman Mini. Waktu saya tanya seorang peziarah, dia mengatakan,
”Pakunya Pulau Jawa ini hanya ada tiga:
Banten-Solo dan satu lagi di sini. Kesaktian Banyuwangi tak terkira”.
Baiklah, kita kembali ke pertanyaan tadi. Bagaimana Banyuwangi bisa berubah
menjadi seperti itu?
Digugu dan Ditiru
Mengurus
Indonesia itu sebetulnya tidak terlalu sulit. Sebab, bangsa kita suka meniru.
Mereka juga sangat menghormati orang tua, tokoh-tokoh masyarakat, dan para
pemimpinnya. Mereka dianggap sosok teladan. Dalam bahasa Jawa, layak digugu
dan ditiru atau dijadikan guru. Jadi, kalau pemimpinnya bekerja keras dan
jujur, rakyat kita pun akan meniru. Kita pasti sudah menjadi negara maju
sejak dulu. Sayangnya, di banyak tempat hal itu tidak terjadi.
Kondisi di
Banyuwangi berbeda. Saya melihat Bupati Abdullah Azwar Anas betul-betul
bekerja keras untuk rakyatnya. Kadang saya heran, kapan istirahatnya? Muda,
gelisah, gairah melayani dan berpikir kreatif, tak mudah marah, serta terus
melakukan perubahan dan berpromosi untuk kedatangan wisatawan. Semangatnya
meluap-luap untuk memajukan Banyuwangi.
Pertumbuhan
ekonomi di sana pada 2012 mencapai 7,18 persen, di atas rata-rata nasional
yang 6,12 persen. Masyarakat Banyuwangi juga rajin menabung. Jumlah dana
mereka di bank tumbuh lebih dari 20 persen. Begitu juga penyaluran kreditnya
terus naik.
Infrastruktur
terus dibangun. Pada 2012, mereka membangun jalan sepanjang 250 kilometer.
Lalu, setahun kemudian sepanjang 300 km. Ini termasuk jalan di pedesaan untuk
mempermudah akses warga pedalaman ke pusat kota.
Panjang
landasan Bandara Blimbingsari dinaikkan dari 1.400 meter menjadi 1.800 meter.
Kini Garuda Indonesia dan Wings Air secara rutin sudah terbang ke sana.
Pelabuhan
Tanjungwangi yang lautnya dalam pun direvitalisasi. Di sana juga ada galangan
kapal milik generasi kedua ilmuwan asal Swedia yang menikah dengan perempuan
Using: Liza Lundin, yang lalu memboyong keluarga dan teknologinya di sini, PT
Lundin Industry. Kapal-kapal buatan Lundin yang berbahan komposit banyak
dipesan dunia.
Saya masih
menyimpan banyak catatan. Namun, ada dua hal yang ingin saya apresiasi.
Pertama, sikap teguh bupati dalam menolak pembangunan mal. Katanya, mal baru
boleh dibangun kalau indeks pembangunan manusia di Banyuwangi sudah di atas
7,6. Dia lebih suka investor membangun hotel untuk menyambut wisatawan.
PNS-nya juga
dilarang menyediakan buah impor. Pertanian jeruk, manggis, dan buah naga pun
kembali hidup. Bahkan, untuk menjenguk orang sakit, dia mendorong pembesuk
membawa buah lokal.
Catatan
kedua, aplikasi cyber city yang
diterapkan secara luas sejalan dengan peremajaan taman-taman kota. Taman
Makam Pahlawan Wisma Raga Satria ditata ulang sehingga rapi dan nyaman untuk
remaja berkumpul sambil menenteng laptop.
Aplikasi
cyber juga diterapkan di pemerintahan, termasuk untuk badan pelayanan
perizinan terpadu (BPPT) dengan sistem online. Ini tentu memudahkan investor.
Maka, saya tak heran jika investasi yang masuk di Banyuwangi terus naik.
Bupati Anas
masih menyimpan obsesi yang lain. Dia ingin warga Banyuwangi tak usah mencari
kerja ke luar daerah. Cukup di Banyuwangi. Mungkin tak mudah menggapai obsesi
ini. Tapi, perkembangannya menggembirakan. Jumlah TKI asal Banyuwangi terus
menurun.
Andai saja
kita memiliki banyak pemimpin seperti Anas, makmurlah negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar